BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan mempunyai peranan sangat
penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan penidikan
berpengaruh langsung terhadap perkembangan manusia. Kalau bidang-bidang lain
seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan sebagainya berperan menciptakan
sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berkaitan langsung
dengan pembentukan manusia. Pendidikan “menentukan” model manusia yang akan
dihasilkannya.
Kurikulum sebagai rancangan
pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan
pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat
pentingnya peranan kurikulum didalam pendidikan dan dalam perkembangan
kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan
atas hasil-hasil dan penilitian yang
mendalam. Kalau landasan pembuatan sebuah gedung tidak kokoh yang akan ambruk
adalah gedung tersebut, tetapi kalau landasan pendidikan, khususnya kurikulum
yang lemah, yang akan “ambruk” adalah manusianya.
Ada beberapa landasan dalam
pengembangan suatu kurikulum, yaitu landasan filosofis, psikologis, landasan
sosiologis serta landasan teknologi.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud landasan filosofis?
b.
Apa yang dimaksud landasan psikologis?
c.
Apa yang dimaksud landasan sosial?
d.
Apa yang dimaksud landasan teknologi?
C.
Tujuan
a.
Untuk mengetahui apa itu landasan filosofis.
b.
Untuk mengetahui apa itu landasan psikologis
c.
Untuk mengetahui apa itu landasan sosial
d.
Untuk mengetahui apa itu landasan teknolog
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Filosofis
Pendidikan
berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik untuk
mencapai tujuan pendidikan. Didalam interaksi tersebut terlibat isi yang
diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah
yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan
dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial
yaitu jawaban-jawaban filosofis.[1]
Secara harfiah
filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijakan” (love of wisdom). Orang
belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara
bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu
atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir,
yaitu berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran demikian dalam filsafat sering
disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic
berarti akar). Secara akademik, filsafat berarti upaya untuk menggambarkan dan
menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan komperehensif tentang alam
semesta dan kedudukan manusia didalamnya. Berfilsafat berarti menangkap sinopsis
peristiwa-peristiwa yang simpang siur dalam pengalaman manusia. Suatu cabang
ilmu pengetahuan mengkaji satu bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya
terbatas. Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat
segala yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba
mengeetahui kedudukan manusia didalamnya. Sering dikatakan bahwa filsafat
merupakan ibu dari segala ilmu.[2]
Filsafat
membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk maslah-masalah
pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat sepintas,
filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran
filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya
yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat hubungan yang sangat
erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap
peraktik pendidikan, sedangkan praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi
pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat, malah
menurut Butler menjadi satu.
1)
Philosophy is primary and basic to an educational philosophy, 2)
philoshopy is the flower not root of education, 3) educational philoshopy is an
independent disciplain which might benefit from contact whit general
philoshopy, but this contact is not essential, 4) philoshopy and the theory of
education is one (Butler,1957:12).
Pendapat
para fisuf umumnya memandang filsafat
umum sebagai dasar dari filsafat pendidikan, tetapi John Dewey umpamanya
mempunyai pandangan yang hamper sama dengan Butler. Bagi Dewey, filsafat dan
filsafat pendidikan adalah sama, sebagaimana juga pendidikan menurut Dewey sama
dengan kehidupan. Seperti halnya dalam filsafat umum, dalam filsafat pendidikan
pun dikenal banyak pandangan atau aliran. Setiap pandangan mempunyai landasan
metafisika, epistemilogi, dan aksiologi tentang masalah pendidikan yang
berbeda.
Dalam tulisan ini akan dikemu kakan salah
satu pandangan tentang filsafat pendidikan, yaitu pandangan dari John Dewey.
Hal itu tidak berarti bahwa pandangan tersebut paling sesuai untuk masyarakat
kita atau paling disetujui oleh penulis.
1.
Dasar-dasar filsafat Dewey
Ciri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang
selalu berubah, mengalir, atau on going-ness. Prinsip ini membawa konsekuensi
yang cukup jauh, bagi Dewey tidak ada yang menetap dan abadi semuanya berubah.
Ciri lain filsafat Dewey adalah anti dualistik. Pandangannya tentang dunia
adalah monistik dan tidak lebih dari sebuah hipotesis.
Filsafat
Dewey lebih terkenaan dengan epistemologi dan tekanannya kepada proses
berpikir. Proses berpikir merupakan satu dengan pemecahan yang bersifat
tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses
berpikir merupakan proses pengecekan dengan kejadian-kejadian nyata. Dalam
filsafat Dewey kebenaran itu terletak dalam perbuatan atau truth is in the
making, yaitu adanya persesuian antara hipotesis dengan kenyataan.[3]
Dewey
sangat menghargai peranan pengalaman,
merupakan dasar bagi pengetahuan dan kebijakan. Experience is the only
basis for knowledge and wisdom (Dewey,1964,hlm.101). pengalaman itu mencakup
segala aspek kegiatan manusia, baik yang berbentuk aktif maupun yang pasif.
Mengetaui tanpa mengalami adalah omong kosong. Dewey menolak sesuatau yang
bersifat spekualatif.
Pengertian
pengalaman Dewey berbeda dengan kaum empiris lainya, yang mengartikannya
sebagai pengalaman melalui penginraan. Nilai-nilai adalah relatif, subjektif,
dan hanya dirasakan oleh manusia. Sesuatu itu berrnilai karena diberi nilai
oleh manusia, sesuatu dibutuhkan karena manusia membutuhkannya, selalu dalam
hubungannya dengan pengalaman. Nilai-nilai itu tidak dapat diukur dan tidak ada
hierarki nilai.
All
values are subjective and either intrinsic or instrumental…. Values being
finnaly intrinsic, and feeling, it is held, being unmeasurable, no scale of
values, and of any two things felt as intrinsically valuable it is than
another. To be felt as worthwhile in itself is thus the ultimate orientation of
value. (Dewey dalam joe park, (ed). 1958, hal 185).
Tujuan
perkembangan manusia adalah self realization. Pengertian self bagi Dewey adalah
sesuatu yang konkret bersifat empiris tidak dapat dipisahkan dari pengalaman
dan lingkungan. Self realization hanya hanya dapat diperoleh melalui pengalaman
dan interaksi dengan yang lain.
2.
Teori pendidikan Dewey
Apakah pendidikan menurut Jhon Dewey? Pendidikan berarti perkembangan,
perkembangan sejak lahir hingga menjelang kematian. Jadi pendidikan itu juga
berarti sebagai kehidupan. Bagi Dewey, Education is growth, development, life.
Ini berarti bahwa proses pendidikan itu tidak mempunyai tujuan diluar dirinya,
tetapi terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga bersifat
kontinu, merupakan reorganisasi, rekonstuksi, dan pengubahan pengalaman hidup.
Jadi pendidikan itu merupakan oraganisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali
pengalaman hidup, dan juga perubahan pengalaman hidup sendiri.[4]
Pendidikan merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan
dari pengalaman. Pada setiap saat ada tujuan, perbuatan pendidikan selalu
ditunjukan untuk mencapai tujuan. Setiap fase perkembangan kehidupan, masa
kanak-kanak, masa pemuda, dan dewasa, semuanya merupakan fase pendidikan, semua
yang dipelajari pada fase-fase tersebut mempunyai arti sebagai pengalaman.
Pendidikan itu tidak berakhir, kecuali kalau seseorang sudah mati.
Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang
demokratis. Demokratis bukan dalam arti politik, melainkan sebagai cara hidup
bersama sebagai way of life, pengalaman bersama dan komunikasi bersama. tujuan
pendidikan merupakan usaha agar individu melanjutkan pendidikannya. Tujuan
pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri, yakni kemampuan dan
keharusan individu meneruskan perkembangannya.
Jhon Dewey menegaskan bahwa pendidikan itu tidak mempunyai tujuan,
hanya orang tua, guru, dan masyarakat yang mempunyai tujuan. And it is well
remaind ourselves that education as such has no aims. Only persons, parents,
and teacher etc, have aims, not an abstract idea like education. (Jhon Dewey,
1964, hal 177). [5]
Untuk mengetahui bagaimanakah proses belajar terjadi pada anak,
baiklah kita lihat bagaimana syarat-syarat untuk pertumbuhan. Pendidikan sama
dengan pertumbuhan. Syarat pertumbuhan adalah adanya kebelumdewasaan
(immaturity), yang berarti kemampuan untuk berkembang. Immaturity tidak berarti
negatif, tetapi positif, kemampuan, kecakapan, dan kekuatan untuk tumbuh. Ini
menunjukan bahwa anak adalah hidup, ia memiliki semangat untuk berbuat.
Pertumbuhan bukan sesuatu yang harus kita berikan, pertumbuhan adalah sesuatu
yang harus mereka lakukan sendiri.
B.
Landasan Psikologis
Psikologi
adalah landasan penting yang harus diperhitungkan dalam kegiatan pengembangan
kurikulum sekolah. Dalam proses pendidikan selalu terjadi interaksi antara
manusia yakni interaksi antara anak didik dengan pendidik serta anak didik
dengan manusia-manusia lainnya. Hal ini terjadi sebab manusia itu mempunyai
aspek psikologis yang jauh lebih tinggi tarafnya dan lebih kompleks
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kondisi psikologis manusia dapat
menjadi lebih maju banyak memiliki kecakapan, keterampilan dan sebagainya
(hamid syarif, 1996:43).[6]
Apa yang
dimaksud dengan kondisi psikologis itu? Kondisi psikologis merupakan
karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam
berbagai bentuk prilaku dalam interaksi dengan lingkungannya. Prilaku-prilaku
tersebut merupakan manifestasi dari cirri-ciri kehidupannya, baik yang tampak
maupun yang tidak tampak, prilaku kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kondisi
psikologis setiap inividu berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya,
latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-faktor yang dibawa
dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung pada konteks,
peranan, dan status individu diantara individu-individu yang lainnya. Interaksi
yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis
para peserta didik maupun kondisi pendidiknya. Interaksi pendidikan dirumah
berbeda dengan disekolah. Interaksi dengan anak dan guru pada jenjang sekolah
dasar berbeda dengan jenjang sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan
atas.[7]
Jadi minimal
ada dua bidang psikologis yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu
psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik
didalam merumuskan tujuan,memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan
menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian.
1.
Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa
kanak-kanak hingga dewasa.
Anak menduduki peranan sentral dalam penyusunan kurikulum, sebab
pada dasarnya sekolah dan kurikulum dipersiapkan untuk kepentingan anak dalam
proses menuju kedewasaan dan kematangannya. Pengetahuan tentang anak mutlak
diperlukan karena dari situlah akan diketahui minat dan kebutuhannya sesuai
dengan tingkat perkembangan jiwanya. Kurikulum yang disusun harus didasarkan
pada tingkat perkembangan minat demi kebutuhan anak tersebut (Burhan
Nugiyantoro, 1988:16).
Pertumbuhan
dan perkembangan anak didik dapat dibagi menjadi beberapa periode (hamid
syarif, 1996:44) secara didaktis periodesasi itu dapat dikelompokkan menjadi:[8]
·
Periode taman kanak-kanak (umur 3-6 tahun)
Pendidikan
di taman kanak-kanak menitik beratkan pada penanaman kebiasaan sebab pada usia
taman kanak-kanak tersebut mudah diberi latihan-latihan (dresser).
·
Periode pendidikan dasar (umur 6-12 tahun)
Tugas
pendidikan pada umur ini harus lebih memperhatikan keseluruhan perkembangan
anak seperti : fisik, intelektual, emosi, sosial, dan susila.[9]
·
Periode pendidikan menengah (umur 13-18)
Pada
masa ini perkembangan remaja baik fisik, intelektual, emosi, sosial dan susila
hampir mendekati kesempurnaan. Oleh karena itu kurikulum sebagai program
pendidikan yang akan disajikan kepada remaja, perlu memasukkan pengalaman-pengalaman
dan pengetahuan yang bertujuan mempersiapkan anak didik mampu meneruskan
pengetahuannya ke tingkat lebih tinggi dan mempersiapkan anak didik agar
mempunyai bekal pengalaman yang sanggup dijadikan pijakan untuk memasuki
lapangan kerja bagi anak yang tidak meneruskan belajarnya diperguruan tinggi.[10]
·
Periode pendidikan tinggi (umur 19- ke atas)
2.
Psikologi Belajar
Psikologi belajar atau ilmu jiwa belajar adalah pengetahuan tentang
bagaimana proses belajar itu berlangsung dalam diri seseorang. Teori tentang
proses belajar akan mempengaruhi penyususunan dan penyajian kurikulum secara
efektif, disamping juga menentukan pemilihan bahan pengajaran yang harus
disajikan.
Teori belajar dikelompokkandalam tiga macam, yaitu:
·
Teori belajar ilmu daya atau teori disiplin mental
Teori belajar ini menganggap, jiwa manusia terdiri atas sejumlah
daya. Belajar pada dasarnya melatih daya-daya mental tersebut, seperti daya
berpikir. Dalam pengembangan kurikulum, teori belajar ini sangat menjunjung
tinggi mata pelajaran. Karena dianggap bermanfaat dapat melatih daya-daya otak.
Dengan demikian, perlu banyak disajikan bahan-bahan pelajaran yang berguna
melatih daya-daya, terutama daya berfikir.[11]
·
Teori belajar behavioristik
Teori belajar ini meliputi teori asosiasi atau koneksionisme dengan
tokohnya Edward L. Thorndike, conditioning dengan tokohnya Watson dan reinforcement
dengan tokoh utamanya C.L. Hull.
Teori
belajar koneksionisme menyatakan bahwa tingkah laku manusia itu merupakan
respon terhadap stimuli tertentu. Pengembangan kurikulum yang mendasarkan pada
teori asosiasi berisikan pelajaran yang dipecah ke dalam unit-unit kecil,
setiap unit disusun dalam bentuk latihan untuk membentuk ikatan-ikatan stimulus
respon, sedang proses belajarnya dapat dilakukan dengan mekanis.
Teori
conditioning lebih mementingkan pembiasan dan latihan secara terus menerus,
sehingga menghasilkan kebiasaan tertentu. Teori reinforcement lebih menekankan
faktor hadiah (reward) dalam belajar sebab hadiah menjadi penguat terhadap
ikatan stimulus-respon.
Dalam
pengembangan kurikulum yang mendasarkan teori diatas, disamping bahan pelajaran dan proses belajar juga perlu
memperhatikan adanya reinforcement.
·
Teori gestalt
Teori gestalt dinamakan juga cognitive gestalt field. Dalam
pengembangan kurikulum, teori gestalt lebih menekankan pada bahan-bahan yang
berhubungan dengan berpikir analitis melalui pemecahan masalah (problem
solving).
C.
Landasan Sosial
Kurikulum dapat
dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan,
kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita ketahui bahwa
pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke lingkungan masyarakat.
Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi memberikan bekal pengetahuan,
ketrampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan
lebih lanjut dimasyarakat. Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan
pendiikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat, dan
diarahkan bagi kehidupan dalam masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan
sgala karakteristik dan kekayaan budayanya, menjadi landasan dan sekaligus
acuan bagi pendidikan.[12]
Dengan
pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang lain dan asing
terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan mampu
membangun masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan
harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik, kekayaan, dan perkembangan
masyarakat tersebut.
Ada tiga sifat
penting pendidikan. Pertama, pendidikan mengandung nilai dan memberikan
pertimbangan nilai. Hal ini disebabkan karena pendidikan diarahkan pada
pengembangan pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan
diharapkan masyarakat. Karena tujuan pendidikan mengandung nilai, maka isi
pendidikan harus memuat nilai. Proses pendidikannya juga harus bersifat membina
dan mengembangkan nilai. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam masyarakat.
Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan
dalam masyarakat. Generasi muda perlu mengenal dan memahami apa yang ada dalam
masyarakat, memiliki kecakapan-kecakapan untuk dapat berpartisipasi dalam
masyarakat, baik sebagai warga maupun sebagai karyawan. Ketiga, pelaksanaan
pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat
pendidikan itu berlangsung. Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses
pendidikan, karena pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat.
Proses pendidikan merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat.
Pelaksanaan pendidikan membutuhkan dukungan dari lingkungan masyarakat,
penyediaan fasilitas, personalia, sistem sosial budaya, politik, keamanan, dan
lain-lain.[13]
Konsep
pendidikan bersifat universal, tetapi pelaksanaan pendidikan bersifat lokal,
disesuaikandengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Pendidikan dalam
suatu lingkungan masyarakat tertentu berbeda dengan lingkungan masyarakat lain,
karena adanya perbedaan sistem sosial-budaya, lingkungan alam, serta sarana dan
prasarana yang ada.
Karena anak hidup dalam masyarakat, maka anak
pun harus dipersiapkan untuk terjun di masyarakat dengan dibekali kemampuan dan
keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Anak perlu dibekali dengan
norma-norma, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan keadaan dan
pandangan masyarakat. Karena masyarakat menginginkan agar pandangan hidup,
nilai-nilai (atau ajaran filsafat) yang diyakininya tetap terpelihara dengan
aman.[14]
D.
Landasan Teknologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan
mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus
berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin
berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal
yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala,
mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di
Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada
pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil
Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan
teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban
manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat
pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan
keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang
berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang
ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat
dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus
dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum
yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan
belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan
menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif
terhadap ketidakpastian.
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu
merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat
mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup
manusia.
Telah dibicarakan bahwa perkembangan ilmu dan
teknologi membawa beberapa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa
masyarakat terpencil, yang tertutup dengan adanya transportasi dan komunikasi
yang luas, berubah menjadi masyarakat yang terbukadan cukup berkomunikasi
dengan daerah-daerah lain. Masyarakat yang pada mulanya hanya konsumtif
terhadap hasil-hasil pertanian telah berubah menjadi masyarakat yang lebih
konsumtif terhadap produksi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi juga menimbulkan banyak perubahan dalam nilai-nilai, baik nilai
sosial, budaya, spiritual, intelektual, maupun material. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan kebutuhan baru, aspirasi baru, sikap
hidup baru. Hal-hal di atas menuntut perubahan pada sistem dan isi pendidikan.
Pendidikan bukan hanya mewariskan nilai-nilai dan hasil kebudayaan lama, tetapi
juga mempersiapkan generasi muda agarmampu hidup pada masa kini dan yang akan
datang.[15]
Perkembangan
ilmu dan teknologi secara langsung maupun tidak langsung menuntut perkembangan
pendidikan. Pengaruh langsung perkembangan ilmu dan teknologi adalah memberikan
isi/materi atau bahan yang akan disampaikan dalam pendidikan. Pengaruh tak
langsung adalah perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan perkembangan
masyarakat, dan perkembangan masyarakat menimbulkan problema-problema baru yang
menuntut pemecahan dengan pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan baru yang
dikembangkan dalam pendidikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Landasan Filosofis
Pendidikan
berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik untuk
mencapai tujuan pendidikan. Didalam interaksi tersebut terlibat isi yang
diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah
yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan
dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial
yaitu jawaban-jawaban filosofis.
Secara harfiah
filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijakan” (love of wisdom). Orang
belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara
bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu
atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu
berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran demikian dalam filsafat sering
disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic
berarti akar).
2.
Landasan Psikologis
Psikologi
adalah landasan penting yang harus diperhitungkan dalam kegiatan pengembangan
kurikulum sekolah. Dalam proses pendidikan selalu terjadi interaksi antara
manusia yakni interaksi antara anak didik dengan pendidik serta anak didik
dengan manusia-manusia lainnya. Hal ini terjadi sebab manusia itu mempunyai
aspek psikologis yang jauh lebih tinggi tarafnya dan lebih kompleks
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kondisi psikologis manusia dapat
menjadi lebih maju banyak memiliki kecakapan, keterampilan dan sebagainya
(hamid syarif, 1996:43).
3.
Landasan Sosial
Kurikulum dapat
dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan,
kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita ketahui bahwa
pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan
bukan hanya untuk pendidikan, tetapi memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan
serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut
dimasyarakat.
4.
Landasan Teknologi
Perkembangan
dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi
dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu,
kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan
sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan
kelangsungan hidup manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Syaodih Nana, Prof. Dr. 2012. Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Modlofir Ali, Dr. M,Ag. 2009. Pengembangan Kurikulum dan Bahan
Ajar. Surabaya: PT. Revka Petra Media.
Nurgiyantoro Burhan. 1988. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum
Sekolah. Yogyakarta: BPFE
[1] Nana syaodih, pengembangan kurikulum teori dan praktek,
(Bandung:2012), hal 38-39
[2] Ibid, hal 39
[3] Ibid, hal 40
[4] Ibid, hal 41
[5] Ibid, hal 42
[6] Ali mudlofir, pengembangan kurikulum dan bahan ajar, (Surabaya:2009),
hal 40
[7] Nana syaodih, pengembangan kurikulum teori dan praktek,
(Bandung:2012), hal 45
[8] Ali mudlofir, pengembangan kurikulum dan bahan ajar,
(Surabaya:2009), hal 41
[9] Ibid, hal 42
[10] Ibid, hal 43-44
[11] Ibid, hal 44
[12] Nana syaodih, pengembangan kurikulum teori dan praktek,
(Bandung:2012), hal 58
[13] Ibid, hal 58-59
[14] Burhan, Dasar-dasar pengembangan kurikulum sekolah,
(Yogyakarta:1988), hal 19
[15] Nana syaodih, pengembangan kurikulum teori dan praktek,
(Bandung:2012), hal 77-78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar