Jumat, 28 November 2014

FITRAH DAN POTENSI DASAR MANUSIA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang.
Fitrah sebagai potensi dan sifat dasar ini dapat dikembangkan oleh manusia sendiri berdasarkan petunjuk dan bimbingan dari Rasul yang diutus oleh Allah SWT. yang mengantarkannya sehingga menjadi orang yang beriman.
Oleh karena itu, fitrah anak sebagai generasi masa depan ini perlu diperhatikan, dipelihara dan dikembangkan, terutama oleh kedua orang tua selaku pembina dan penanggung jawab dalam membina sebuah tatanan keluarga. Dari latar belakang diatas, maka disini penulis akan membahas makalah yang berjudul tentang Fitrah dan potensi dasar manusia secara singkat, jelas dan disertai dengan ayat-ayat dalam beberapa surat. Agar mudah untuk dipahami dan mudah untuk dimengerti.
Allah menciptakan manusia dengan memberikan kelebihan dan keutamaan yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Kelebihan dan keutamaan itu berupa potensi dasar yang disertakan Allah atasnya, baik potensi internal (yang terdapat dalam dirinya) dan potensi eksternal (yaitu potensi disertakan Allah untuk membimbingnya). Potensi ini adalah modal utama bagi manusia untuk melaksanakan tugas dan memikul tanggung jawabnya. Oleh karena itu, ia harus diolah dan didayagunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga ia dapat menunaikan tugas dan tanggung jawab dengan sempurna.

B.    Rumusan Masalah.
1.    Bagaimanakah tafsiran ayat tentang peran manusia dalam kehidupan di dunia ?
2.    Bagaimanakah tafsiran ayat tentang Potensi manusia yang dibawa sejak lahir ?
3.    Bagaimanakah tafsiran ayat tentang Peran lingkungan dalam mempengaruhi perilaku ?

C.    Tujuan masalah.
1.    Untuk mengetahui tafsiran ayat tentang peran manusia dalam kehidupan di dunia.
2.    Untuk mengetahui tafsiran ayat tentang Potensi manusia yang dibawa sejak lahir.
3.    Untuk mengetahui tafsiran ayat tentang Peran lingkungan dalam mempengaruhi perilaku.














































BAB II
PEMBAHASAN

1)     Peran manusia di dunia.

(a)    Surah Al-baqarah (2);30
   
       
وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّىجَاعِلٌ فِى اَلأرضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُوْنَ
Artinya: ” Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di muka bumi itu seorang khalifah.” Mereka berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30)
Arti kata / mufrodat.
  يُفْسِدُ    =    Yang akan membuat kerusakan    وَإِ ذَ    =    dan ingatlah (ketika)
 فِيْهَا     =    di atas bumi    قَلَ    =    Berfirman
وَيَسْفِكُ    =    dan mengalirkan    رَبَّكَ    =    Tuhanmu
 الدِّ مَاءَ    =    Darah     لِلْمَلئِكَةِ    =    kepada para malaikat
وَنَحْنُ    =    dan kami    إِنّىِ    =    sesungguhnya Aku
نُسَبِّحْ    =    senantiasa bertasbih    جَاعِلٌ    =    hendak menjadikan
بِحَمْدِ كَ       =    dengan memuji Engkau    فِى اْلاَرْضِ    =    di muka bumi
وَنُقَدِّسُ لَكَ           =    dan menyucikan Engkau    خَلِيْفَةً    =    seorang kholifah
قَالَ    =    Tuhan berfirman    قَالُوْا    =    mereka berkata
إِنّىِ     =    sesungguhnya Aku     اَتَجْعَلُ    =    mengapa engkau menjadikan
مَـا    =    sesuatu/apa-apa    فِيْهَا    =    (khalifah) di bumi
لاَ تَعْلَمُوْنَ    =    yang tidak kamu ketahui    مَنْ    =    Orang


•    mufasir
Menurut imam Syuti Huruf “wawu” bertafsirkan : ingatlah Hai Muhammad
Dan pada lafadz وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّىجَاعِلٌ فِى الْأَرْضِ خَلِيْفَةً mengandung makna yang akan mewakili aku dalam melaksanakan hukum-hukum atau peraturan-peraturanku padanya, yaitu Adam dan pada lafadz  قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا mengandung makna yakni berbuat maksiat, dan pada lafadz وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ bermakna mengalirkan darah dengan jalan pembunuhan sebagaimana dilakukan oleh bangsa jin yang juga mendiami bumi? Tatkala mereka berbuat kerusakan, Allah mengirim malaikat kepada mereka maka dibuanglah mereka kepulau-pulau dan kegunung-gunung. Dan pada lafadz وَنَحْنُ نُسَبِّحُ bermakna selalu mengucapkan tasbih, pada lafadz بِحَمْدِكَ bermakna yakni yakni selalu membaca subhanallahi wabihamdi artinya maha suci Allah dengan aku memujinya, dan pada lafadz وَنُقَدِّسُ لَكَ bermakna membersihkanmu dari hal-hal yang tidak layak bagimu. Huruf “lam” pada لَك sedangkan kalimat mulai kata “padahal” berfungsi sebagai hal atau menunjukkan keadaan dan maksudnya ialah “padahal kami lebih layak untuk diangkat sebagai kholifah itu”,dan pada lafadz إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ bermakna tentang masalahat atau kepentingan mengenai pengangkatan Adam, dan bahwa diantara anak cucunya ada yang taat ada pula yang durhaka hingga terbukti dan tampaklah keadilan diantara mereka.



(b)    Surah Al-Shad (38):26

يَادَاودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي اْلأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَتَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Artinya: ”Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”(QS. Shaad: 26)
Arti kata / mufrodat.
    جَعَلْنَاكَ = menjadikan kamu    الْهَوَى  = hawa nafsu
    خَلِيفَةً   = kholifah    يَضِلُّونَ = sesat
    اْلأَرْضِ = Muka bumi    سَبِيلِ الله = jalan Allah
    فَاحْكُم   = maka berilah keputusan (perkara)    عَذَابٌ  = adzab
    بِالْحَقِّ   = Dengan adil    بِمَا نَسُوا  = mereka melupakan
    وَلاَتَتَّبِعِ  = janganlah kamu mengikuti    يَوْمَ الْحِسَابِ = hari perhitungan
•    Munasabah
Dalam pembahasan didalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Rasulullah dan seluruh kaum muslimin agar bersabar dalam menghadapi pengingkaran dan penghinaan kaum musyrikin, dengan mengambil contoh teladan pada perjuangan Nabi yang diutus sebelumnya. Tiap-tiap nabi yang mendapat tantangan itu dan menyelamatkan kaumnya, tentu diberi jalan untuk mengatasi tantangan itu dan menyelamatkan kaumnya dari penganiayaan musuh-musuhnya.
•    Mufasir
Dalam ayat ini Allah swt menjelaskan pengangkatan Nabi Daud sebagai penguasa, dan pengangkatannya sebagai penegak hukum di kalangan rakyatnya. Allah swt menjelaskan dan menyatakan bahwa dia mengangkat Daud sebagai penguasa yang memerintah kaumnya. Pengertian penguasa diungkapkan dengan khalifah, yang artinya pengganti, adalah sebagai isyarat agar Daud dalam menjalankannya kekuasaannya selalu dihiasi dengan sopan santun yang baik, yang diridhai Allah, dan dalam melaksanakan peraturan hendaknya berpedoman kepada hidayah Allah. Dengan demikian sifat-sifat khalifah Allah tergambarlah pada diri pribadinya. Maka rakyatnya pun tentu akan mentaati segala peraturannya dan tingkah lakunya yang patut diteladani.
Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa Dia menyuruh Daud agar memberi keputusan terhadap perkara yang terjadi antara manusia dengan keputusan yang adil dengan berpedoman pada wahyu yang diturunkan kepadanya. Dalam wahyu itu terdapat hukum yang mengatur kesejahteraan manusia di dunia dan kebahagiaan mereka di akhirat. Dan melarangnya memperturunkan hawa nafsunya dalam melaksanakan segala macam urusan yang berhubungan dengan kesejahteraan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Dalam ayat ini terdapat isyarat yang menunjukkan pengangkatan Daud sebagai Rasul dan tugas-tugas apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang Rasul serta mengandung pelajaran bagi para pemimpin dalam melaksanakan kepemimpinannya.
Pada akhir ayat Allah swt menjelaskan akibat dari orang yang memperturunkan hawa nafsu dan hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya.
Memperturutkan hawa nafsu menyebabkan seorang kehilangan kesadaran. Dengan demikian ia akan kehilangan kontrol pribadi, akhirnya sesatlah ia dari jalan yang diridhai Allah. Kemudian apabila kesesatan itu telah menyelubungi hati seseorang, lupalah ia akan keyakinan yang melekat dalam hatinya bahwa di atas kekuasaannya masih ada yang lebih berkuasa. Itulah sebabnya maka orang yang memperturunkan hawa nafsu itu diancam dengan ancaman yang keras, yang akan mereka rasakan deritanya di hari pembalasan, hari diperhitungkannya seluruh amal manusia guna diberi balasan yang setimpal.
(c)    Surah Yunus (10):14
ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلَائِفَ فِي الارْضِ مِنْ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ
Artinya: “Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.(QS Yunus ; 14)
Arti kata / mufrodat.
    جَعَلْنَاكُم  = kami jadikan kamu
خَلَائِفَ    = pengganti-pengganti (mereka)
لِنَنْظُرَ    = memperhatikan
تَعْمَلُونَ  = kamu berbuat
•    Mufasir
Karena pusat perhatian para pendurhaka yang diuraikan sifat-sifatnya oleh ayat-ayat yang lalu adalah kehidupan dunia dan kenikmatannya, maka ancaman pertama yang ditujukan kepada mereka pun oleh ayat ini adalah menyangkut kehidupan duniawi. Allah swt menyatakan sambil mengukuhkan pernyataan itu bahwa Dan demi kekuasaan Allah sesungguhnya Kami melalui makhluk-makhluk Kami telah membinasakan umat-umat yang sebelum kamu dengan membinasakan menyeluruh, ketika mereka berbuat kezaliman yang tidak dapat lagi ditoleransi. Umat-umat yang lalu itu melakukan kezaliman padahal rasul-rasul mereka telah dating kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata baik berupa mukjizat inderawi maupun penjelasan lisan, tetapi mereka sekali-kali tidak hendak beriman. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada para pendurhaka yang melampaui batas dalam kedurhakaannya. Kemudian setelah umat-umat yang lalu itu Kami binasakan Kami jadikan kamu wahai kaum musyrikin Mekah sebagai pengganti-pengganti mereka di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami melihat dan mengetahui dalam kenyataan bagaimana kamu berbuat.
Kata al-qurun adalah bentuk jamak dari kata al-qarn yang pada mulanya berarti bersama. Sementara utama memahami kata tersebut dalam arti himpunan manusia atau generasi yang hidup semasa/bersamaan. Ada juga yang memahaminya dalam arti waktu tertentu, dan dalam hal ini ada yang menyatakannya seratus tahun (satu abad), ada juga yang menilainya 60,70 atau 80 tahun. Yang dimaksud oleh ayat ini adalah manusia-manusia yang hidup pada masa tertentu, dan hidup bersamaan. Dengan demikian, kedua makna kata tersebut dapat dipertemukan.
Kata khalaif adalah bentuk jamak dari kata khalifah. Kata ini terambil dari kata khalf yang pada mulanya berarti di belakang. Dari sini kata khalifah seringkali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Ini karena kedua makna itu selalu berada atau datang sesudah yang ada atau datang sebelumnya. Kata ini telah dijelaskan kandungan maknanya dengan cukup panjang ketika penulis menafsirkan QS. Al-An’am (6) : 165
Artinya : Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Jatuhanya kebinasaan atas mereka – menurut ayat ini – disebabkan oleh dua hal. Pertama karena mereka berbuat kezaliman yang tidak dapat ditoleransi, yakni syirik/mempersekutukan Allah swt, dan kedua adalah karena Allah swt mengetahui bahwa kezaliman itu akan terus berlanjut sehingga mereka sekali-kali tidak hendak beriman, walau sampai kapan pun. Penambahan huruf lam pada kata liyu’minu yang dinamai oleh pakar-pakar bahasa lam al-juhud bukan sekedar kata yu’minu untuk menekankan ketiadaan iman dan kemustahilan memperolehnya. Atas dasar kedua hal inilah mereka dibinasakan. 
•    Pendapat penulis
    Melihat ayat-ayat diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa manusia itu diciptakan untuk menjadi seorang pemimpin sehingga manusia mempunyai tanggung jawab lebih berat daripada makhluk-makhluk Allah ciptaan yang lain-Nya sehingga manusia bertanggung jawab pula untuk menjaga, merawat, dan menggunakan dunia seisinya dengan sebaik-baiknya meskipun tidak semua bisa melakukannya karena sesuai sabda Rasulullah “ kalian semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanyai atas kepemimpinannya” .
2)     Potensi manusia yang dibawa sejak lahir.

a)    Surah Al-Rum (30):30

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُون
Artinya :“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”(QS Al-Rum ; 30).
Arti kata / mufrodat.
        فَأَقِمْ    = Maka hadapkanlah
وَجْهَكَ    = wajahmu
خَلْقِ اللَّهِ    = fitrah Allah
الْقَيِّمُ    = lurus
لا يَعْلَمُون= tidak mengetahui
•    Munasabah
Pada ayat-ayat yang lalu. Allah memberi perumpamaan orang-orang yang menyekutukan Allah adalah seperti tuan-tuan yang menyamakan dirinya dengan hamba sahaya miliknya dalam kepemilikan dan penelolaan hartanya. Ayat-ayat itu juga menerangkan bahwa perumpamaan itu tidak berfaedah sedikit pun bagi mereka. Pada ayat-ayat berikut ini, Allah mengarahkan pembicaraan-Nya kepada Nabi Muhammad. Beliau diperintahkan lagi untuk tidak menghiraukan kaum musyrik karena tidak bisa diharapkan lagi untuk masuk islam. Walaupun pembicaraan ini ditunjukkan kepada Nabi Saw, tetapi berlaku umum, termasuk didalamnya kaum muslimin.
•    Mufasir.
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah. Ada yang berpendapat bahwa fitrah itu artinya “Islam”. Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu Syihab, dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan utama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ar-rum ayat 30 dan hadis Abu Hurairah. Mereka juga berhujah dengan hadis bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari.
Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik, beliau menjawab, “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui,” yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis al-Bukhari dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw.
Sebagian ulama lain mengartikan “fitrah” dengan “kejadian” yang dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dikatakan, “Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya.” Dengan kejadian itu, sang anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujjah bahwa “fitrah” itu berarti “kejadian” dan “fatih” berarti “yang menjadikan” dengan firman Allah QS. Az-Zumar (39) : 46, QS. Yasin (36) : 22, QS. Al-Anbiya’ (21) : 56.
Kemudian kalimat dalam ar-rum ayat 30 ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tidak ada perubahan. Allah tidak akan mengubah fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menyalahi aturan itu maksudnya ialah tidak akan sengsara orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara. Menurut Mujahid, artinya ialah tidak ada perubahan bagi agama Allah. Pendapat ini didukung oleh Qatadah, Ibnu Jubair, ad-Dahhak, Ibnu Zaid, dan an-Nakh’i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan. ‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Umar bin Khattab berkata, “Tidak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan.” Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.
Ungkapan “itulah agama yang lurus”, menurut Ibnu ‘Abbas, bermakna “itulah keputusan yang lurus”. Muqatil mengatakan bahwa itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa agama yang lurus itu ialah agama Islam, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka tidak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusan-Nya.

b)    Surah Al-A’raf (7):172

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yg demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang orang yg lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” Q.S. al-A’raf : 172
Arti kata / mufrodat.
ظُهُورِهِمْ    = sulbi mereka
ذُرِّيَّتَهُمْ    = anak cucu mereka
شَهِدْنَا    = kami menjadi saksi
تَقُولُوا    = kamu mengatakan
يَوْمَ الْقِيَامَةِ= hari kiamat
غَافِلِينَ    = orang-orang yang lalai
•    Mufasir
Ayat ini tidak berbicara tentang Bani israil. Salah satu buktinya adalah ucapan yang diabadikan ayat di atas “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan (Tuhan) sejak dahulu”. Bani israil sama sekali tidak mengaku bahwa mereka atau orang tua mereka pernah mempersekutukan Tuhan. Ayat ini berbicara tentang kaum musyrikin Mekah. Ia dikemukakan disini dalam konteks uraian tentang pengingkaran janji yang dilakukan oleh Bani Israil. Sambil berbicara tentang hal tersebut Al-Qur’an beralih sejenak untuk mengingatkan kaum musyrikin bahwa mereka pun mengingkari perjanjian. Memang tidak jarang seorang pembicara beralih sejenak ke persoalan lain dan menyinggungnya secara sepintas bila ada hubungan yang sangat erat dengan persoalan yang sedang dibicarakan. Hubungan erat yang terjadi disini adalah pengingkaran janji. Atau dapat juga dikatakan bahwa ayat yang lalu menguraikan pengambilan janji dan penyampaian tuntunan Allah melalui rasul dan kitab-Nya yang terbaca, dan kini penyampaian itu melalui diri masing-masing dan kitab-nya yang terhampar di alam raya.
Al-Biqa’i menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya dengan menyatakan bahwa Bani Israil di ingatkan dengan perjanjian yang bersifat khusus yang telah dijamin sedemikian kuat dengan mereka. Kalau yang lalu itu bersifat khusus yang telah di jalin sedemikan kuat dengan mereka. Kalau yang lalu itu bersifat khusus,  maka sebenarnya masih ada perjanjian lain juga dengan mereka, walaupun kali ini bersifat umum mencakup mereka dan selain mereka dari putra-putri Adam. Kalau pada ayat yang lalu mereka diingatkan ketika Allah mengngkat bukit ke atas mereka sambil memerintahkan melaksanakan apa yang tercantum dalam kitab Taurat, maka disini mereka diingatkan hal lain yaitu;
Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan dari putra-putri Adam masing-masing dari punggung, yakni sulbi orang tua mereka kemudian meletakkannya di rahim ibu-ibu mereka sampai akhirnya menjadikannya keturunan mereka manusia sempurna, dan Dia, yakni Allahg mempersaksikan mereka putr-putri Adam itu atas diri mereka sendiri, yakni meminta pengakuan mereka masing-msing melalui potensi yang dianugrahkan Allah kepada mereka, yakni akal mereka, juga melalui penghamparan bukti keesaan-Nya di alam raya dan pengutusan para nabi seraya berfirman: “bukankah Aku Tuhan pemelihara kamu dan yang selalu berbuat baik kepada kamu?” mereka menjawab: “betul! Kami menyaksikan bahwa Engkau adalah Tuhan kami dan menyaksikan pula bahwa Engkau Maha Esa”.
Seakan-akan ada yang bertanya: “mengapa Engkau lakukan yang demikian wahai Tuhan?” Allah menjawab: “kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat nanti kamu wahai yang mengingkari keesaan-Ku tidak mengatakan: sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini yakni keesaan Tuhan, karena tidak adanya bukti-bukti tentang keesaan Allah swt”. Atau agar kamu tidak mengatakan – seandainya tidak ada rasul yang kami utus atau tidak ada bukti-bukti itu – bahwa “sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan tuhan sebelum ini, yakni sejak dahulu, sedang kamitidak mempunyai pembimbing selain mereka sehingga kami mengikuti mereka saja karena kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah mereka. Maka apakah wajar wahi Tuhan, Engkau akan menyiksa dan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang tua kami yang sesat?” Dan demikianlah Kami menjelaskan dengan rinci dan beraneka ragam ayat-ayat itu, yakni bukti-bukti keesaan Kami agar mereka kembali pada kebenaran dan kembali kepada fitrah mereka.
Kata akhadza/mengambil  menurut thaba’thaba’i mengisyartkan adanya pemisahan dari sesuatu sehingga yang diambil itu terpisah dari asalnya, serta menunjukkan adanya kemandirian yang diambil. Makna kata ini dapat berbeda masing-masing sesuai dengan konteks pengambilan. Mengambil sesuap makanan, atau secangkir air, berbeda dengan mengambil harta atau barang dari si A yang merampasnya, atau dari dermawan atau penjual, demikian juga mengambil ilmu dari guru, dan lain-lain. Lanjutan ayat diatas menjelaskan jenis pengambilan itu, yakni pengambilan Tuhan dari putra-putra Adam as. Dan itu dari punggung-punggung mereka. Ini berrti bahwa ada sesuatu yang diambil dari putr-putra Adam as. Tetapi itu tidak mengurangi bentuk kesempurnaandan kemandirian yang diambil darinya. Lalu sesuatu yang diambil itu disempurnakan sehingga mampu mandiri dan merupakan jenis yang sama dengan asalnya. Seorang anak diambil dari punggung/sulbi ayahnya. Sang anak berasal dari ayahnya, lalu dia berdiri sendiri dari kedua orangtuanya, padahal sebelumnya dia dia adalah sebagian dari ayah/orang tuanya. Kemudian dari anak yang tadinya merupakan bagian dari ayahnya, diambil lagi darinya sesuatu – sebagaimana dia dahulu merupakan bagian dari ayahnya – sehingga lahir lagi anak(yang kali ini telah merupakan cucu) yang juga berdiri sendiri. Demikian seterusnya sehingga masing-masing juga berdiri sendiri. Demikian Thaba’thaba’i.
Setelah mengambil dan menjadikan masing-masing mandiri, Allah mempersaksikan mereka tentang keesaan-Nya melalui potensi yang mereka miliki serta bukti-bukti keesaan yang Dia hamparkan. Selanjutnya karena kata mengambil dikaitkan dengan putra-putri keturunan Adam as. Maka itu berati masing-masing mereka, orang per orang berdiri secara sendiri telah diambil kesaksiannya menyangkut keesaan Allah swt. Dan mengakuinya sehingga setiap orang pada hakikatnya memiliki pengetahuan serta fitrsh yang mengandung pengakuan akan keesaan itu. Ini sejalan dengan sabda Rasul saw: “Setiap anak yang dilahirkan, dalam keadaan fitrah/kesucian, hanya saja kedua orangtuanya yang menjadikan ia yahudi, atau nasrani atau majusi” (HR. Bukhari).
Ayat diatas menjelaskan dua sebab mengapa persaksian tersebut diambil Allah. Yang pertama adalah agar manusia di akhir kiamat nanti tidak berkata: “sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini”. Yakni kalau kami tidak melakukan hal tersebut, maka mereka akan berkata:“ kami tidak tahu atau lengah dimintai pertanggungjawaban”. Nah, supaya tidak ada dalih semacam ini, Allah mengambil dari mereka kesaksian dalam arti memberikan kepada setiap insan potensi dan kemampuan untuk menyaksikan keesaan Allah bahkan menciptakan mereka dalam keadaan memiliki fitrah kesucian dan pengakuan akan keesaan itu.
Alasan kedua agar mereka tidak mengatakan:” sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan, kami hanya anak keturunan mereka”. Yakni agar mereka tidak mengatakan: “kami sebenarnya hanya mengikut saja, karena kami tidak mampu dan tidak mengetahu hakikat yang dituntut ini, apalagi orang tua kami yang mengajar kami dan kami menerimanya seperti itu. Jika demikian yang salah adalah orang tua kami bukan kami, karena itu wahai Tuhan apakah wajar Engkau menyiksa kami?” Nah, untuk menampik dalih ini, maka Allah mempersaksikan setiap insan, sehingga ia dapat menolak siapapun walau orang tuanya sendiri, bila mereka mengajak kepeda kedurhakaan dan persekutuan Allah.
Ada yang memahami ayat ini sebagai stu peristiwa  yang pernah dialami oleh setiap insan, yang terjadi dalam stau alam yang mereka namakan Alam adz-Dzar. Ketika itu Allah swt mengeluarkan dari sulbi Adam as. Seluruh anak cucunya, kemudian bertanya pada mereka pertanyaan yang disebut ayat diatas dan merekapun menjawab sebagaimana yang dipaparkan ayat ini. Banyak sekali ayat yang menginformasikan peristiwa tersebut, tetapi dinilai lemah oleh banyak ulama hadis. Disisi lain sulit memahami ayat ini sebagai pendukung peristiwa tersebut, karena ayat diatas tidak mengatakan “Allah mengaambil dari Adam” tetapi “dari putra-putra Adam”. Ayat ini juga tidak berkata “dari punggung/sulbi Adam”  Tetapi “dari punggung-punggung mereka”, yakni punggung anak-anak Adam, demikian juga tidak berkata “keturunan Adam”  tetapi “keturunan mereka”. Karena itu, ayat diatas lebih tepat dipahami sebagai ilutrasi tentang aneka pembuktian menyangkut keesaan Allah yang telah melekat pada diri manusia melalui fitrah dan akal pikirannya.
Kalaupun peristiwa pada Alam adz-Dzar  yang dikemukakan diatas dapat diterima – berdasarkan riwayat yang amat banyak jalurperiwayatannya itu – sehingga walaupun lemah ia dapat saling memperkuat namun ayat ini tidak dapat dipahami berdasrkan riwayat-riwayat tersebut, karena redaksi ayat tidak mendukung. Namun demikian, ayat ini, demikian juga ayat diatas menunjukkan bahwa dalam diri setiap manusia ada fitrah keagamaan serta pengakuan akan keesaan Allah. Hakiakat ini sejalan dengan firman-Nya “maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Rum.[30]: 30)
Setiap orang memiliki fitrah itu, walau seringkali – karena kesibukan dan dos-dosa – suara fitrahnya begitu lemah tidak terdengar lagi. Fir’aun sendiri yang tadinya mengingkari Allah dan keesaan-Nya akhirnya percaya ketika ruhnya telah akan meninggalkan jasadnya. Ini diuraikan oleh (QS. Yunus [10]: 90) “.... hingga saat fir’aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia, ‘Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh bBani Israil dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Karena itu kalau ada orang yang mengingkari wujud dan keesaan Allah maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada akhirnya – sebelum ruhnya berpisah dengan jasadnya – ia akan mengakui-Nya. Memang, kebutuhan manusia dan pemenuhannya bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi segera, seperti kebutuhan pada udara, ada yang dapat ditangguhkan beberapa saat, seperti kebutuhan makanan, minuman dan seks. Kebutuhan yang paling lama ditangguhkan adalah kebutuhan tentang keyakinan akan wujud dan keesaan Allah.




•    Pendapat Penulis
Pada dasarnya manusia itu banyak sekali potensi tapi potensi itu tidak lepas dari potensi baik dan buruk, oleh sebab itu manusia dalam mengarungi hidup di dunia harus bisa memilih dan memilahnya  sehingga dia bisa menentukan arah jalan hidupnya namun Potensi yang dilekatkan pada hati nurani untuk membedakan dan memilih jalan yang hak dan yang batil, jalan menuju ketaqwaan dan jalan menuju kedurhakaan.
Allah berfirman :
Asy-Syams:7
     Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
Asy-Syams:8
    Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Di dalam hati setiap manusia telah tertanam potensi ini, yang dapat membedakan jalan kebaikan (kebenaran) dan jalan keburukan (kesalahan). Dari kemampuan ini, Nabi pernah bersabda. Hadits ini menunjukkan bahwa potensi inilah yang menentukan arah kehidupan manusia.

3)    Peran lingkungan dalam mempengaruhi perilaku manusia
(a)    Surah Al-Ankabut (29):13
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالاً مَّعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ

Artinya: “Dan mereka benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka sendiri, dan dosa-dosa yang lain bersama dosa mereka, dan pada hari Kiamat mereka pasti akan ditanya tentang kebohongan yang selalu mereka ada-adakan”.( QS Al-Ankabut : 13)
    Arti kata / mufrodat.
    وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالا     = Dan mereka benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka sendiri
        وَلَيُسْأَلُنَّ    = mereka pasti akan ditanya
يَوْمَ الْقِيَامَةِ    = hari Kiamat
يَفْتَرُونَ          = mereka ada-adakan


•    Munasabah
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah menyebutkan tentang cobaan bagi orang yang lemah imannya. pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang kafir selalu mengajak dan membujuk orang-orang beriman mengikuti langkah-langkah mereka. Bujukan tersebut bertujuan agar orang-orang mukmin mau berbuat seperti mereka, dan mereka menjamin akan menanggung segala akibat perbuatan tersebut.
•    Mufasir
Firman-Nya: “mereka sedikit pun tidak akan memikul dosa-dosa mereka”,  tidak bertentangan dengan penggalan ayat berikutnya yang menyatakan “sesungguhnya mereka akan memikul beban-beban mereka dan benban lain bersama beban-beban mereka”, karena mereka tidak akan memikul dalam arti mereka tidak dapat menanggung akibat dosa itu, dalam arti dosa itu tidak dapat dialihkan sehingga pelaku yang diperdaya terbebaskan dari dosa itu tidak dapat dialihkan sehingga pelaku yang diperdaya terbebaskan dari dosa, tapi dalam saat yang sama kaum musyrikin yang memperdaya itu memikul beban dosa akibat memperdaya mereka.
Ayat ini serupa dengan firman-Nya:
“sehingga mereka memikul dosa-dosa mereka secara sempurna pada hari kiamat, dan dosa-dosa orang-orang yang mereka sesatkan tanpa pengetahuan. Ingatlah amat buruk dosa yang mereka pikul itu” (QS. an-Nahl [16]: 25), dan sejalan juga dengan sabda Nabi saw: “siapa yang memulai/merintis dalam islam satu kebaikan, maka dia akan memperoleh ganjarannya dan ganjaran ornag-orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang ganjaran mereka(yang mengerjakan sesudah si perintis itu), dan siapa yang memulai dalam islam satu dosa, maka dia akan memperoleh dosanya dan dosa ornag-orang yang mengerjakan sesudsahnya tanpa sedikitpun berkurang  dosa mereka (yang mengerjakan sesudah si perintis itu) (HR. Muslim).
(b)    Surah Al-jasiyah (45): 13
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.”(QS Al-Jasiyah : 13).

Arti kata / mufrodat.
        وَسَخَّرَ لَكُمْ    = Dan dia menundukkan untukmu
        السَّمَاوَاتِ        = langit
        الأرْضِ        = Bumi
    جَمِيعًا        = Semuanya
    لآيَاتٍ        = Tanda-tanda (kekuasaan Allah)
    لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ    = kaum yang berpikir
•    Mufasir
(Dan Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit) berupa matahari bulan bintang-bintang, air hujan dan lain-lainnya (dan apa yang ada di bumi) berupa binatang-binatang, pohon-pohonan, tumbuh-tumbuhan, sungai-sungai dan lain-lainnya. Maksudnya, Dia menciptakan kesemuanya itu untuk dimanfaatkan oleh kalian (semuanya) lafal Jamii'an ini berkedudukan menjadi Taukid, atau mengukuhkan makna lafal sebelumnya (dari-Nya) lafal Minhu ini menjadi Hal atau kata keterangan keadaan, maksudnya semuanya itu ditundukkan oleh-Nya. (Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah bagi kaum yang berpikir) mengenainya, karena itu lalu mereka beriman.
•    Pendapat penulis
Allah selalu memberikan peringatakan kepada hamba-hambanya baik yang mukmin maupun yang kafir terhadap bahaya lingkungan karena lingkungan dapat mempengaruhi proses kelangsungan manusia di dunia sehingga dengannya manusia akan berubah manjadi lebih baik atau buruk. Oleh karena itu kita sebagai manusia yang baik harus bisa dan mampu untuk memahaminya. Hal itu telah diperingatkan oleh Rasulullah saw. :

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً.
Perumpamaan teman yang baik dan teman yang jelek bagaikan pemilik minyak wangi dan tukang besi. Terhadap pemilik minyak wangi, kamu dapat menikmati minyak wangi dengan cara membeli kepadanya atau minimal mencium aromanya yang bagus. Sedangkan terhadap tukang besi, mungkin badan atau pakaianmu terbakar atau kamu mencium bau yang tidak sedap. (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Musa).
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ .
Seseorang itu mengikuti agama temannya. Oleh sebab itu, kamu harus hati-hati terhadap temanmu (HR Tirmizi dan Abu Daud dari Abu Hurairah).



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
    Dapat kita simpulkan bahwa mempelajari ilmu tafsir al-qur’an itu sangat besar manfaatnya, dengannya kita bisa mengetahui dan memahami isi dan kandungan dalam al-qur’an seperti kita memahami dalam pembahasan makalah ini yaitu pembahasan tentang peran manusia, potensi manusia, dan peran lingkungan dalam mempengaruhi perilaku sebagaimana yang telah tertulis dalam Al-qur’an.
Banyak sekali makna fitrah yang telah diterangkan dan tidak sedikit pula adanya perbedaan pendapat di kalangan mufassir mengenai makna fitrah sebenarnya, hal demikian bisa kita lihat dalam ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan sebelumnya.
Dari beberapa uraian mengenai makna fitrah yang telah diungkapkan oleh para pakar, penulis menyimpulkan bahwa pada hakikatnya fitrah manusia bukan hanya terbatas pada peng-Esa-an terhadap Allah (tauhid) semata, akan tetapi fitrah merupakan segenap potensi dasar manusia yang dianugerahkan Allah kepada umat manusia sebagai bekal kekhalifahannya di dunia.
Mengenai perbedaan penafsiran makna fitrah, al-Jurjani berasumsi bahwa pada dasarnya perbedaan itu bukan karena substansi akan tetapi lebih bersifat teknis dan kondisional. Boleh jadi, perbedaan itu dilatarbelakangi oleh paradigma keilmuan dari masing-masing mufassir, model-model interpretasinya, serta kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya. Namun yang jelas dan terpenting untuk diperhatikan adalah bahwa fitrah itu harus tetap dibimbing dan diarahkan agar tumbuh dan berkembang menjadi fitrah sebagaimana yang dimaksudkan dalam al-Quran.
Dengan pemahaman demikian, agar fitrah itu bisa berkembang, maka fitrah itu harus berinteraksi dan berdialog dengan lingkungan eksternal. Untuk mampu berdialog dengan baik, fitrah memerlukan lembaga yang lebih kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan fitrah tersebut, oleh karena itu pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis untuk mengarahkan fitrah tersebut.


Daftar Pustaka

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah. (Jakarta: Lentera hati)
Kementrian Agama RI. 2011. Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid 7. (Jakarta: Kementrian Agama RI)
Departemen Agama. 1991. Al-Qur’an dan Tafsir VIII Juz 22, 23, 24. (Jakarta: Departemen Agama Jakarta)
Al-Mahally, Imam al Jalaluddin. 1990. Terjemah Tafsir Jalalain berikut Asbabul Nuzul. (Bandung: CV. Sinar Baru)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar