Kamis, 02 Oktober 2014
RUANG LINGKUP ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
Sebelum lahir istilah kebijakan pendidikan, terlebih dahulu dikenal kebijakan public dan kebijakan sosial. Kebijakan, sinonim artinya dengan posisi atau pendirian; atau bagian dari kegiatan tertentu; atau teguh terhadap suatu aturan. Namun arti kebijakan bila digabungkan akan berarti panduan baik bagi mereka yang akan melaksanakannya dan mereka yang mengamatinya.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjadi acuan untuk membuat kebijakan dan manajemen Pendidikan baik pada tingkatan nasional, regional, maupun di tingkat sekolah. Dalam makalah ini kami (penulis) akan membahas pengertian analisis kebijakan, pendekatan-pendekatan dalam analisis kebijakan, metodologi dalam konteks analisis kebijakan dan model-model dalam analisis kebijakan pendidikan. Setelah kita membahas materi-materi tersebut diharapkan kita semua akan mengerti dan memahami konsep dasar analisis kebijakan, mengetahui pendekatan-pendekatan dalam analisis kebijakan, dapat menganalisis masalah public melalui tahapan analisis kebijakan, mengetahui ilmu-ilmu yang bisa dijadikan rujukan dalam membuat kebijakan atas masalah public, dan dapat memilih model apa yang akan para analis ambil dalam menganalisis kebijakan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan merupakan suatu prosedur berfikir yang sudah lama dikenal dan dilakukan dalam sejarah manusia. Menurut Duncan MacRae (1976) analisis kebijakan adalah sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk menjelaskan, menilai, dan membuahkan pemikiran dalam rangka upaya memecahkan masalah publik. Lebih lanjut, Suryadi dan Tilaar menegaskan bahwa analisis kebijakan adalah sebagai suatu cara atau prosedur dalam menggunakan pemahaman manusia terhadap dan untuk pemecahan masalah kebijakan.
Definisi kerja analisis kebijakan menurut Dunn ialah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan metode inquiri dan argumentasi berganda untuk menghasilkan dan mendayagunakan informasi kebijakan yang sesuai dalam suatu proses pengambilan keputusan yang bersifat politis dalam rangka memecahkan masalah kebijakan. Berdasakan definisi di atas ada empat hal yang terkandung dalam definisi tersebut:
1. Sebagai ilmu sosial terapan, artinya suatu hasil nyata dari suatu misi ilmu pengetahuan yang terlahir dari gerakan profesionalisme ilmu-ilmu sosial.
2. Menghasilkan dan mendayagunakan informasi, ialah suatu bagian dari kegiatan analisis kebijakan yaitu pengumpulan, pengolahan, dan pendayagunaan data agar menjadi masukan yang berguna bagi para pembuat keputusan.
3. Menggunakan “metode inquiri” dan argumentasi berganda, ialah penggunaan jenis-jenis metode dan teknik dalam analisis kebijakan seperti metode yang sifatnya deskriftif, metode yang sifatnya preskriftif, metode yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat kualitatif. Penggunaan metode tersebut sangat tergantung pada sifat isu kebijakan yang sedang disoroti.
4. Pengambilan keputusan yang bersifat politis, ialah suatu proses pendayagunaan informasi didalam proses pembuatan kebijakan publik.
Sementara itu menurut Penelaahan Sektor Pendidikan analisis kebijakan adalah suatu proses yang dapat menghasilkan informasi teknis sebagai salah satu masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan yang didukung oleh informasi teknis. Informasi teknis itu merupakan suatu satuan pernyataan kebenaran induktif yang didukung oleh kebenaran secara empiris sebagai hasil dari rangkaian analisis data.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa analisis kebijakan pendidikan adalah prosedur untuk menghasilkan informasi kependidikan, dengan menggunakan data sebagai salah satu masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan dalam pengambilan keputusan yang bersifat politis dalam rangka memecahkan masalah kependidikan.
Analisis kebijakan tidak semata-mata melakukan analisis terhadap data dan informasi, akan tetapi memperhatikan seluruh aspek yang menyangkut proses pembuatan suatu kebijakan, mulai dari analisis terhadap masalahanya, pengumpulan informasi, penentuan alternatif kebijakan, sampai kepada penyampaian alternatif tersebut terhadap para pembuat keputusan. Rumusan alternatif kebijakan yang dihasilkan dari suatu proses analisis kebijakan ini tidak dengan sendirinya atau secara langsung dapat dijadikan suatu kebijakan. Jika rumusan kebijakan ini sudah didukung oleh suatu kekuatan otoritas, alternatif, maka alternatif kebijakan itu sendiri akan berubah menjadi suatu kebijakan. Jadi prosedur yang dapat menghasilkan alternatif kebijakan merupakan proses rasional. Sedangkan terjadinya kebijakan itu sendiri merupakan proses politik.
Pemisahan proses yang rasional dengan proses politik dalam pengambilan kebijakan kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dalam kenyataan, banyak dijumpai bahwa proses yang rasional dalam analisis kebijakan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses politik itu sendiri. Proses yang rasional empiris dalam analisis kebijakan tersebut sering digunakan sebagai alasan dasar dalam suatu perjuangan politik dari salah satu kepentingan. Mungkin juga sebaliknya, proses politik merupakan salah satu bentuk proses rasional karena politik berbicara mengenai kepentingan masyarakat banyak.
B. Pendekatan dalam Analisis Kebijakan
Dalam literatur analisis kebijakan, pendekatan dalam analisis kebijakan pada dasarnya meliputi dua b agian besar, yaitu pedekatan deskriptif dan pendekatan normatif.
Pendekatan deskriptif adalah suatu prosedur atau cara yang digunakan oleh penelitian dalam ilmu pengetahuan (baik ilmu pengetahuan murni maupun terapan). Selanjutnya Suryadi dan Tilaar, mengutip pendapat Cohn bahwa pendekatan deskriptif ialah pendekatan positif yang diwujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan yang menyajikan suatu State of the Art atau keadaan apa adanya yang sedang diteliti dan perlu diketahui oleh pemakai. Tujuan pendekatan deskriptif ialah mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah mengenai gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum mengenai suatu permasalahan yang sedang disoroti. Dunn menambahkan satu pendekatan lagi sejalan dengan pendekatan deskriptif yaitu pendekatan evaluatif, yaitu menerangkan apa adanya tentang hasil dari suatu upaya yang dilakukan oleh suatu kegiatan atau program.
Perbedaan kedua pendekatan tersebut, adalah terletak pada penggunaan kriteria. Pendekatan deskriptif atau pendekatan positif dimaksudkan untuk menerangkan suatu gejala dalam keadaan tiada kriterianya, sebaliknya pendekatan valuatif dimaksudkan untuk menerapkan kriteria atas terjadinya gejala tesebut. Contoh, meningkatnya mutu pendidikan ialah suatu gejala yang dipersepsikan setelah diadakan pengukuran, dalam kaitannya dengan kriteria mutu pendidikan yang ditentukan sebelumnya. Dengan demikian pendekatan evaluatif menekankan pada pengukuran sedangkan pendekatan deskriptif lebih menekankan pada penafisiran terjadinya gejala bersangkutan.
Pendekatan normatif yang sering juga disebut pendekatan prespektif merupakan upaya dalam ilmu pemgetahuan untuk menawarkan suatu norma, kaidah, atau resep yang dapat digunakan oleh pemakai dalam rangkah memecakan masalah. Tujuan pendekatan ini ialah membantu mempermudah para pemakai hasil penelitian dalam menentukan atau memilih salah satu dari beberapa pilihan cara atau prosedur yang paling efisien dalam menangani atau memecahkan masalah.
Analisis kebijakan pendidikan sebagai salah satu cabang ilmu sosial terapan juga menggunakan pendekatan deskriptif dan pendekatan normatif. Pendekatan deskriptif dimaksudkan untuk menyajikan informasi apa adanya kepada pengambil keputusan. Tujuan dari pendekatan deskriptif dalam analisis kebijakan pendidikan agar para pengambil keputusan memahami permasalahan yang sedang disoroti dari suatu isu kebijakan. Pendekatan normatif dimaksudkan untuk mebantu para pemgambil keputusan dalam bentuk pemikiran-pemikiran mengenai cara atau prosedur yang paling efisien dalam memecahkan suatu masalah kebijakan publik.
Dalam analisis kebijakan, pendekatan deskriptif juga digunakan untuk meyajikan informasi yang diperlukan oleh para pemakai informasi, khususnya para pengambil keputusan, sebagai bahan masukan bagi proses pengambilan keputusan, baik berbentuk indikator kualitatif atau indikator kualitatif agar para pengambil keputusan dapat membuat kesimpulan sendiri tampa bantuan dari analisis kebijakan. Dari pemahaman itu diharapkan para pengambil keputusan dapat melahirkan keputusan yang sesuai dengan keadaan dan masalahnya itu sendiri. Bahkan dalam keadaan mendesak, biasanya para pemgambil keputusan lebih tertarik dengan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari satuan-satuan informasi daripada satuan informasinya itu sendiri.namun para analis kebijakan menyediakan kedua-duanya, baik dalam bentuk sajian satuan-satuan informasi maupun kesimpulannya.
Pendekatan normatif dalam analisis kebijakan dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan dalam meberikan gagasan hasil pemikirang agar para pengambil keputusan tersebut dapat memecahkan suatu kebijakan. Informasi yang normatif atau preskritif ini biasanya berbentuk alternatif kebijakan sebagai hasil dari analisis data. Informasi jenis ini dihasilkan dari metodologi yang sepenuhnya bersifat rasional yang sesua, baik dengan argumentasi teoritis maupun data dan informasi. Informasi yang bersifat normati ini oleh Penelah Sektor Pedidikan dapat diperoleh dari Balitbang diknas, yang disebut “informasi teknis” karena analisis data berdasarkan informasi yang berkaitan derngfan suatu isu kebiajakan yang sedang atau sedang disoroti.
Pendekatan deskriptif dan normatif ini hanyalah merupakan sebagian dari proses analisis kebijakan dalam dimensi rasional. Para ahli seperti Patton, dan Sawacki, 1986; Stokey dan Zekhouser, 1985 menyatakan bahwa bahwa analisis kebijakan hanya meliputi dimensi rasional. Dunn (1981) berpendapat bahwa analisis kebijakan meliputi seluruh dimensi rasional maupun politik. Namun, sepanjang analisis kebijakan juga menggunakan pendekatan normatif maka keseluruhan aspek yang berkaitan dengan pengambilan keputusan merupakan subyek yang perlu dipelajari dalam analisis kebijakan. Sesuatu masalah kebijakan publik, seperti pendidikan dapat dipandang secara multi disipliner, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Oleh karena itu, proses politik dari analisis kebijakan merupakan proses yang diteliti di dalam analisis kebijakan pendidikan.
C. Metodologi Analisis Kebijakan
Metodologi analisis kebijakan diambil dari dan memadukan elemen-elemen dari sifat berbagai disiplin: ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi dan filsafat. Analisis kebijakan sebagian bersifat deskriptif diambil dari disiplin-disiplin tradisional (misalnya ilmu politik) yang mencari pengetahuan tentang sebab dan akibat dari kebijakan-kebijakan publik. Namun, analisis kebijakan juga bersifat normatif; tujuannya adalah menciptakan dan melakukan kritik terhadap klain pengetahuan tentang nilai kebijakan public untuk generasi masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Aspek normatif dari analisis kebijakan ini terlihat ketika kita menyadari bahwa pengetahuan yang relevan dengan kebijakan mencakup dinamika antara variabel tergantung (tujuan) dan variabel bebas (cara) yang sifatnya faluatif. Oleh karena itu, pilihan tentang variabel sering kali merupakan pemilihan terhadap nilai-nilai yang saling bersaing, seperti kesehatan, kemakmuran, keamanan, kedamaian, keadilan, pemerataan, kebebasan. Memilih dan menentukan prioritas satu nilai di atas nilai-nilai lainnya bukanlah penentuan yang bersifat teknis semata, tetapi juga keputusan memerlukan penalaran yang bersifat moral, dank arena itu analisis kebijakan merupakan bentuk-bentuk etika terapan.
Akhirnya, analisis kebijakan berupaya menciptakan pengetahuan yang dapat meningkatkan efisiensi pilihan atas berbagai alternatif kebijakan, misalnya alternative kebijakan dalam penyediaan layanan kesehatan yang terjangkau, pendidikan yang murah, redistribusi pendapatan kepada kelompok miskin, mengurangi diskriminasi rasial dan gender dalam kesempatan kerja, persaingan ekonomi intermasional dan pencapaian keamanan militer.
Metodologi kebijakan seperti dikemukakan di atas bertujuan menciptakan, menilai secara kritis dan mengomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Dalam hal ini pengetahuan menunjuk pada kepercayaan tentang sesuatu yang secara akal sehat dapat dibenarkan, yang berbeda dengan kepercayaan tentang kebenaran yang pasti atau juga kebenaran dengan probabilitas statistika tertentu.
D. Tahap-tahap Kebijakan
Dalam pembuatan kebijakan terdapat tahap-tahap yang harus dilewati agar suatu kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan yang dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa tahap penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya melahirkan kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan. Tahap-tahap dalam kebijakan tersebut yaitu:
1. Penyusunan agenda
Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi.
Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih. Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan, masalah yang mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin tidak disentuh sama sekali. Masing-masing masalah yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki argumentasi masing-masing. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan yang tepat.
2. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari berbagai masalah yang ada tersebut ditentukan masalah mana yang merupakan masalah yang benar-benar layak dijadikan fokus pembahasan.
3. Adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Tahap ini sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi. Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan.
4. Implementasi Kebijakan
Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.
5. Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi, untuk dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah atau tidak. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan telah meraih hasil yang diinginkan.
Pada tahap ini, penilaian tidak hanya menilai implementasi dari kebijakan. Namun lebih jauh, penilaian ini akan menentukan perubahan terhadap kebijakan. Suatu kebijakan dapat tetap seperti semula, diubah atau dihilangkan sama sekali.
E. Model - Model Analisis Kebijakan
Sebelum menjelaskan jenis-jenis model. Kita perlu memahami apa itu model? Menurut Stokey dan Zeckhuaser (1978) model adalah representasi dari sebuah aspek, sebuah situasi atau proses. Namun, yang jelas model itu representasi fisik yang nyata. Seperti globe, diagram sebuah konsep dan bahkan sederet pertanyaan. Model sangat penting bagi analis kebijakan public yang sering diminta untuk membuat rekomendasi kebijakan. Model ini mencakup model yang sederhana hingga yang canggih.
Terkait dengan model ini, William Dunn (2004) menjelaskan ada sejumlah model analisis kebijakan yang bisa dijadikan rujukan: (1) model deskriptif, (2) model normatif, (3) model verbal, (4) model simbolis. Penjelasan dari model kebijakan William Dunn tadi dapat dijelaskan seperti berikut ini.
1. Model deskriptif
Model-model kebijakan dapat dibandingkan dan dikontraskan dari berbagai dimensi, yang paling penting, diantaranya adalah membantu membedakan tujuan, bentuk ekspresi dan fungsi metodologi dari model. Dua bentuk utama model kebijakan adalah deskriptif dan normatif. Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan atau memprediksikan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Model deskriptif digunakan untuk memantau hasil-hasil dari aksi kebijakan.
2. Model normatif
Model ini bertujuan hanya untuk menjelaskan atau memprediksi, tetapi juga memberiakan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai). Diantara beberapa jenis normatif yang digunakan oleh para analis kebijakan adalah model normative yang membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum. Masalah-masalah keputusan normative biasanya dalam bentuk mencari nilai-nilai variabel yang terkontrol (kebijakan) yang akan menghasilkan manfaat terbesar (nilai).
3. Model verbal
Dalam menggunakan model verbal, analis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan argumen kebijakan, bukannya dalam bentuk nilai-nilai angka pasti. Model verbal secara relative mudah dikomunikasikan diantara para ahli dan orang awam, dan biayanya murah. Sementara keterbatasan model verbal adalah bahwa masalah-masalah yang dipakai untuk memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat implisit atau tersembunyi sehingga sulit untuk memahami dan memeriksa secara kritis argumen-argumen tersebut sebagai keseluruhan.
4. Model simbolis
Model simbolis menggunakan symbol-simbol matematis untuk menerangkan hubungan diantara variabel-variabel kunci yang dipercaya memiliki sifst suatu masalah. Prediksi atau solusi yang optimal diperoleh dari model-model simbolis dengan meminjam metode matematika, statistika, dan logika. Model simbolis sulit untuk dikomunikasikan diantara orang awam, termasuk para pembuat kebijakan dan bahkan diantara para ahli pembuat model sering terjadi kesalahpahaman tentang elemen-elemen dasar dari model. Kelemahan model simbolis adalah hasilnya mungkin tidak mudah diinterpretasikan, bahkan diantara para spesialis, karena asumsinya mungkin tidak dinyatakan secara memadai.
5. Model procedural
Model ini menampilkan hubungan yang dinamis diantara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prediksi-orediksi dan solusi optimal siperoleh dengan mnyimulasikan dan meneliti seperangkat hubungan yang mungkin. Model procedural juga memanfaatkan model ekspresi yang simbolis. Perbedaan utama model simbollis dan procedural adalah bahwa model simbolis menggunakan data actual untuk memperkirakan hubungan di antara variabel-variabel kebijakakn dan hasilnya, sedangkan model procedural mengasumsikan hubungan diantara variabel-variabel tersebut. Biaya model procedural relative tinngi jika di bandingkan dengan model-model verbal dan simbolis. Sebagian besar karna waktu yang di perlukan untk mengmbangkan dan menjalankan program-program komputer. Kelebihan dari model procedural adalah bahwa model ini memungkinkan simulasi dan penelitian yang kreatif, kelemahannya adalah bahwa model ini sering mengalami kesulitan untuk mencari data atau argument yang memperkuat asumsi-asumsinya.
F. Implementasi Kebijakan Pendidikan
Grindle (1980) menempatkan implementasi kebijakan sebagai suatu proses politik dan administratif. Dengan memanfaatkan diagram yang dikembangkan, jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Ini merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan publik apapun.
Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, maka kebijakan publik boleh dikatakan sekedar retorika politik atau slogan politik. Secara teoretik pada tahap implementasi ini proses perumusan kebijakan dapat digantikan tempatnya oleh proses implementasi kebijakan, dan program-program kemudian diaktifkan. Tetapi dalam praktik, pembedaan antar tahap perumusan kebijakan dan tahap implementasi kebijakan sebenarnya sulit dipertahankan, karena umpan balik dari prosedur-prosedur implementasi mungkin menyebabkan diperlukannya perubahan-perubahan tertentu pada tujuan-tujuan dan arah kebijakan yang sudah ditetapkan. Atau aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan ternyata perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi.
G. Karakteristik Kebijakan Pendidikan
Kebajikan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1. Memiliki tujuan pendidikan.
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal.
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hierarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi secara mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya, serta daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Suryadi, Aceh dan Tilaar H.A.R.. 1994. Analisis Kebijakan Pendidikan, Sebuah Pengantar. Bandung:Rosdakarya.
Soetjipto. 1997. Analisis Kebijakan Pendidikan Pendidikan, Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud.
Denhardt B. Robert dan Denhardt V. Janet. 2009. Public Administration: An Action Orientation. Boston:Wadsworth.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar