Jumat, 28 November 2014

MAKALAH TAFSIR

BAB II
PENDAHULUAN
A.    Surat al-alaq 1-5
a.    Ayat 1
اِقْرَأ بِا سْمِ رَبِّكَ الَّذيْ خَلَقَ
     Artinya : “bacalah dengan nama Tuhan yang mencipta.”
1.    Ma’ani Al-Mufradat

Arti    Lafadz    Arti    Lafadz
Maha Pemurah    الأكرم    Bacalah    اقرأ
Yang telah mengajarkan    علم    Dengan menyebut nama Tuhanmu    باسم ربك
pena    القلم    Yang telah menciptakan    خلق
Yang belum diketahui    لم يعلم    manusia    الإنسان
        Dari segumpal darah    من علق

2.    Munasabah Al-Qur’an/Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul ayat ini adalah disebutkan dalam hadits-hadits shahih , bahwa Nabi SAW mendatangi gua hira’ (hira’ adalah nama gunung di Makkah) untuk tujuan beribadah selama beberapa hari, beliau kembali kepada istrinya, Siti Khadijah untuk mengambil bekal secukupnya. Hingga pada suatu hari di dalam gua, beliau dikejutkan oleh kedatangan malaikat membawa wahyu Illahi. Malaikat berkata kepadanya : “Bacalah!” beliau menjawab “Saya tidak bisa membaca”. Perawai mengatakan bahwa untuk kedua kalinya malaikat memrgang nabi dan mengguncangkan badannya hingga nabi kepayahan, dan setelah itu dilepaskan. Malaikat berkata lagi kepadanya “Bacalah!” Nabi menjawab “Saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa untuk ketiga kalinya malaikat memrgang nabi dan mengguncangkannya hingga beliau kepayahan. Setelah itu barulah nabi mengucapkan apa yang diucapkan oleh malaikat, yaitu surat Al-Alaq 1-5.
Para perawi hadits mengatakan bahwa Nabi SAW kembali ke rumah Khadijah dalam keadaan gemetar seraya mengatakan, “Selimuti aku, selimutilah aku!” kemudian Khadijah menyelimuti beliau hingga rasa takut beliau pun hilang. Setelah itu beliau menceritakan semuanya kepada Khadijah, kemudian Khadijah mengajak beliau menemui Waraqah Ibnu Naufal Ibnu ‘Abdi ‘I-Uzza (anak paman Khadijah), berdasarkan hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa permulaan surat ini merupakan awal ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan dan merupakan rahmat Allah pertama yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya, serta kitab pertama ditujukan keapada Rasulullah SAW.

3.    Penjelasan Para Mufassir
Kata اقرأ  iqra’ terambil dari kata kerja قرأ  qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila anda merangkai huruf atau kata kemudian anda mengucapkan rangkaian tersebut maka anda telah menghimpunnya yakni membacanya. Dengan demikian, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus-kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut, antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu dan sebagainya, yang kesemuanya bermuara pada arti menghimpun.
Ayat di atas tidak menyebutkan obyek bacaan dan Jibril as. Ketika itu tidak juga membaca satu teks tertulis, dan karena itu dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Nabi saw. Bertanya: ما اقرأ  ma aqra’/ apakah yang harus saya baca?
Beraneka ragam pendapat ahli tafsir tentang objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat wahyu-wahyu al-Qur’an, sehingga perintah itu dalam arti bacalah wahyu-wahyu al-Qur’an ketika dia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adalah ismi Rabbika sambil menilai huruf ba’ yang menyertai kata ismi adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berdzikirlah. Tapi jika demikian mengapa Nabi saw. Menjawab: “saya tidak dapat membaca.” Seandainya yang dimaksud adalah perintah berdzikir tentu beliau tidak menjawab demikian karena jauh sebelum datang wahyu beliau telah senantiasa melakukannya.
Huruf ب  ba’ pada kata باسم  bismi ada juga yang memahaminya sebagai berfungsi penyertaan atau mulabasah dengan demikian ayat tersebut berarti “bacalah disertai dengan nama Tuhanmu”
Kata rabb seakar dengan kata تربية  tarbiyah/pendidikan. Kata memiliki arti yang berbeda-beda namun pada akhirnya arti-arti itu mengacu pada pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan serta baikan. Kata rabb maupun tarbiyah berasal dari kataرب – يربو   raba-yarbu yang dari segi pengertian kebahasaan dalah kelebihan. Dataran tinggi dinamai ربوة  rabwah, sejenis roti yang dicampur dengan air sehingga membengkak dan membesar disebut الرّ بو  ar-rabw.
Kata rabb apabila berdiri sendiri maka yang dimaksud adalah “Tuhan” yang tentunya antara lain karena Dialah yang melakukan tarbiyah (pendidikan) yang pada hakikatnya adalah pengembangan, peningkatan, serta perbaikan makhluk ciptaan-Nya. Agaknya penggunaan kata rabb dalam ayat ini dan ayat-ayat semacamnya dimaksudkan untuk menjadi dasar perintah mengikhlaskan diri kepada-Nnya, sambil menunjuk kewajaran-Nya untuk disembah dan ditaati.
Kata خلق  khalaqa dari segi pengertian kebahasaan memiliki sekian banyak arti, antara lain: meciptakan (dari tiada), menciptakan (tanpa satu contoh terlebih dahulu), mengukur, memperhalus, mengatur, membuat, dan sebagainya. Kata ini biasanya memberikan tekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya. Berbeda dengan kata جعل  ja’ala yang mengandung penekanan terhadap manfaat yang harus atau dapat diperoleh dari suatu yang dijadikan itu. Objek khalaqa pada ayat ini tidak disebutkan sehingga objeknya pun sebagaimana iqra’ bersifat umum, dan dengan demikian Allah adalah pencipta semua makhluk.


b.    Ayat 2
خَلَقَ الأِ نْسَا نَ مِنْ عَلَقْ
Artinya: Menjadikan manusia dari segumpal darah

Ayat ini dan ayat-ayat berikut memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw. Dan yang diperintahkan oleh ayat yang lau untuk membaca dengan nama-Nya serta demi untuk-Nya. Dia adalah Tuhan yang telah menciptakan manusia yakni semua manusia kecuali Adam dan Hawwa dari ‘alaq segumpal darah ata sesuatu yang bergantung di dinding rahim.
Kata الإنسان  al-insan/manusia terambil dari akar kata أنس  uns/senang, jinak, dan harmonis, atau dari kata نسي  nis-y yang berarti lupa. Ada juga yang berpendapat berasal kata نوس  naus yakni gerak atau dinamika. Kata insan menggambar manusia dengan berbagai keragam sifatnya. Kata ini berbeda dengan kata بشر  basyar yang juga diterjemahkan dengan “manusia” tetapi maknanya lebih banyak mengacu pada manusia dari segi fisik serta nalurinya yang tidak berbeda antara seseorang manusia dengan manusia lain.
Manusia adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam al-Qur’an melalui wahyu pertama. Bukan saja karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, atau karena segala sesuatu dalam alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demu kepentingannya, tetapi juga karena Kitab Suci al-Qur’an ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya. Salah satu cara yang ditempuh oleh al-Qur’an untuk mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah adalah memperkenalkan jati dirinya antara lain dengan mnguraikan proses ejadiannya. Antara ayat kedua surah iqra’ menguraikan secara sangat singkat hal tersebut.
Kata علق  ‘alaq dalam kamus-kamus bahasa arab digunakan dalam arti segumpal darah, juga dalam arti cacing yang terdapat dalam air bila diminum oleh binatang maka ia tersangkut di tenggorokannya. Banyak ulama masa lampau memahami ayat di atas dalam pengertian pertama. Tetapi ada juga yang memahaminya dalam arti sesuatu yang tergantung di dinding rahim. Ini karena para pakar embriologi manyatakan bahwa setelah terjadinya antara pertemuan antara sperma dan indung telur, ia berproses dan membelah menjadi dua, kemudian empat, kemudia delapan, demikian seterusnya sambil bergerak menuju kantong kehamilan dan melekat berdempet serta masuk ke dinding rahim.
Bisa juga kata ‘alaq dipahami sebagai berbicara tentang sifat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada selainnya.
c.    Ayat 3
إِقْرَأْ وَ رُبُّكَ الأَكْرَامُ
Artinya: Bacalah, dan tuhanmu yang maha pemurah

Setelah memerintahkan membaca dengan meningkatkan motivasinya yakni dengan nama Allah, kini ayat di atas memerintahkan membaca dengan menyampaikan janji Allah atas manfaat membaca itu. Allah berfirman: “bacalah berulang-ulang dan Tuhan pemelihara dan pendidik-mu Maha Pemurah sehingga akan melimpahkan aneka karunia.
Ayat tiga di atas mengulangi perintah membaca. Ulama berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan itu. Ada yang menyataka bahwa perintah pertama ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad saw., sedang yang kedua pada umatnya, atau yang pertama untuk membaca dalam shalat, sedang yang kedua di luar shalat. Pendapat ketiga menyatakan yang pertama perintah belajar, sedang yang kedua adalah perintah mengajar orang lain. Ada lagi yang menyatakan bahwa perintah kedua berfungsi mengukuhkan guna menanamkan rasa “percaya diri” kepada Nabi Muhammad saw., tentang kemampuan beliau membaca karena tadinya beliau tidak pernah membaca.
Kata الأكرم  al-akram bisa diterjemahkan dengan yang maha/ paling murah atau semulia-mulia. Kata ini terambil dari kata كرم  karama antara lain berarti: memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia, dan sifat kebangsawanan. Allah menyangdang sifat karim, menurut Imam Ghazali sifat ini menunjuk kepada-Nya yang mengandung makna antara lain bahwa: “Dia yang bila berjanji, menepati janji-Nya; bila memberi, melampaui batas harapan pengharap-Nya.
Kata al-karim yang menyifati Allah dalam al-Qur’an, kesemuanya menunjuk kepada-Nya dengan kata Rabb, bahkan demikian juga kata akram sebagaimana terbaca di atas. Penyifatan Rabb dengan karim menunjukkan bahwa karam (anugerah kemurahan-Nya dalam berbagai aspek), dikaitkan dengan Rububiyyah-Nya yakni pendidikan, pemeliharaan dan perbaikan makhluk-Nya, sehingga anugerah tersebut dalam kadar dan waktunya selalu berbarengan serta bertujuan perbaikan dan pemeliharaan.

d.    Ayat 4-5
عَلَمَ الاِ نْسَا نَ مَا لَمْ يَعْلَمْ- ا لّذْ ي عَلَّم بِا لْقَلَمْ
Artinya: “Yang mengejar dengan qalam - Dia mangajar manusia sesatu yang tidak diketahui”

Ayat-ayat yang lalu menegaskan kemurahan Allah swt. Ayat dia atas melanjutkan dengan memberi contoh sebagian dari kemurahan-Nya itu dengan menyatakan bahwa: “Dia Yang Maha Pemurah itu yang mengajar manusia dengan pena yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan Dia juga yang mengajar manusia tanpa alat dan usaha mereka apa yang belum diketahui-nya.
Kata القلم  al-qalam terambil dari kata kerja قلم  qalama yang berarti memotong ujung sesuatu. Memotong ujung kuku disebut تقليم  taqlim. Tombak yang dipotong ujungnya sehingga nmeruncing dinama مقاليم  maqalim. Anak panah yang runcing ujungnya dan yang bisa digunakan untuk mengundi dinamai pula qalam (QS. Ali-Imran [3]: 44). Alat yang digunakan untuk menulis dinamai pula qalam karena pada mulanya alat tersebut dibuat dari suatu bahan yang dipotong dan diperuncing ujungnya. Kata qalam disini berarti hasil dari penggunaan alat tersebut, yakni tulisan. Ini karena bahasa, sering kali menggunakan kata yang berarti “alat” atau “penyebab” untuk menunjuk “akibat” atau “hasil” dari penyebab atau penggunaan dari alat tersebut.
Pada kedua ayat di atas terdapat apa yang dipahami ihtibak yang maksudnya adalah tidak disebutkan sesuatu keteranngan, yang sewajarnya ada pada dua susunan kalimat yang bergandengan, karena keterangan yang dimaksud telah disebut pada kalimat yang lain. Pada ayat 4 kata manusia tidak disebut karena telah disebut pada ayat 5, dan pada ayat 5 kalimat tanpa pena tidak disebut karena pada ayat 4 telah diisyaratkan makna itu denngan disebut pena.  Dengan demikian kedua ayat tersebut dapat berarti “Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan) (hal-hal yang telah diketahui manusia sebelumnya) dan Dia mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya.’ Kalimat “yang telah diketahui sebelumnya” disisipkan karena isyarat pada susunan kedua ayat yaitu “yang belum atau tidak diketahui sebelumnya.” Sedang kalimat “tanpa pena” ditambahkan karena adanya kata “dengan pena” dalam susunan pertama. Yang dimaksud dengan ungkapan “telah diketahui sebelumnya” adalah khazanah pengetahuan dalam bentuk tulisan.
Dari uraian di atas kita dapat menyatakan bahwa kedua ayt tersebut menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah swt. Dalam mengajar manusia. Pertama melalui pena (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia, dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah   علم لدنّي‘ilm Ladunniy.
Pada awal surah ini, Allah telah memperkenalkan diri sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Pemurah. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan karam (kemurahan)-Nya tidak terbatas, hingga Dia kuasa dan berkenaan untuk mengajar manusia dengan atau tanpa pena.

B.    Surat al-ghhasyiyah (88) ayat 17-20
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾ وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿١٨﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾ وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾
Artinya:
017. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,
018. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
019. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
020. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?






1.    Ma’ani Mufradat
Arti    Lafadz    Arti    Lafadz
gunung    الجبال    Mereka melihat/memperhatikan    ينظرون
ditegakkan    نصبت    Unta    الإبل
bumi    الأرض    Diciptakan    خلقت
dihamparkan    سطحت    Langit    السماء
        Ditinggikan    رفعت

2.    Munasabah Ayat/ Asbabun Nuzul
Qatadah ra menegaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaum musyrik, yang tatkala Allah menjelaskan ciri-ciri dan kenikmatan syurga, merasa takjub dan heran. (H.R Ibnu Hatim dan Ibnu Jarir)

3.    Pendapat Para Mufassir
Setelah menguraikan ganjaran yang akan diperoleh pada hari kemudian oleh orang-orang yang taat, dan sebelumnya telah menguraikan balasan para pendurhaka, kaum musyrikin masih tetap bersikeras menolak keniscayaan hari kiamat. Sering kali alasan penolakan mereka adalah keraguan mereka atas kuasa Allah swt. Dan ilmu-Nya untuk menghimpun dan menghidupkan kembali tulang belulang yang telah lapuk, dan terserak kemana-mana. Untuk menampik dalil itu, Allah mengajak mereka yang meragukan kuasa-Nya untuk memperhatikan alam raya. Allah berfirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan bukti kuasa Allah yang terbentang di alam raya ini, antara lain kepada unta yang menjadi kendaraan dan bahan pangan mereka bagaimana ia diciptakan oleh Allah dengan sangat mengagumkan? Dan apakah mereka tidak merenungkan tentang langit yang demikian luas dan yang selalu mereka saksikan bagaimana ia ditinggikan tanpa ada cagak yang menopangnya? Dan juga gununggunung yang demikian tegar dan biasa mereka daki bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi tempat kediaman mereka dan yang tercipta bulat bagaimana ia dihamparkan?”
Penggunaan kata إلى ila/kepada yang digandeng dengan kata ينظرون yanzhurun/melihat atau memperhatikan, untuk mendorong setiap orang melihat sampai batas akhir yang ditunjukk oleh kata ila itu dalam hal ini unta. Sehingga pandangan dan perhatian benar-benar menyeluruh, sempurna dan mantap agar dapat menarik darinya sebanyak mungkin bukti tentang kuasa Allah dan kehebatan ciptaan-Nya.
Dalam tafsir al-Muntakhah yang disusun oleh satu tim yang terdiri dari beberapa pakar mesir, ayat-ayat di atas dikomentari antara lain sebagai berikut: penciptaan unta yang sungguh sangat luar biasa menunjukkan kekuasaan Allah dan merupakan sesuatu yang perlu kita renungkan.


C.    Surah Ar-Rahman ayat 33

يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا ۚ لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ
“Hai kelompok jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, tembuslah maka kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.”



1.    Ma’ani al-mufridat
Arti    Lafadz    Arti    Lafadz
penjuru    أقطار    Golongan    معشر
Dengan kekuatan    بسلطان    Kamu sekalian mampu    استطعتم
        Kamu sekalian menembus    تنفذوا

2.    Munasabah Ayat/ Asbabun Nuzul
Menurut Jumhur Sahabat dan Tabiin bahwa surat Ar-Rahman diturunkan di Makkah tetapi terdapat Jamaah (yang mengambil periwayatan) dari Ibnu Abbas bahwa surat Ar-Rahman diturunkan di Madinah. Sebab-sebab diturunkannya atau Asbab Nuzul Surat Ar-Rahman yaitu ketika orang-orang kafir bertanya siapakah Ar-Rahman itu? Yang terdapat dalam surat Al-Furqan: 60: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada yang Maha Penyayang", mereka menjawab:"Siapakah yang Maha Penyayang itu? apakah kami akan sujud kepada Tuhan yang kamu perintahkan kami(bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman). (QS: Al-Furqan: 60)

3.    Penjelasan Pendapat Mufassir
Ayat yang lalu mengancam manusia dan jin bahwa Allah akan berkonsentrasi untuk melakukan perhitungan terhadap amal-amal mereka. Ayat ini menegaskan bahwa mereka tidak dapat menghindari dari pertanggungjawaban serta akibat-akibatnya. Allah menantang mereka dengan menyatakan : Hai kelompok jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus keluar menuju penjuru-penjuru langit dan bumi guna menghindari pertanggungjawaban atau siksa yang menimpa kamu itu maka tembuslah keluar. Tetapi sekali-kali kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan, sedangkan kamu tidak memiliki kekuatan.  Maka nikmat Tuhan kamu berdua yang manakah yang kamu berdua ingkari?
Peringatan di atas yang merupakan salah satu bentuk nikmat Allah swt, dan karena itu pertanyaan yang menggugah atau mengandung kecaman tersebut di ulang lagi.
Kata ( معشر ) ma’syar berarti jamaah/ kelompok. Terambil dari kata ( عشرة ) asyrah yang juga berarti sepuluh karena mereka tidak dihitung satu persatu, tetapi sepuluh demi sepuluh.
Thahir ibn Asyur menegaskan bahwa ayat ini bukanlah merupakan ucapan yang diucapkan kepada mereka dalam kehidupan dunia ini. Maksudnya ayat ini akan diucapkan kelak di hari Kemudian sebagaimana dipahami dari konteks ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Penulis  menambahkan bahwa memang sementara ulama terdahulu menyatakan itu diucapkan kepada mereka dalam kehidupan dunia ini, tetapi maksudnya dalam arti perintah untuk menghindar dari maut-kalau mereka mampu.
Ayat ini dijadikan oleh sementara orang sebagai bukti isyarat ilmiah Al-Qur’an tentang kemampuan manusia keluar angkasa. Pendapat ini kurang di setujui oleh penulis . Karena kalaupun kini manusia telah dapat sampai ke bulan atau planet yang lain, maka itu bukan berrarti bahwa manusia telah sanggup keluar menembus penjuru-penjuru angkasa langit dan bumi. Walau tanpa memperhatikan konteks ayat sebelum dan sesudah ayat di atas kita dapat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang kehidupan sebelum Kiamat, karena yang ditekankan di sini adalah ketidakmampuan menembus penjuru-penjuru langit serta bumi, dan hingga kini belum lagi bahkan tidak ada yang berhasil melakukannya. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa upaya menembus langit dan bumi yang berjarak jutaan tahun cahaya yang mustahil dapat diulakukan oleh jin dan manusia.
Tim penulis  menyatakan bahwa pendapat yang memahami ayat di atas berkaitan dengan kemampuan manusia menjelajah ruang angkasa tidak sejalan dengan konteks kemampuan manusia dean seudahnya. kesimpulannya, ayat 33 ini merupakan peringatan dan tantangan bagi mereka yang bermaksud menghindar dari tanggung jawabnya di hari Kemudian itu. Jika demikian, ayat ini tidak berbicara dalam konteks kehidupan duniawi-apalagi menyangkut kemampuan manusia menembus angkasa-luar tetapi semacam sebagai ancaman bagi yang hendak menghindar. Karena itu perintah di atas tembuslah bukan perintah untuk dilaksanakan, tetapi perintah menunjukkan ketidakmampuan memenuhinya.

D.    Surat At-Taubah ayat 122

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

1.    Ma’ani Mufradat
Arti     Lafadz    Arti
    Lafadz
Kaumnya    قَوْمَهُمْ
    Tidak sepatutnya    وَمَا كَان   
Mereka kembali    رَجَعُوٓا۟    Untuk mereka pergi    لِيَنفِرُوا۟
Mereka menjaga diri/ hati-hati    يَحْذَرُونَ    Untuk mereka memperdalam     لِّيَتَفَقَّهُوا۟
        Dan untuk memperingatkan    وَلِيُنذِرُوا۟


2.    Munasabah ayat/ Asbabun Nuzul
Ibnu Abu Hatim  mengetengahkan sebuah hadis melalui Ikrimah yang menceritakan, bahwa ketika diturunkan firman-Nya berikut ini, yaitu, "Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang pedih." (Q.S. At-Taubah 39). Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka berada di daerah badui (pedalaman) karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya, "Sungguh masih ada orang-orang yang tertinggal di daerah-daerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu." Kemudian turunlah firman-Nya yang menyatakan, "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang)." (Q.S. At-Taubah 122). Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis lainnya melalui Abdullah bin Ubaid bin Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum Mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila Rasulullah saw. Mengirimkan pasukan perang, maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan Nabi saw. di Madinah bersama dengan orang-orang yang lemah. Maka turunlah firman Allah swt. yang paling atas tadi (yaitu surah At-Taubah ayat 122).

3.    Pendapat Para Mufassir
Ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi tugas dengan menegaskan bahwa Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukin yang selama ini di anjurkan agar bergegas menuju mendan perang pergi semua  ke medan perang sehingga tidak tersisa tidak lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum maka mengapa tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar di antara mereka beberapa orang dari setiap golongan, dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga meeka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga untuk member peringatan kepada kaum mereka untuk member peringatan kepada kaum mereka yang menjadi anggota pasukan yang ditugaskan Rasulullah itu apabila nanti  setelah selesainya tugas, mereka, yakni anggota pasukan itu telah kembai kepada mereka yang memperdalam pengetahuan itu, supaya mereka yang jauh dari Rasulullah karena tugasnya dapat berhati-hati  dan menjaga diri mereka.
Menurut al-Biqa’I , kata (طائفة) tha’ifah  dapat berarti satu atau dua orang. Ada juga yang tidak menentukan jumlah tertentu, namun yang jelas ia lebih kecil dari ( فرقة) firqah  yang bermakna sekelompok manusia yang berbeda denngan kelompok yang lain. Karena itu, satu suku atau bangsa, masing-masing dapat dinamai firqah.
Kata (ليتفقهوا) liyatafaqqahu terambil dari kata (فقه) fiqh, yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Bukan sekedar pengetahuan. Penambahan huruf ta’ pada kata tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasuilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. Demikian kata tersebut mengundang kaum muslimin untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan. Kata fiqh  di sini mencakup segala macam pengetahuan mendalam. Tidak ada istilah ilmu agama dan ilmu umum karena pada masa turunnya Al- Qur’an belum ada pembagian antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan atau umum, karena semua ilmu bersumber dari Allah swt.
Tujuan utama ayat ini adalah menggambarkan bagaimana seharusnya tugas-tugas dibagi sehingga tidak semua mengerjakan satu jenis pekerjaan saja.
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya mempertahankan wilayah. Bahkan, pertahanan wilayah erat dengan kemampuan informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia.
Yang dimaksud dengan orang yang memperdalam pengetahuan demikian juga yang memberi peringatan adalah mereka yang tinggal bersama Rasul saw. Dan tidak mendapat tugas sebagai anggota pasukan, sedang mereka yang diberi peringatan adalah anggota pasukan yang keluar melaksanakan tugas yang dibebankan Rasul saw. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar