BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
adalah hal yang urgen yang di butuhkan
semua manusia. Dalam lembaga pendidikan Islam tidak lepas dari hubungan sosial
karena mengingat kita adalah makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah untuk
hidup dalam kebersamaan. Maka lembaga pendidikan Islam perlu belajar memahami
tentang sistem sosial yang terjadi di kalayak umum, karena dalam lembaga
pendidikan Islam tidak hanya belajar tentang hablum minallah tetapi juga
mempelajari tentang hablum minannas, agar dapat berinteraksi dengan baik.
Oleh karena
itu, dalam makalah kami ini membahas tentang lembaga pendidikan Islam sebagai
sistem sosial
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian sistem sosial ?
2.
Apakah asumsi dasar tentang sistem sosial ?
3.
Sebutkan elemen-elemen sistem sosial dan organisasi sosial ?
4.
Bagaimana lingkungan lembaga pendidikan Islam ?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui pengertian sistem sosial
2.
Memahami asumsi dasar tentang sistem sosial
3.
Mengetahuo elemen-elemen sistem sosial dan organisasi sosial
4.
Memahami lingkungan lembaga pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sistem Sosial
Secara etimologi, sistem sosial berasal
dari dua kayta, yaitu sistem dan sosial. Sistem berasal dari bahasa Yunani,
yaitu systema. Yang artinya: Pertama, Keseluruhan yang tersusun dari sekian
banyak bagian dan Kedua, Hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau
komponen secara teratur. Dengan demikian, kata systema berarti himpunan bagian
atau komponen yang saling berhubungan secara teratur yang merupakan satu
keseluruhan. Pada suatu sistem terdapat beberapa sistem kecil. Beberapa para
ahli mendefinisikan sistem sebagai berikut:
1.
Menurut
Campbell, sistem adalah himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan
yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
2.
Menurut
Awad, sehingga sistem adalah himpunan komponen atau subsistem yang
terorganisasikan dan berkaitan sesuai dengan rencana untuk mencapai tujuan
tertentu.
3.
Menurut
Konontz dan O. Donnell, sistem adalah bukan wujud fisik, melainkan ilmu
pengetahuan yang terdiri atas fakta, prinsip, doktrin, dan sejenisnya.
Dengan demikian, sistem harus
memenuhi unsur-unsur yang meliputi komponen, relevansi, fakta, prinsip,
doktrin, fungsi, dan tujuan bersama. Unsur-unsur tersebut merupakan satu
kesatuan yang satu dan lainnya saling terkait atau saling mendukung daam
mencapai tujuan organisasi.
Sistem dapat pula diartikan sebagai
sesuatu yang lebih tinggi daripada hanya merupakan cara, tata, rencana, skema,
prosedur, atau metode. Sistem adalah suatu cara yang mekanismenya berpola dan
konsisten, bahkan mekanismenya sering bersifat otomatis. Berarti bahwa sistem
mencakup berbagai subsistem yang integral, yang saling terkait dan tidak dapat
dipisahkan. Setiap subsistem memegang peran, tugas, dan kedudukannya
masing-masing, tetapi keterkaitan tugas dan kedudukan antarsistem menentukan
tercapainya tujuan.[1]
Dalam
sistem terdapat hubungan antar subsistem, yaitu:
1.
Hubungan
fungsional, yaitu hubungan yang berkaitan dengan gerak fungsi aktivitas
kependidikan.
2.
Hubungan
timbal balik, yaitu hubungan saling menguatkan dan memberi masukan untuk
pemenuhan kepentingan kependidikan.
3.
Hubungan
sinergitas, yaitu hubungan kerja sama antarbagian tertentu meskipun tugas dan
kewajiban yang berbeda.
4.
Hubungan
umpan balik, yaitu hubungan yang berkaitan dengan saling melengkapi dan
menyempurnakan kinerja kependidikan.
5.
Hubungan
sebab akibat, yaitu adanya keterkaitan antara aktivitas kegiatan pendidikan dan
hasil yang dicapai serta dengan dampak yang diterima oleh para pendidik dan
peserta didik.
6.
Hubungan
normatif, yaitu hubungan yang berkaitan dengan peraturan yang berlaku dan harus
dipatuhi oleh semua civitas akademik.
Adapun kata sosial berasal dari
kata society yang berarti masyarakat. Sosial artinya hidup bersama sebagai
lawan dari kata individual yang berarti hidup sendiri. Sistem sosial artinya
himpunan dari berbagai subsistem yang terdapat dalam kehidupan masyarakat yang
saling berinteraksi dan membentuk kehidupan bersama untuk mencapai tujuan
tertentu.[2]
Beni Ahmad Saebani menjelaskan
bahwa sistem sosial selalu mempersoalkan konsep institusi dan internalisasi
yang terjadi dalam masyarakat. Di dalamnya terdapat proses identifikasi
berbagai persyaratan fungsional dalam norma yang berlaku tradisional, khususnya
masyarakat, karena sistem sosial terbentuk dari individu-individu, sebagai
suatu persyaratan umum yang menjamin kebutuhan dasar suatu sistem sosial.
Perhatian terhadap cara kebutuhan individu itu dipenuhi dalam konteks sistem
sosial dan tekanan pada persyaratan fungsional yang digambarkan oleh struktur
hubungan sosial yang bersifat umum yang memberikan jawaban atas segala kebutuhan
sosial yang telah terbentuk.
Dalam sistem sosial, berbagai aksi
yang ada diorganisasikan menjadi peran-peran, dan peran-peran itu menjadi
satuan-satuan yang lebih besar, yaitu institusi. Institusi disebut suatu
komplek keutuhan peran yang melembaga dan secara struktur penting dalam sistem
sosial yang ada. Institusi yang dimaksudkan adalah pelembagaan peran dan fungsi
dari tindakan yang menyatu dalam satuan sistem sosial.[3]
Peran dan fungsi peran yang
dimanifestasikan dalam pola interaksi kolektif, mulai pada tingkat individu,
budaya, dan struktur sosial, adalah bagian dari konsep-konsep penting
terwujudnya perilaku normatif. Dalam perilaku ini terdapat individu dengan individu
lainnya, peran, status perannya, kewajiban dan hak, terdapat struktur, dan
interaksi kolektif, yang dari semua unsur tersebut, sistem normatif sosial
cenderung terbentuk.
Integrasi semua tindakan yang
ditujukan ke arah yang sama secara serempak lebih cepat membentuk perilaku
kolektif, dan integritas pada setiap pelaku tindakan lebih sempurna. Dalam hal
ini harapan akan peran pasangan dalam suatu hubungan interaksi, serta komitmen
nilai umum yang dianut bersama oleh individu dan pasangan interaksinya akan
memudahkan perilaku terintegrasikan. Kesempurnaan integrasi perilaku akan
ditentukan pula tingkat kesesuaian antarperilaku dan orientasinya.
Selain kebutuhan terhadap
kesesuaian antara sistem kepribadian dengan sistem sosial dan sistem budaya,
ada persyaratan fungsional tambahan yang dapat ditunjuk dalam sistem-sistem
yang berbeda, yaitu kebutuhan individu yang secara situasi dan kondisi berbeda-beda.
Dalam hal ini kebutuhan individu yang disesuaikan pada sistem sosial dan sistem
budaya adalah pengorbanan sistem kepribadian sebelumnya yang ada. Keseimbangan
antara pengorbanan kebutuhan individu tersebut akan terpenuhi dengan sendirinya
jika sistem personalitas telah berwujud menjadi perilaku kolektif dan
terinternalisasi dalam wujud akhir sebuah institusi dari perilaku. Dalam kata
lain, individu bisa saja tidak mengorbankan kepentingan dan orientasinya,
tetapi menukarnya dengan orientasi yang lebih baik menurut pandangan
kompleksitasnya. Terdapat harapan yang lebih terbuka daripada harus
mempertahankan kebutuhannya yang bertolak belakang dengan harapan sistem nilai,
sistem budaya, dan sistem sosial yang ada.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa sistem sosial adalah himpunan subsistem yang terdapat dalam masyarakat
yang menguatkan terbentuknya kehidupan bersama dan saling menguatkan, saling
membutuhkan, dan saling mendukung ketercapaian tujuan bersama.
B.
Asumsi Dasar Tentang Sistem Sosial
Asumsi dasar sekolah adalah sebagai berikut :
1.
Orientasi individu dengan berbagai dimensinya, yaitu :
a.
Orientasi motivasional yang berdimensi kognitif, katektik dan
evaluatif.
Dimensi kognitif dalam orientasi motivasional pada dasarnya
menunjuk pada pengetahuan orang yang bertindak mengenai situasinya, khususnya
jika dihubungkan denngna kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini
mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antarrangsangan yang
berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan dengna rangsangan
lainnya,
Dimensi katektik dalam orientasi motivasional menunjuk pada reaksi
apresiatif atau emosional dari orang yang bertindak terhadap situasi atau
berbagai aspek di dalamnya. Ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu.
Umunya,
orang memliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam
lingungan itu yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat dalam
mencapai tujuan, dan reaksi yang negatif terhadap aspek-aspek dalam lingkungan itu yang mengecewakan.
Dimensi evaluatif menunjuk pada dasar pilihan
seseorang antara orientasi kognitif atau katektik secara alternatif. Orang
selaian memliki banyak kebutuhan dan tujuan, dan untuk kenyakan atau kalau
bukan semua situasi, ada kemungkinan banyak interpretasi kognitif dan reaksi
katektik. Kriteria yang digunakan individu untuk memlikih dari
alternatif-alternatif ini merupakan dimensi evaluatif.[4]
b. Orientasi nilai dengan dimensi
kognitif, apresiatif dan dimensi modal.
Orientasi nilai tampaknya sama dengna ketiga
dimensi dalam orientasi motivasional. Perbedaan prinsip dalam orientasi nilai
adalah komponen-komponen dalam orientasi nilai menunjuk pada standar noematif
umum, bukan pada keputusan-keputusan dengan orientasi tertentu. Dengna
demikian, dimensi kognitif dalam orientasi nilai menunjuk pada standar yang
digunakan dalam menerima atau menolak berbagai interpretasi kognitif mengenai
situasi. Dimensi moral dalam orientasi niai menunjuk pada standar-standar
abstrak yang digunakan untuk menilai tipe-tipe tindakan alternalif menurut
implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan, baiak individu maupun
sosial pada akar tindakan bersangkutan. Orientasi nilai keseluruhan
mempengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional.
2. Orientasi motivasional dalam konteks dimensi
kognitif diprioritaskan pada tipe tindakan yang merupakan menifestasi
intelektual. Kegiatan ekspresif akan muncul kalau hasil dimensi katektik yang
diprioritaskan berupa tindangan moral.
3. Interaksi sosial adalah wujud kolektivitas
dari interaksi individual yang diwarnai oleh orientasi motivasional dan
orientasi nilai dengan segala dimensinta. Aksi sosial adalah perilaku
yang saling berinteraksi sehingga interaksi menjadi sangat peting dalam membentuk
kebudayaan kolektif. Aap tindakan yang diwujudkan individu, bagaimana
berintegrasi dengna tindakan individulain, mengapa dapat berinteraksi dan
interelasi, dan apa hasil dari interaksi tersebut ? hasil interaksi dapat
berbuah kebudayaan yang di dalamnya terdapat norma-norma sosial yang baru.
Sementara pada sisi lain, norma yang ada dapat membentuk perilaku sosial yang
diakuiu dan diyakinisesuai dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan
yang dimaksud adalah perpaduan antara orientasi motivasional dan orientasi
nilai.
4. Pola interaksi berpangkal pada motivasi
individu masing-masing. Oleh karena itu, tindakan individu yang berhuhungan
dengan individu lainnya pada asalnya disebabkan adanya kepentingan yang berbeda
antar setiap individu. Karena adanya perbedaan orientasi tersebut, hubungan
sosial itu menjadi dimanis dan saling berkolaborasi secara aktif. Akan tetapi
ujung dari interaksi dengan menekankan pada tujuan kolektif dinamikanya semakin
berkurang, bahkan bisa hilang karena semua pihak yang terlibat dalam interaksi
saling mnyesuaikan ciri dan menyeimbangkan kepuasan masing-masing.
Kepuasan ini disebabkan adanya interaksi timbal balik dan
fungsional yang berlangsung lama. Interaksi yang berjalan lama aan menguatkan
pertahanan budaya kolektifnya sehingga kemungkinan besar menjelma menjadi
kultur khas, masysrakat khas, perilaku khas dan terinstitusikan jika perilaku
yang bersangkutan telah mendarah daging (internalistik).
Sistem sosial
tersebut terbentuk dari individu-individu yang dalam interaksinya menjalin
kebutuhan dasar yang seimbang. Setiap tindakan sosial adalah tindakan kumpulan
individu yang disebut dengan tindakan kolektif.
Sistem sosial
mencakup bebrapa aspek atau unsur-unsur penting, berikut :
1. Individu-individu yang hidup bersama
2. Tugas dan fungsi yang berlainan
3. Tujuan bersama
4. Nilai yang dianut bersama
5. Pencapaian kinerja yang intrgral
6. Saling bertanggung jawab terhadap hak dan
kewajiban masing-masing
Pada lembaga pendidikan, sistem sosial terdiri atas hal-hal sebagai
berikut:
1. Kumpulan individu dalam organisasi pendidikan
2. Lingkungan pendidikan
3. Siswa
4. Para pendidik
5. Alat-alat pendidikan
6. Tujuan pendidikan
7. Media pendidikan
8. Lingkungan masyarakat
9. Proses pembelajaran di dalam dan di luar kelas
10. Strategi pembelajaran
11. Biaya pendidikan
12. Orang tua siswa
13. Para donatr lembaga pendidikan
14. Dewan sekolah
15. Manfaat alumni bagi masyarakat
16. Kurikulum
17. Pemerintah
18. Berbagai organisasi masyarakat ataupun
organisasi politik yang mendukung pengembangan lembaga pendidikan.
C. Elemen-Elemen
Sistem Sosial dan Organisasi Sosial
Elemen sistem organisasi sosial
berkaitan dengan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan yang pertama adalah
keluarga. Dalam keluarga, orangtua menentukan pola pembinaan pertama bagi anak.
Ajaran islam menekankan agar setiap manusia dapat memelihara keluarganya. Dari
siksa api neraka, juga termasuk menjaga anak dan harta agar tidak menjadi
fitnah, yaitu dengan mendidik anak sebaik-baiknya.
Dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 6
disebutkan:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr&
tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
Artinya:
“wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak durhaka kepada Allah terhadap
apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”
Hubungan orientasional antara perintah
mendidik bagi orangtua terhadap anaknya dengan pendidikan islam, terlihat dalam
implikasi dari tujuan pendidikan islam, yaitu membentuk pengetahuan (kognisi),
sikap (afeksi), dan perilaku (motorik) manusia yang sesuai paradigma pendidikan
islam. Upaya yang dilakukan oleh pendidikan sebagai tanggung jawab dalam
pendidikan islam adalah sebagai berikut:
a.
Pendidikan anak
dalam bertauhid atau menumbuhkan keyakinan teologis yang murni;
b.
Menumbuhkan sikap
dan jiwa anak yang selalu beribadah kepada Allah;
c.
Memupuk akhlakul
karimah anak di dalam pergaulan hidupnya;
d.
Menciptakan pemimpin
yang senantiasa amar ma’ruf nahi munkar
e.
Pendidikan anak
dalam bertauhid atau menumbuhkan keyakinan teologis yang murni;
f.
Menumbuhkan sikap
dan jiwa anak yang selalu beribadah kepada Allah;
g.
Memupuk akhlakul
karimah anak di dalam pergaulan hidupnya;
h.
Menciptakan pemimpin
yang senantiasa amar ma’ruf nahi munkar.
i.
Menumbuhkan
kesadaran ilmiah melalui kegiatan penelitian tadabur dan tafakur,
baik terhadap kehidupan manusia maupun terhadap alam semesta sebagai makhluk
Allah.
Dalam interaksi
edukatif antara orangtua dan anak dalam kapasitasnya sebagai peserta didik,
orangtua sebagai pendidik harus sedapat mungkin memahami anaknya sebagai objek
pendidikan.
Beberapa hal
yang peru dipahami tersebut adalah:
a.
Anak sebagai peserta
didik bukanlah miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga cara
berinteraksinya pun tidk boleh disamakan dengan orang dewasa.
b.
Anak mempunyai
periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta
tempo dari iramanya. Impliasi dalam pendidikan adalah cara proses pendidikan
itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo serta irama perkembangan anak;
c.
Anak memiliki kebutuhan
dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin;
d.
Anak sebaga peserta
didik memiliki perbedaan anatara individu dan individu yang lain, baik
perbedaan oleh faktor endogen maupun eksogen yang meliputi segi jasmani,
inteligensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya.
e.
Anak dipandang
sebagai sistem kesatuan manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, anak sebagai
makhluk monopluralis, pribadi anak didik, walaupun terdiri dari banyak segi,
merupakan satu kesatuan jiwa raga.
f.
Anak merupakan objek
pendidikan yang aktif dan kreatif serta produktif.
Pendidikan
islam yang diselenggarakan dalam lingkungan keluarga merupakan bimbingan dan
pertolongan orangtua kepada anaknya yang diberikan secara sadar sesuai dengan
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan yang sempurna. Dengan
demikian pendidikan akhlak perlu dilakukan dengan cara:
a.
Menumbuhkembangkan
dorongan dari dalam diri anak yng bersumber dari iman dan takwa. Untuk ini
perlu pendidikan agama;
b.
Meningkatkan
pengetahuan anak tentang akhlak Al-Qur’an lewat ilmu pengetahuan, pengalaman,
dan latihan untuk membedakanmana yang bak dan mana yang buruk;
c.
Orangtua hendaknya
melakukan pembiasaan yang baik, sehingga perbuatan baik itu menjadi keharusan
moral dan perbuatan akhlak terpuji yang tumbuh dan berkembang secara wajar
dalam diri ana.
Lingkungan
sekolah adalah lingkungan kedua yang terdiri atas tempat belajar dan mengajar,
yang di dalamnya terdapat para pendidik dan anak didik, para karyawan sekolah,
alat-alat dan fasilitas sekolah, perpustakaan, dan aktivitas lainnya yang
melibatkan lembaga pendidikan.
Menurut
Syaiful Bahri Djamarah (2004: 55-61), dalam lingkungan sekolah perbedaan
individual anak didik perlu mendapat perhatian dari guru sehingga pengelolaan
pengajaran berjalan secara kondusif. Perbedaan individual anak didik berkaitan dengan:
a.
Perbedaan biologis
Perbedaan biologis anak didik berhubungan dengan fisik, kesehatan anak
didik, dan mentalitasnya. Tidak hanya mental anak didik yang harus
diperhatikan, tetapi para pendidik harus memperhitungkan suasana kelas dan
keadaan fisik, kesehatan anak didik.
b.
Perbedaan
intelektual
Intelegensi merupakan salah satu aspek yang selalu aktual untuk dibicarakan
dalam dunia pendidikan. Keaktualan itu dikarenakan intelegensi ikut memengaruhi
keberhasilan belajar anak didik. Intelegensi adalah kemampuan untuk memahami
dan beradabtasi dengan lingkungan yang baru dengan cepat dan efektif, kemampuan
menggunakan konsep yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk memahami
hubungan dan mempelajarinya dengan cepat.
c.
Perbedaan psikologis
Perbedaan aspek psikologis tak dapat dihindari disebabkan pembawaan dan
lingkungan anak didik yang belainan antara satu dengan lainnya. Dalam
pengelolaan pengajaran, aspek psikologis sering menjadi ajang persoalan,
terutama menyangkut masalah minat dan perhatian anak didik terhadap pelajaran
yang diberikan. Untuk memahami jiwa anak didik guru dapat melakukan pendekatan
secara individual. Dengan cara ini, hubungan guru dengan anakdidik menjadi
akrab. Anak didik merasa diperhatikan dan dilayani kebutuhannya dan guru dapat
mengenal anak didiknya sebagai individu. Guru juga harus dapat menempatkan diri
sebagai orangtua kedua, dengan mengemban tugas yang dipercayakan orangtua
kandung/wali anak didik dalam jangka waktu tertentu. Syaiful Bahri Djamarah
mengatakan bahwa sebagai teladan, guru harus memiliki kepribadian yang dapat
dijadikan profil dan idola, seluruh kehidupannya adalah figur yang paripurna.
Berikut adlah peranan seorang guru:
1)
Korektor bagi
perbuatan yang baik dan yang buruk, agar anak didik memiliki kemampuan memilih
yang terbaik bagi kehidupannya;
2)
Inspirator, yaitu
memberikan ide-ide positif bagi pengembangan kreatifitas anak didiknya;
3)
Informator, yaitu
memberikan ragam informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya
agar ilmu pengetahuan anak didik lebh luas dan mendalam;
4)
Organisator, yaitu
memiliki kemampuan mngelola kegiatan pembelajaran dengan baik dan benar;
5)
Motivator, yaitu
mendorong anak didiknya semakin aktif dan kreatif dalam belajar;
6)
Inisiator, yaitu
memiliki pencetus agasan bagi pengembangan dan kemajuan pendidikan;
7)
Fasilitator, yaitu yang
menyediakan fasilitas pendidikan dan pembelajaran bagi kegiatan belajar anak
didiknya;
8)
Pembimbing, yaitu
membimbing dan membina anak didiknya ke arah keidupan yang bermoral, rasional,
dan berkepribadian luhur sesuai ajaran-ajaran agama islam dan semua norma yang
berlaku di masyarakat.
Sarana
yang dimaksudkan adalah alat-alat pendidikan dan media pembelajaran yang secara
langsung menciptakan lingkungan sekolah yang memadai bagi keberhasilan
pengembangan pedidikan islam. Lingkungan sekolah juga harus menjamin komunikasi
anak didik dan semua pihak sekolah berjalan lancar agar mempermudah hubungan
interaksional anak didik dengan semua pihak sekolah yang berkaitan dengan
kepentingan pembelajarannya. Pengembangan pendidikan islam dalam lingkungan
sekolah yang asri akan lebih inspiratif dan artistik, yang mendorong anak didik
bersemangat dalam mengikuti pelajaran.
Setelah
lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah, yang ketiga adalah lingkungan yang
lebih luas yaitu lingkungan masyarakat. Di lingkungan inilah ilmu pengetahuan
anak diamalkan. Pengembangan ilmu pendidikan islam yang berkaitan dengan
lingkungan masyarakat adalah sebagai berikut:
a.
Pendidikan tentang
lingkungan yang bersih, yaitu yang bersih dari kemaksiatan;
b.
Pendidikan tentang amar
ma’ruf nahi munkar, yaitu pendidikan dakwah yang menyemarakan lingkungan
masyarakat dengan berbagai kegiatan positif dan dijunjung tinggi oleh
nilai-nilai keislaman;
c.
Pendidikan tentang
sanksi sosial bagi anggota masyarakat yang merusak nama baik lingkungan sosial-religiusnya.
Manusia
sebagai makhluk sosial yang selalu mencoba berinteraksi, akan selalu menemukan
masalah-masalah. Akan tetapi berbagai masalah dalam berinteraksi, baik antar
individu, antar kelompok, maupun interaksi antar kelompok dengan kelompok lain
dapat diminimalisasi dengan mengetahui perilaku individu dan kelompok yang
menjadi lawan interaksinya. Dalam satu konsep keilmuan human behavior, semua
perilaku manusia mempunyai bentuk sistematis yang dapat dipelajari dalam sistem
keilmuwan. Adapun organisasi sebagai kelompok yang mempunyai tujuan tertentu,
secara mutlak akan dipengaruhi ole perilaku internal dan eksternal. Jika
perilaku tersebut diakumulasikan akan terbentuk perilaku organisasi atau organization
behavior.Dalam lembaga pendidikan, sistem sosial dan organisasi sosial
meliputi perilaku organisasi, budaya organisasi, etika organisasi, dan hubungan
fungsional anggota organisasi. Kinerja organisasi berhubungan dengan visi dan
misi organisasi. Oleh karena itu, sebagai sistem organisasi sosial, lembaga
pendidikan tidak berdiri sendiri. Hal itu berkaitan dengan seluruh civitas
akademika yang terdapat dalam lembaga pendidikan.
D.
Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam
Pendidikan
islam merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional. Karena itu sebagian
subsistem, maka masing-masing lembaga pendidikan islam yang ada berfungsi untuk
mencapai tujuan lembaga yang ditetapkan. Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan
islam baik pesantren, madrasah atau sekolah-sekolah agama dan perguruan tinggi
agama islam memiliki peranan yang besar bagi pencapaian tujuan pendidikan
nasional.
Peran
yang dijalankan dalam rangka mencapai fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Sebagaimana dinyatakan bahwa : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
1.
Sekolah,
merupakan salah satu lembaga penyelenggara pendidikan secara formal di
Indonesia. Di dalamnya berlangsung proses pendidikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2.
Madrasah,
keberadaan madrasah sudah ada sejak agama islam berkembang di Indonesia.
Madrasah tumbuh dan berkembang dari bawah dalam arti (umat islam) sendiri yang
didorong oleh rasa tanggung jawab untuk mengamalkan ajaran agama islam kepada
generasi muda. Oleh sebab itu, madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada
pendalaman ilmu-ilmu islam. Pada saat ini kebijakan baru pemerintah menetapkan
keberadaan madrasah telah dipandang sebagai sekolah umum yang bercirikan agama
islam dengan tanggung jawabnya mencakup:
a.
sebagai
lembaga pencerdasan kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat
muslim,
b.
Sebagai
lembaga pelestarian budaya keislaman,
c.
Sebagai
lembaga pelopor bagi peningkatan kualitas masyarakat Indonesia.
3.
Pesantren,
merupakan lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia. Pesantren difungsikan
sebagai suatu lembaga yang dipergunakan untuk penyebaran agama, tempat
mempelajari agama islam, mengusahakan pembinaan tenaga-tenaga bagi pengembangan
agama. Kemampuan pondok pesantren bukan hanya dalam pembinaan pribadi muslim,
melainkan dalam usaha mengadakan perubahan sosial dan kemasyarakatan. Sebagai
lembaga sosial pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat
muslim, tanpa membeda-bedakan tingkat sosial ekonomi orang tuanya.[5]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
A.
Pengertian Sistem Sosial
Secara etimologi, sistem sosial berasal
dari dua kayta, yaitu sistem dan sosial. Sistem berasal dari bahasa Yunani,
yaitu systema. Yang artinya: Pertama, Keseluruhan yang tersusun dari sekian
banyak bagian dan Kedua, Hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau
komponen secara teratur. Dengan demikian, kata systema berarti himpunan bagian
atau komponen yang saling berhubungan secara teratur yang merupakan satu
keseluruhan. Pada suatu sistem terdapat beberapa sistem kecil.
B.
Asumsi Dasar Tentang Sistem Sosial
1.
Orientasi individu dengan berbagai dimensinya, yaitu :
a.
Orientasi motivasional yang berdimensi kognitif, katektik dan
evaluative
b.
Orientasi nilai dengan dimensi
kognitif, apresiatif dan dimensi modal.
2.
Orientasi motivasional dalam konteks dimensi kognitif
diprioritaskan pada tipe tindakan yang merupakan menifestasi intelektual.
3.
Interaksi sosial.
C.
Elemen-Elemen Sistem Sosial dan Organisasi
Sosial
Elemen dalam lembaga pendidikan terdapat tiga hal, yaitu :
a.
Lingkungan Keluarga
b.
Lingkungan Sekolah
c.
Lingkungan Masyarakat
D.
Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam
Dalam lembaga pendidikan Islam terdapat lingkungan yang ternaungi
di dalamnya, yaitu:
a.
Sekolah
b.
Madrasah
c.
Pesantren
DAFTAR
PUSTAKA
Maarif, Syamsul, dkk. 2013. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam.
Surabaya. IAIN Sunan Ampel Press
Saefullah. 2012. Manajemen Pendidikan Islam. Bandung: CV
Pustaka Setia
[1] Saefullah, Manajemen Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2012), hal. 69
[2]
Saefullah, Manajemen Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hal.
70
[3]
Saefullah, Manajemen Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hal.
71
[5] http://farid45.wordpress.com/2012/06/03/manajemen-lembaga-pendidikan-islam-lembaga-pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar