BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Konflik dalam Organisasi
Konflik berasal
dari kata kerja Latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam
setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai
sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan
integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Dalam
suatu organisasi sering terjadi adanya konflik, karena terdapat perbedaan
pandangan, pemikiran dan tujuan baik secara pribadi atau masalah-masalah
organisasi. Konfliktimbul dalam organisasi sebagai hasil dari masalah
komunikasi, hubungan pribasi, atau struktur organisasi. Oleh
karena itu diperlukan manajemen konflik.
Manajemen
konflik merupakan cara yang dialkukan oleh pimpinan daklam menstimulasi
kinflik, mengurangi konflik, dan menyelesaikan konflik yang bertujuan untuk
meningkatkan performansi kerja individu dan produktivitas organisasi. Kajian
teori tentang manajemen konflik berguna bagi manajer atau pimpinan organisasi
dalam merespon setiap konflik yang muncul pada organisasi yang menjadi tanggung
jawabnya.
Secara
konseptual para pakar dan ahli berbeda dalam mengartikan konflik diantaranya,
Luthans, f (1985:385) mengartikan konflik merupakan ketidaksesuaian nilai atau
tujuan antara anggota organisasi, perbedaan kepentiingan/minat, perilaku kerja,
perbedaan sifat individu, dan perbedaan tanggung jawab dalam atifitas
organisasi. Wexley dan Gary A Uki (2005:229) mengemukakan bahwa konflik adalah
suatu perselisihan atau perjuangan diantara dua pihak (two perties) yang
ditandaidengan menunjukkan permusuhan secara terbuka dan atau mengganggu dengan
sengaja pencapaian tujuan bagi pihak yang menjadi lawannya.[1]
Definisi
yang diajukan berhubungan dengan tiga tipe macam konflik dasar, yaitu:
1.
Konflik tujuan (goal conflict), yang akan terjadi, apabila keadaan
akhir yang diinginkan at4au hasil-hasilhasil yang diprefensi, ternyata tidak
sesuai satu sama lain.
2.
konflik kognitif (cognitive conflict), yang timbul, apabila para
individu menyadari bahwa ide-ideide atau pemikiran mereka tidak konsisten satu
sama lainnya
3.
konflik afektif (affective Conflict), yaitu konflik yang timbul,
apabila perasaan-perasaan atau emosi-emosi tidak sesuai satu sama lainnya,
maksudnya orang-orangorangmengamuk” terhadapsatu sama lain.
Dalam
organisasi yang sedang mengalami konflik dalam aktivitasnya menunjukkan
ciri-ciri, sebagaiaman dikemukakan oelh Wahyudi). Sebagai berikut:
1.
Terdapat perbedaan pendapat atau pertentangan antar individu atau
kelompok
2.
Terdapat perselisihan dalam mencapai tujuan yang disebabkan adanya
perbedaan persepsi dalam menafsirkan program organisasi
3.
Terdapat pertentangan norma, dan nilai-nilai individu maupun
kelompok
4.
Adnya sikap dan perilaku saling menjadahkan, menghalangi pihak lain
untuk memperoleh kemenangan dalam memperebutkan sumber daya organisasi yang
terbatas
5.
Adanya perdebatan dan pertentangan sebagai akibat munculnya
kreativitas, inisiatif atau gagasan-gagasan baru dalam mencapai tujuan
organisasi.
Dari
uraian tersebut bahwa konflik tidak dapat dihindari dalam suatu organisasi dan
merupakan dinamika dalam organisasi. Walaupun demikian konflik harus diatasi,
demgan membangun komunikasi yang sinergi, harmonis antar anggota organisasi,,
sehingga tidak mengakibatkan terganggunya roda jalannya organisasi.
B.
Aspek-aspek Positif dan Aspek-aspek Negatif Konflik[2]
1.
Konflik sebagai kekuatan positif
Kebutuhan untuk menyelesaikan atau mengatasi konflik menyebabkan
orang mencari jalan untuk mengubah cara-caracara yang berlaku dalam hal
melaksanakan tugas-tugas. Jadi proses penyelesaian konflik dapat merangsang
timbulnya perubahan positif di dalam organisasi yang bersangkutan.
2.
Konflik sebagai suatu kekuatan negatif
Konflik dapat menyebabkan efek-efekefek negatif serius..salah satu
problem serius yang dihadapi adalah kecenderungan konflik untuk menyebabkan
terpancarnya upaya ke arah pencapaian tujuan.
Sumber daya keorganisasian bukannya langsung ditujukan ke arah
pencapaian tujuan-tujuantujuan yang dikehendaki, tetapi mereka habis digunakan
untuk menyelesaikan konflik.
Waktu dan uang merupakan dua macam sumber-sumbersumber daya penting
yang kerapkali dialihkan ke arah penyelesaian konflik.
Konflik dapat pula menimbulkan beban psikologikal pada para
karyawan. Berbagi macam studi yang dilakukan orang telah menunjukkan
bukti-buktibukti bahwa pendapat-pendapatpendapat yang berbenturan satu sama
lain menyebabkan timbulnya “perasaan bermusuhan”, timbulnya ketegangan dan
kecemasan. Perasaan “bermusuhan” tersebut agaknya merupakan hasil dari
terancamnya tujuan-tujuantujuan pribadi penting dan keyakinan-keyakinan oleh
adanya konflik.
Dalam jangka waktu lama, kondisi-kondisi konflik menyebabkan
timbulnya kesulitan untuk mencapai hubungan-hubunganhubungan yang saling
membantu dan saling mempercayai.
Akhirnya perlu dinyatakan bahwa persaingan yang memerlukan adanaya
interaksi antara pihak-pihakpihak yang terlibat,agaknya mempunyai efek negatif
atas kualitas produk.
C. Sumber Konflik Organisasi
Sejumlah faktor berbeda dapat menimbulkan konflik organisasi.
Beberapa faktor – seperti kepribadian yang tidak cocok – bersifat psikologis.
Artinya, konflik tersebut berkaitan dengan karakteristik perseorangan para
karyawan. Hal inilah yang menjelaskan bahwa ada orang yang mempunyai kesulitan untuk
bekerja sama dengan orang lain dan kesulitan tersebut tidak ada kaitannya
dengan kemampuan kerja atau interaksinya yang formal. Namun yang menjadi
perhatian kita adalah konfik yang disebabkan oleh masalah struktural.
1.
Kesalingtergantungan pekerjaan
merujuk kepada sejauh mana dua unit dalam sebuah organisasi saling
tergantung satu sama lain pada bantuan, informasi, kerelaa4n, atau aktivitas
koordinasi lain untuk menyelesaikan tugas masing-masing secara efektif.
Hubungan antara kesalingtergantungan pekerjaan dan konflik adalah tidak
langsung. Yang kita ketahui adalah bahwa yang pertama menimbulkan intensitas
hubungan inter-unit. Jika dipaksakan untuk berinteraksi, potensi untuk konflik
pun pasti meningkat.
2.
Ketergantungan Pekerjaan Satu Arah
Di mana Prospek bagi terjadinya konflik akan lebih besar jika
sebuah unit secara unilateral bergantung pada yang lain. Berlawanan dengan
kesalingtergantungan, ketergantungan pekerjaan satu arahberarti
bahwa keseimbangan kekuasaan telah bergeser. Prospek dari konflik pasti lebih
tinggi karena unit yang dominan mempunyai dorongan yang sedikit saja untuk
bekerja sama dengan unit yang berada di bawahnya. Potensi konflik pada
ketergantungan pekerjaan satu arah mempunyai arti yang lebih penting jika kita
mengetahui bahwa ia jauh lebih sering terdapat pada organisasi daripada
kesalingtergantungan.
3.
Diferensiasi Horisontal yang Tinggi
makin besar perbedaan yang terdapat di antara unit, makin besar
pula kemungkinan timbulnya konflik. Jika unit-unit dalam organisasi amat didiferensiasi,
maka tugas yang dilakukan masing-masing unit dan sub lingkungannya yang
ditangani oleh masing-masing sub unit cenderung tidak sama. Hal ini, pada
gilirannya, akan mengakibatkan terjadinya perbedaan internal yang cukup besar
di antara unit-unit.
4.
Ketergantungan Pada Sumber Bersama yang Langka
Di mana Potensi konflik dipertinggi jika dua unit lebih bergantung
pada pool sumber yang langka seperti ruang gerak fisik, peralatan, dana
operasi, alokasi anggaran modal atau jasa-jasa staf yang disentralisasi seperti
pool untuk mengetik. Potensi tersebut meningkat lebih lanjut jika
anggota-anggota unit merasakan bahwa kebutuhan individualnya tidak dapat
diperolehnya dari pool sumber daya yang tersedia ketika kebutuhan unit lain
dipenuhi.
5.
Perbedaan dalam Kriteria Evaluasi dan Sistem Imbalan
Makin banyak evaluasi dan imbalan manajemen yang menekankan
prestasi setiap departemen secara terpisah-pisah ketimbang secara gabungan,
maka besar pula konfliknya. Kita melihat bukti ini pada organisasi sepanjang
waktu.
6.
Pengambilan Keputusan Partisipatif
Bukti menunjukkan bahwa pengambilan keputusan secara bersama, di
mana mereka yang akan terkena oleh suatu keputusan diikutsertakan dalam badan
yang mengambil keputusan, akan mendorong terjadinya konflik.
7.
Keanekaragaman Anggota
Makin heterogen anggota, makin kecil kemungkinan mereka bekerja
dengan tenang dan bersama-sama. Telah ditemukan bahwa ketaksamaan para
individu, seperti latar belakang, nilai-nilai, pendidikan, umur, dan pola-pola
sosial akan lebih mengurangi kemungkinan hubungan antar pribadi antara
wakil-wakil unit dan pada gilirannya akan mengurangi jumlah kerja sama antara
masing-masing unit.
8.
Ketaksesuaian Status
Membuat konflik terstimulasi jika terjadi ketaksesuaian dalam
penilaian status atau karena adanya perubahan dalam hierarki status. Misalnya,
peningkatan konflik ditemukan jika tingkat di mana status pribadi, atau
bagaimana orang melihat pribadinya sendiri, dan tingkat dari perwakilan dari
departemen berbeda dalam urutan tingkatan dimensi status.
9.
Ketakpuasan Peran.
Yang dekat dengan ketaksesuaian status adalah ketakpuasan peran.
Ketakpuasan peran dapat berasal dari sejumlah sumber, salah satu di antaranya
adalah ketakpuasan status. Jika seseorang merasa bahwa ia berhak mendapatkan
promosi untuk mencerminkan rekor keberhasilannya, maka ia menderita ketakpuasan
peran maupun ketaksesuaian status yang dipersepsikan.
10. Distorsi Komunikasi,
Salah satu sumber konflik yang sering dikemukakan adalah kesukaran
dalam komunikasi. Kasus yang lebih jelas adalah komunikasi vertikal. Jika
diteruskan di atas dan ke bawah di dalam hierarki itu, komunikasi itu peka
terhadap kedwiartian dan distorsi. Tetapi distorsi juga terjadi pada tingkat
horisontal[3].
D.
Komponen-komponen Konflik
Apabila kita berbicara tentang
sesuatu konflik atau disput, maka perlu digariskan perbedaan-perbedaan
fundamental antara tiga macam komponen yang berkaitan berupa
-
Sebuah situasi konflik (A Conflict Situaton)
-
Perilaku konflik ( Conflict Behavior)
-
Sikap dan persepsi-persepsi tentang konflik (Conflict Attitudes
and Perceptions)
E.
Dampak konflik
a.
Dampak positif konflik menurut DuBrin, A. J. yaitu:
1.
dapat menimbulkan perubahan secara konstruktif
2.
segala daya dan inovasi tertuju pada pencapian tujuan
3.
merangsang inovasi, meningkatkan keeratan kelompok
4.
menggantikan tujuan yang tidak relevan
5.
manajemen konflik menguntungkan organisasi
7.
konflik dapat mengurangi ketegangan dalam bekerja.
b.
Dampak Negatif
Konflik negatif menurut DuBrin, A.
J. ialah berupa stres pada individu, kesalahan dalam penggunaan sumber daya
organisasi, konflik mengganggu pencapaian tjuan, munculnya kekacauan pada
aktivitas organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar