Jumat, 28 November 2014

EVALUASI PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Menurut Undang-undang Pendidikan Nasional, evaluasi yang dilakukan oleh berbagai komponen dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Evaluasi pendidikan Nasional secara umum merupakan bagian penting dalam proses  pendidikan, karena evaluasi merupakan bagian terpenting dalam struktur kurikulum.
Evaluasi itu perlu dilakukan, dengan mengingat akan sifat-sifat manusia itu sendiri yaitu manusia adalah makhluk yang lemah, makhluk yang suka membantah dan ingkar kepada Allah, mudah lupa dan banyak salah namun mempunyai batas untuk sadar kembali. Tetapi di sisi lain manusia juga merupakan makhluk terbaik dan termulia, yang dipercaya Allah untuk mengemban amanat yang istimewa, yang diangkat sebagai khalifah di bumi dan yang telah diserahi Allah apa yang ada di langit dan di bumi.
Bertolak dari kajian tersebut, maka ditemukan hal-hal prinsipil sebagai berikut: bahwa manusia itu ternyata memiliki kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan tertentu, sehingga perlu diperbaiki baik oleh dirinya sendiri maupun pihak lain. Namun manusia itu juga memiliki kelebihan-kelebihan tertentu sehingga kemampuan tersebut perlu dikembangkan dan manusia mempunyai kemampuan untuk mencapai posisi tertentu sehingga perlu dibina kemampuannya untuk mencapai posisi tersebut. Dengan mengingat hal-hal tersebut, maka evaluasi amatlah diperlukan, apalagi dalam proses pendidikan. Evaluasi yang dilakukan Allah terhadap umat manusia mengandung pengertian bahwa manusia senantiasa dalam pengawasan Allah yang apabila hal ini disadari oleh manusia berarti ia akan hati-hati dalam bertingkah laku.
Al Qur’an sebagai sumber utama pendidikan Islam, banyak mengungkap konsep evaluasi di dalam ayat-ayatnya sebagai acuan bagi manusia untuk hati-hati dalam melakukan perbuatannya. Selanjutnya evaluasi merupakan kajian yang harus dibahas, maka permasalahan yang muncul seputar pembahasan ini adalah; bagaimana pengertian evaluasi pendidikan?, Apa fungsi evaluasi dalam pendidikan dan tujuannya menurut Al Qur’an ?, serta bagaimana teknik evaluasi dalam pendidikan dan Al Qur’an ?.



B.    Rumusan masalah
1.    Bagaimana penjelasan kedua ayat dalam ma’ani al-mufradat?
2.    Bagaimana penjelasan kedua ayat dalam terjemahan yang utuh?
3.    Bagaimana penjelasan asbab ul-nuzul kedua ayat tersebut?
4.    Apa pendapat para mufassir mengenai kedua ayat tersebut?
5.    Apa pendapat penulis mengenai tema yang disesuaikan dengan menggunakan ayat lain, hadits atau pendapat para ilmuawan?

C.    Tujuan masalah
1.    Menjelaskan ma’ani al-mufradat.
2.    Menerjemahkan secara utuh.
3.    Menjelaskan asbab ul-nuzul.
4.    Menyampaikan atau menjelaskan ayat dari berbagai pendapat berbagai mufassir.
5.    Menyampaikan pendapat penulis disesuaikan dengan tema (Evaluasi Pendidikan) dengan menggunakan ayat lainnya, hadits atau pendapat para ilmuwan.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ma’ani al-mufradat
I.    Surat Al-Hasyr ayat 18
يَٰٓأَيُّهَا         : hai
ٱلَّذِينَ        : orang-orang yang
ءَامَنُوا۟       : beriman
ٱتَّقُوا۟         : bertaqwalah
ٱللَّهَ           : Allah
وَلْتَنظُرْ      : dan hendaklah memperhatikan
نَفْسٌ          : jiwa/diri/seseorang
مَّا             : apa
قَدَّمَتْ         : yang telah ia perbuat
لِغَدٍ            : untuk hari esok
وَٱتَّقُوا۟         : dan bertaqwalah
ٱللَّهَ             : Allah
إِنَّ             : sesungguhnya
ٱللَّهَ             : Allah
خَبِيرٌۢ          : Maha Mengetahui
بِمَا            : terhadap apa-apa
تَعْمَلُونَ       : kalian kerjakan

Kata (قَدَّمَتْ ) qaddamat/dikedepankan digunakan dalam arti amal-amal yang dilakukan untuk meraih manfaat dimasa datang. Ini seperti hal-hal yang dilakukan terlebih dahulu guna menyabut tamu sebelum kedatanganya. Perintah memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok, dipahami oleh Thabathabai sebagai perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah dilakukan. Ini seperti orang tukang yang telah memperselesaikan pekerjaannya. Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada kekurangannya, sehingga bila tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan dan barang tersebut tampil sempurna. Setiap mukmin dituntut melakukan hal itu. Kalau baik dia dapat mengharap ganjaran, dan kalau amal buruk dia hendaknya segera bertaubat. Atas dasar itu pula, ulama beraliran syi’ah itu berpendapat bahwa peritah takwa yang kedua dimaskudkan untuk perbaikan dan penyempurnaan amal-amal yang telah dilakukan atas dasar perintah takwa yang pertama.
Penggunaan kata (نَفْسٌ ) nafs/diri yang berbentuk tunggal dari satu sisi untuk mengisyaratkan bahwa tidaklah cukup penilaian sebagai atas sebagai yang lain, tetapi masing-masing harus melakukannya sendiri-sendiri atas dirinya, dan disisi lain ia mengisyaratkan bahwa dalam kenyataan otokritis ini sangatlah jarang dilakukan.
II.    Surat Al-Ankabut ayat 2
أَحَسِبَ       : apakah mengira
 ٱلنَّاسُ        : manusia
أَن            : bahwa
يُتْرَكُوٓا۟      : mereka ditinggalkan atau dibiarkan
أَن            : bahwa
يَقُولُوٓا۟        : mereka berkata
ءَامَنَّا         : kami beriman
وَهُمْ          : dan mereka
يُفْتَنُونَ لَا    : tidak akan diuji
Allah SWT berfirman: Aha-siba al-nas an yutrakû an yaqulu amanna wahum la yuftanun (apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi?). Ada beberapa riwayat mengenai sabab al-nuzul ayat ini. Meskipun demikian, ayat ini tidak hanya berlaku untuk mereka. Sebab, kata al-nas memberikan makna umum yang berarti meliputi seluruh manusia.
Kata hasiba dalam ayat ini bermakna zhanna (menduga, mengira). Sedangkan huruf hamzah di depannya merupakan istifham (kata tanya). Ibnu Katsir dan Sihabuddin al-Alusi menyimpulkan bahwa istifham dalam ayat ini bermakna inkâri (pengingkaran). Bisa juga, sebagaimana dinyatakan al-Syaukani, bermakna li al-taqri' wa al-tawbikh (celaan dan teguran). Artinya, mereka tidak dibiarkan begitu saja mengatakan telah beriman tanpa diuji dan dicoba seperti yang mereka kira. Mereka benar-benar akan diuji untuk membuktikan kebenaran pengakuan iman mereka.
Kata yuftanun berasal dari kata al-fitnah. Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para mufassir mengenai kata tersebut. Mujahid, sebagaimana dikutip Ibnu Jarir, memaknainya la yuftanun sebagai la yubtalun (mereka diuji). Menurut al-Nasafi, pengertian al-fitnah di sini adalah al-imtihan (ujian) yang berupa taklif-taklif hukum yang berat, seperti kewajiban mening-galkan tanah air dan berjihad melawan musuh; melaksanakan seluruh ketaatan dan meninggalkan syahwat, ditimpa kemis-kinan, paceklik, dan berbagai musibah yang melibatkan jiwa dan harta; dan bersabar meng-hadapi kaum kafir dengan berbagai makar mereka.
B.    Terjemah Secara Utuh
I.    Surat Al-Hasyr ayat 18
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ لْتَنْظُرْ نَفْسٌ ما قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبيرٌ بِما تَعْمَلُونَ
Artinya: Wahai orang-orang yang ber¬iman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah merenungkan se¬tiap diri, apalah yang telah diper¬buatnya untuk hari esok. Dan takwalah kepada Allah! Sesung¬guhnya Allah itu Maha Menge¬tahui apa pun yang kamu kerjakan.
II.    Surat Al-Ankabut ayat 2

Artinya: Apakah manusia mengira, bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan , “kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?.




C.    Asbab ul-nuzul

II.Surat Al-Ankabut ayat 2
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari asy-Syu’bi bahwa orang-orang yang berada di kota Mekah yang telah masuk Islam, mendapat surat dari sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang berada di Madinah. (Isi surat tersebut menyatakan) bahwa keislaman mereka tidak akan diterima kecuali jika mereka berhijrah. Maka berhijrahlah mereka ke Madinah. Akan tetapi mereka dapat disusul oleh kaum musyrikin, sehingga digiring kembali ke Mekah. Setelah turun ayat ini orang-orang yang berada di Madinah mengirim surat kembali kepada mereka, yang menegaskan bahwa Allah telah menurunkan ayat berkenaan dengan keadaan mereka. Dalam ayat itu dikemukakan bahwa hijrah dengan segala penghalangnya adalah ujian terhadap keimanan mereka. Merekapun berangkat kembali berhijrah dan bertekad untuk memerangi orang-orang yang menghambatnya. Pada waktu itu kaum musyrikin mengikuti kaum Muslimin yang berhijrah itu, dan karenanya merekapun memerangi kaum musyrikin itu. Sebagian dari kaum Muslimin ada yang terbunuh dan sebagian lagi dapat menyelamatkan diri. Maka turunlah surah an-Nahl ayat 110.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Qatadah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Mekah yang berhijrah ke Madinah menyusul Nabi saw., tetapi dicegat dan digiring kembali oleh kaum musyrikin ke Mekah. Kaum Muslimin yang ada di Madinah mengirim surat yang isinya memberitahukan kepada mereka perihal ayat yang disebutkan di atas. Setelah menerima surat tersebut, merekapun berangkat kembali berhijrah, sehingga di antara mereka ada yang gugur dan ada yang selamat (dari sergapan kaum musyrikin). Maka turunlah ayat selanjutnya (al-Ankabut: 69) sebagai jaminan bahwa Allah akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang berjihad demi mencari keridhaan-Nya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari ‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Ammar bin Yasir yang disiksa (oleh kaum musyrikin) karena mengikuti agama Allah.


D.    Pendapat Mufassir
I.    Surat Al-Hasyr ayat 18
Disebutkan dalam Tafsir ibnu Katsir bahwa taqwa sendiri diaplikasikan dalam dua hal, menepati aturan Allah dan menjauhkan diri dari laranganNya. Jadi, tidak bisa kita mengatakan “saya telah menegakkan shalat”, setelah itu berbuat maksiat kembali. Karena makna taqwa sendiri saling bersinergi, tidak dapat dipisahkan. Bandingkan dengan penjelasan Al-Qurthubiy dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, yang menyatakan bahwa perintah taqwa (pada rangkaian ayat ini) bermakna: “Bertaqwalah pada semua perintah dan larangannya, dengan cara melaksanakan faraidh-Nya (kewajiban-kewajiban) yang dibebankan oleh Allah kepada diri kita sebagai orang yang beriman dan menjauhi ma’ashi-Nya (larangan-larangan) Allah, yang secara keseluruhan harus kita tinggalkan dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Mengenai pertanyaan: “Apakah kita selamanya harus bertaqwa kepada Allah?” Jawabnya: “Tentu saja, dharuriyyan (bahasa Arab), absolutely (bahasa Inggris), tidak boleh tidak!”. Karena kita adalah orang-orang yang beriman, yang memiliki komitmen untuk bertaqwa kepada Allah. Perintah bertaqwa dalam hal ini ditujukan bagi orang-orang yang beriman (Ya ayyuha l-ladzina amanu). Sedangkan orang yang belum beriman haruslah beriman terlebih dahulu, untuk kemudian bertaqwa.
Penggalan ayat selanjutnya memunyai makna yang mendalam. Waltanzhur nafsun mâ qaddamatl ighadin. Dan hendaklah seseorang melihat apa yang telah ia perbuat (di masa lalu) untuk hari esok. Dalam Tafsir at-Thabariy dijabarkan: “Dan hendaklah seseorang melihat apa yang telah diperbuatnya untuk hari Kiamat. Apakah kebajikan yang akan menyelamatkannya, atau kejahatan yang akan menjerumuskannya?.
Kata-kata ‘ghad’ sendiri dalam bahasa Arab berarti “besok”. Beberapa mufassir (pakar tafsir) menyatakan dalam beberapa riwayat: Allah “senantiasa mendekatkan hari kiamat hingga menjadikannya seakan terjadi besok, dan ‘besok’ adalah hari kiamat”.
Ada juga yang mengartikan ‘ghad’ sesuai dengan makna aslinya, yakni besok. Hal inibisa diartikan juga bahwa kita diperintahkan untuk selalu melakukan introspeksi dan perbaikan guna mencapai masa depan yang lebih baik. Melihat masa lalu, yakni untuk dijadikan pelajaran bagi masa depan. Atau juga menjadikan pelajaran masa lalu sebuah investasi besar untuk masa depan.
Dalam kitab Tafsir ibnu Katsir, ayat ini disamakan dengan perkataan hasibu anfusakum qablaan tuhasabu. Hisablah (introspeksi) diri kalian sebelum nanti kalian dihisab (di hari akhir). (Wattaqullah) Dan bertaqwalah kepada Allah. Kalimat kedua (wattaqullah) sama dengan pernyataan Allah dalam kalimat pertama ayat ini. Perintah bertaqwa disebutkan dua kali sebagai sebuah bentuk penekanan. Hal ini menggambarkan betapa pentingnya ketaqwaan kita kepada Allah. Bahkan, perintah bertaqwa juga disebutkan oleh para khatib secara eksplisit pada setiap khutbah Jum’at. Al-Qurthubiy menjelaskan bahwa kalimat wattaquLlah pada rangkaian yang kedua (dalam ayat ini) memberikan pengertian: “Seandainya rangkaian kalimat pertama (wattaquLlah) bisa dipahami sebagai perintah untuk bertaubat terhadap apa pun perbuatan dosa yang pernah kita lakukan, maka pengulangan kalimat wattaqullah pada ayat ini (untuk yang kedua kalinya) memberikan pengertian agar kita berhati-hati terhadap kemungkinan perbuatan maksiat yang bisa terjadi di kemudian hari setelah kita bertaubat, karena setan tidak akan pernah berhenti menggoda diri kita”.
Innalaha khabirun bimata’malun (sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan), memberikan pengertian bahwa baik dan buruknya perbuatan kita tidak akan pernah lepas dari pengawasan Sang Khaliq (Allah), kapan pun dan di mana pun.
Secara tidak langsung, ayat ini telah mengajarkan kepada kita suatu hal yang sangat mendasardari Time Management dalam cakupan waktu yang lebih luas. Jika biasanyahanya mencakup kemarin, besok, dan sekarang, dalam ayat ini dibahas waktu didunia dan di akhirat. Karena memang, keterbatasan waktu kita di dunia harusbisa kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk mendapatkan tempat yang terbaikdi sisiNya. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang bertaqwa.
Tidak terbatas pada Time Management, tapi juga Life Management. Manajemen hidup sebagai muslim, yang berorientasikan Allah dan hari Akhir. Menjadikan perbuatan di dunia sebagai wasilah (sarana) menuju Allah. Ingat! Tujuan penciptaan kita adalahuntuk beribadah pada Allah. Meski begitu, dalam kesehariannya, kita juga tidak boleh melupakan kedudukan kita di dunia. Keduanya kita jadikan sarana untuk menambah perbendaharaan amal shalih.
II.    Surat Al-Ankabut ayat 2
1.    Tafsir Kementrian Agama RI
Pada ayat ini, Allah bertanya kepada Manusia yang telah mengaku beriman dengan mengucapkan kalimat syahadat bahwa apakah mereka akan dibiarkan begitu saja mengakui keimanan tersebut tanpa lebih dahulu di uji? Tidak, malah setiap orang beriman harus di uji terlebih dahulu, sehingga dapat diketahui sampai dimanakan mereka bersabar dan tahan menerima ujian tersebut.
Ujian yang mesti mereka tempuh itu bermacam – macam. Umpamanya perintah berhijrah (meninggalkan kampung halaman demi menyelematkan keyakinan dan iman), berjihad di jalan Allah, mengendalikan syahwat, menjalankan tugas – tugas dalam rangka taat kepada Allah, dan berbagai macam musibah seperti kehilangan anggota keluarga, dan hawa panas yang kering menyebabkan tumbuh-tumbuhan mati kekeringan.Semua cobaan itu dimaksudkan untuk menguji siapakah diantara yang sungguh-sungguh beriman dengan ikhlas dan siapa pula yang berjiwa munafik.Juga bertujuan untuk mengetahui apakah mereka termasuk orang yang kokoh pendiriannya atau orang yang masih bimbang dan ragu sehingga iman mereka rapuh.
Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap orang yang mengaku beriman tidak akan tercapai hakikat iman yang sebenarnya sebelum ia menempuh berbagai macam ujian. Ujian itu bisa berupa kewajiban dalam memanfaatkan harta benda, hijrah, jihad di jalan Allah, membayar zakat kepada fakir miskin, menolong orang yang sedang mengalami kesusahan dan kesulitan, dan bisa juga beura musibah.









2.    Tafsir al-Maragi
Apakah para sahabatmu yang selamat dari penganiayaan kaum musyrikin itu mengira Kami akan membiarkan mereka tanpa diberi ujian dan cobaan, hanya karena mereka mengatakan, “ kami telah beriman kepadamu dan membenarkan terhadap apa yang kamu bawa kepada kami sisi Allah.” Sekali-kali tidak! Sungguh kami akan menguji mereka dengan taklif-taklif yang menyusahkan, seperti melakukan hijrah, berjihad di jalan Allah, menolak berbagai syahwat, melaksanakan tugas-tugas ketaan, menanggung berbagai musibah yang berkenan dengan jiwa, harta serta buah-buahan, agar dapat dibedakan antara orang –orang yang ikhlas dengan orang-orang munafik, antara orang-orang yang teguh memegang agama dengan orang –orang yang masih goncang, dan kami akan membalasi masing-masing sessuai dengan tindakan amalnya.

3.    Tafsir jalalain
(Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan) mengenai ucapan mereka yang mengatakan, ("Kami telah beriman", sedangkan mereka tidak diuji lagi?) diuji lebih dulu dengan hal-hal yang akan menampakkan hakikat keimanan mereka. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang masuk Islam, kemudian mereka disiksa oleh orang-orang musyrik.
E.    Pendapat Penulis disesuaikan Tema dengan Ayat Lainnya, Hadist atau para Ilmuwan
Evaluasi pendidikan adalah suatu kegiatan yang berisi mengadakan pengukuran dan penilaian terhadap keberhasilan pendidikan dari berbagai aspek yang berkaitan dengannya. Dengan kata lain evaluasi pendidikan adalah mengukur dan menilai terhadap sesuatu yang terjadi dalam kegiatan pendidikan.
Sedang evaluasi dalam pendidikan Islam menurut M. Arifin adalah merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku manusia didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan spiritual-religius, karena manusia hasil pendidikan bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya.
Adapun sistem evaluasi yang diterapkan oleh Allah tidak menggunakan sistem laboratorial seperti dalam dunia ilmu pengetahuan modern sekarang. Namun prinsip-prinsipnya menunjukan bahwa sistem pengukuran terhadap prilaku manusia yang beriman dan tak beriman secara umum telah pula ditunjukan dalam Al Qur’an. Misalnya ayat-ayat yang menunjukan bahwa sifat-sifat atau watak manusia mukmin adalah bila shalat mereka khusyu’, melaksanakan perintah zakat, menjaga kemaluan terhadap wanita yang bukan istri (seperti tersebut dalam QS. Al-Mu’minun ayat 1-5). Orang beriman jika disebut nama Allah, gemetarlah hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya (seperti tersebut dalam QS. Al-Anfal ayat 2). Dan jika ditimpakan musibah mereka mengucapkan : “Inna lillaahi wa inna Ilahi raji’uun”.
Sasaran evaluasi dengan teknik testing tersebut, adalah ketahanan mental beriman dan taqwa kepada Allah. Jika mereka ternyata tahan terhadap uji coba Tuhan, mereka akan mendapatkan kegembiraan dalam segala bentuk, terutama kegembiraan yang bersifat mental rohaniah. Seperti kelapangan dada, ketegaran hati, terhindar dari putus asa, kesehatan jiwa dan kegembiraan paling tinggi nilainya adalah mendapatkan tiket masuk surga.
Sistem evaluasi untuk mengetahui apakah bersyukur ataukah kufur terhadap Tuhan, sebagaimana firman-Nya : “Seseorang yang berilmu dari Al-Kitab berkata: “aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, “ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barang siapa bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (An-Naml ayat 40)
Nabi Sulaiman pernah mengevaluasi kejujuran seekor burung hud-hud yang memberitahukan tentang adanya kerajaan yang diperintah oleh seorang wanita cantik, yang dikisahkan dalam Al Qur’an sebagai berikut : “Berkata Sulaiman : “Akan kami lihat (evaluasi) apakah kamu benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.” (An-Naml ayat 27)
Sebagai contoh ujian yang berat kepada Nabi Ibrahim, Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anaknya (Ismail) yang amat dicintai. Tujuannya untuk mengetahui kadar keimanan dan ketaqwaan serta ketaatannya kepada Allah. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya) …. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata; dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (As Shaffaat ayat 103, 106, 107)
Dengan demikian, pekerjaan evaluasi Tuhan pada hakikatnya adalah bersifat mendidik hamba-Nya agar sadar terhadap fungsinya selaku hamba-Nya, yaitu menghambakan diri hanya kepada-Nya. Sistem evaluasi Tuhan yang tersebut di dalam al-Qur’an adalah bersifat makro dan universal dengan menggunakan teknik testing mental atau psikotes.

Sebuah hadist yakni:
أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ آدَمَ عَنْ ابْنِ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِي سِنَانٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَامْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Adam dari Ibnu Fudlail dari Abu Sinan dari Muharib bin Ditsar dari ‘Abdullah bin Buraidah dari bapaknya dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku telah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang ziarahlah kubur, dan aku pernah melarang kalian memakan daging kurban lebih dari tiga hari, maka simpanlah apa yang kalian kehendaki dari daging-daging tersebut dan aku pernah melarang kalian dari nabi (minuman yang terbuat dari anggur) kecuali yang terdapat dalam tempat minum, maka minumlah yang ada dalam semua tempat minum dan janganlah kalian minum sesuatu yang memabukkan.” (HR. Muslim)

Dalam suatu pendidikan pasti dibutuhkan suatu evaluasi, karena dengan evaluasi inilah untuk meningkatkan kualitas seorang pendidik dan melihat bagaimana perkembangan pengetahuannya. Karena Nabi dalam hadist ini beliau mengevaluasi suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, dari asalnya dilarang oleh Nabi, tapi setelah itu dibolehkan karena melihat banyak manfaatnya dari pada madharatnya, dan begitu juga dari asalnya dibolehkan oleh Nabi saw, tapi setelah itu dilarang oleh Nabi saw karena melihat banyak madharatnya dari pada manfaatnya.
Berdasarkan hadist di atas dalam melaksanakan sesuatu itu kita perlu melakukan evaluasi, tidak hanya dalam hal pendidikan tetapi juga tentang perbuatan-perbuatan kita serta ibadah kita kepada Allah SWT.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
I.    Surat Al-Hasyr ayat 18
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ لْتَنْظُرْ نَفْسٌ ما قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبيرٌ بِما تَعْمَلُونَ
Artinya: Wahai orang-orang yang ber¬iman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah merenungkan se¬tiap diri, apalah yang telah diper¬buatnya untuk hari esok. Dan takwalah kepada Allah! Sesung¬guhnya Allah itu Maha Menge¬tahui apa pun yang kamu kerjakan.

Pendapat Mufassir: Disebutkan dalam Tafsir ibnu Katsir bahwa taqwa sendiri diaplikasikan dalam dua hal, menepati aturan Allah dan menjauhkan diri dari laranganNya. Jadi, tidak bisa kita mengatakan “saya telah menegakkan shalat”, setelah itu berbuat maksiat kembali. Karena makna taqwa sendiri saling bersinergi, tidak dapat dipisahkan. Bandingkan dengan penjelasan Al-Qurthubiy dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, yang menyatakan bahwa perintah taqwa (pada rangkaian ayat ini) bermakna: “Bertaqwalah pada semua perintah dan larangannya, dengan cara melaksanakan faraidh-Nya (kewajiban-kewajiban) yang dibebankan oleh Allah kepada diri kita sebagai orang yang beriman dan menjauhi ma’ashi-Nya (larangan-larangan) Allah, yang secara keseluruhan harus kita tinggalkan dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Penggalan ayat selanjutnya memunyai makna yang mendalam. Waltanzhur nafsun mâ qaddamatl ighadin. Dan hendaklah seseorang melihat apa yang telah ia perbuat (di masa lalu) untuk hari esok. Dalam Tafsir at-Thabariy dijabarkan: “Dan hendaklah seseorang melihat apa yang telah diperbuatnya untuk hari Kiamat. Apakah kebajikan yang akan menyelamatkannya, atau kejahatan yang akan menjerumuskannya?.

II.    Surat Al-Ankabut ayat 2

Artinya: Apakah manusia mengira, bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan , “kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?.

Asbab ul-nuzul: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Qatadah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Mekah yang berhijrah ke Madinah menyusul Nabi saw., tetapi dicegat dan digiring kembali oleh kaum musyrikin ke Mekah. Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d yang bersumber dari ‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Ammar bin Yasir yang disiksa (oleh kaum musyrikin) karena mengikuti agama Allah.

Pendapat Mufassir:
1.    Tafsir Kementrian Agama RI
2.    Tafsir al-Maragi
3.    Tafsir jalalain

Dengan demikian, pekerjaan evaluasi Tuhan pada hakikatnya adalah bersifat mendidik hamba-Nya agar sadar terhadap fungsinya selaku hamba-Nya, yaitu menghambakan diri hanya kepada-Nya. Sistem evaluasi Tuhan yang tersebut di dalam al-Qur’an adalah bersifat makro dan universal dengan menggunakan teknik testing mental atau psikotes.

B.    Saran-saran
Para pelaksana pendidikan haruslah mengerti teori, tetapi tidak hanya teori yang berasal dari pemikiran manusia tetapi teori yang berlandaskan agama. Jangan lupa membaca dan semoga makalah ini bisa sedikit menambah refensi bacaan.









DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Ramayus. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Sayyid, Qutbh. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. Jilid 21.
Shihab, M.Quraisy. Tafsir al-mishbah.Volume 14.






1 komentar:

  1. Casino near Bally's New Orleans Hotel & Casino
    The casino is located on 거제 출장샵 the Mississippi 포항 출장안마 River near Bally's 거제 출장샵 New Orleans Hotel & Casino. There are more than 300 김제 출장샵 slot machines, live table games, and 당진 출장샵 poker

    BalasHapus