BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi kkta sedang berinteraksi aktif di dalamnya.Kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam proses menuju kedewasaannya, setiap manusia melalui tahap pendidikan ini.
Pada masa ini seringkali kita sebagai ummat Islam terkesima dengan kemajuan peradaban dunia Barat.Tentunya jika sebuah peradaban suatu bangsa sangat maju, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan yang mereka kembangkan sangatlah maju pula.Padahal sebelum itu, pada abad ke-7 masehi ummat Islam adalah rujukan pengetahuan bagi bangsa-bangsa di dunia.Namun masa keemasan tersebut pun harus diakhiri dekan runtuhnya daulah Abbasiyah.
Agama Islam merupakan agama yang sempurna, agama yang dibawa Nabi Muhammad ini diajarkan melalui mukjizat yang berupa teks al-Qur’an.Al-Qur’an merupakan teks rujukan dan pedoman bagi ummatnya dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang tidak menyebutkan makna secara “gamblang” dan jelas, penjelasan dari ayat tersebut diperoleh melalui penjelasan Hadits Nabi yang kemudian disebut sebagai teks utama setelah al-Qur’an.
Sebenarnya agama Islam sangat mengutamakan proses pendidikan, hal tersebut dapat dilihat dari lima ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam surat al-‘Alaq. Banyak juga hadits yang menjelaskan tetang pentingnya pendidikan bagi manusia. Namun sebagai dua teks utama, ummat Islam seringkali lupa akan ajaran-ajaran yang dijelasknnya.
B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa bunyi surah Jum’at (62);2 dan surah asy-Syam (91); 8-10?
2. Seperti apa menjelaskan ma’ani al- mufradrat pada surah Jum’at (62);2 dan surah asy-Syam (91); 8-10?
3. Bagaimana menerjemahkan asbab al-nuzul atau munasabah ayat pada kedua surah tersebut ?
4. Seperti apa pendapat berbagai mufassir terhadap ayat tersebut?
5. Bagaimana penyesuaian pendapat penulis dengan tema yang menggunakan referensi Hadits atau para Ilmuan?
C. Tujuan
1. Menyebutkan bunyi surah Jum’at (62);2 dan surah asy-Syam (91); 8-10
2. Menjelaskan ma’ani al- mufradrat pada surah Jum’at (62);2 dan surah asy-Syam (91); 8-10
3. Menerjemahkan asbab al-nuzul atau munasabah ayat pada kedua surah tersebut.
4. Menyampaikan berbagi pendapat mufassir terhadap ayat tersebut.
5. Menyesuaikan pendapat penulis dengan tema yang menggunakan referensi Hadits atau para Ilmuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bunyi Al-Qur’an
Surah Jum’at (62); 2
وَيُعَلِّمُهُمُوَيُزَكِّيهِمْآيَاتِهِعَلَيْهِمْيَتْلُومِنْهُمْرَسُولاالأمِّيِّينَفِيبَعَثَالَّذِيهُوَ
(٢)مُبِينٍضَلالٍلَفِيقَبْلُمِنْكَانُوا وَإِنْوَالْحِكْمَةَالْكِتَابَ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan aya-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Surah Asy-Syam (91); 8-10
(٨)وَتَقْوَاهَا فُجُورَهَا فَأَلْهَمَهَا
(٩) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
(١٠)هاسَّاد᷇ مَنْ خَابَ وَقَدْ
8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan.
9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.
10. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
A. Ma’ani al- Mufradrat
Surah Jum’at (62);2
Ba’asa: mengutus
Al-Ummiyyin : orang-orang Arab, mufradatnya adalah Ummiy ia dinisbatkan kepada Al-Umm (ibu) yang melahirkannya, sebab ia dalam keadaan yang padanya ia dilahirkan ibunya, tanpa mengenal baca tulis dan perhitungan
Yuzakkihim : mensucikan mereka dengan bacaan ayat-ayat-Nya
Surah asy-Syam (91); 8-10
Almahamaa : yang memperkenalkan dan yang memberi kesempatan padanya.
Al-Fujur : sesuatu yang menyebabkan kerugian dan kerusakan
Al-taqwa : memelihara jiwa dari segala kemungkinan yang tidak di inginkan
B. Menerjemahkan Asbab al-Nuzul atau Munasabah Ayat
Surah Jum’at (62);2
Konon orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang yang buta huruf karena mereka umumnya tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis.Karena dinasabkan kepada kondisinya ketika dilahirkan oleh ibunya, dan kemampuan menulis itu terjadi dengan berlatih dan belajar.
Karunia itu sangat tampak dalam pilihan Allah bagi orang-orang yang ummi, agar menjadikan mereka sebagai para ahli dan pemilik Kitab yang nyata.Juga agar mengutus kepada mereka seorang Rasul dari diri mereka.Mereka terangkat dan menjadi tinggi dengan pilihan Allah atas diri mereka kepada kedudukan yang mulia. Dan, mereka pun keluar dari kondisi buta huruf atau keterpinggiran mereka dengan membaca ayat-ayat Allah atas mereka, mengubah apa yang ada pada mereka, serta mengistimewakan dan membedakan mereka dari seluruh makhluk di alam semesta.
Munasabah : pada akhir Surah as-Saff, Allah menjelaskan bahwa hendaknya kita menjadi penolong dan pembela agama Allah, sebagaimana kaum Hawaryyun terhadap Nabi Isa. Pada ayat-ayat berikut ini, Allah menjelaskan bahwa Dia mengutus Nabi Muhammad yang bertugas mensucikan hati mereka, membacakan kitab suci dan sunah-sunahnya, sehingga mereka terbebas dari kesesatan.
Asbabun Nuzul : terdapat do’a Nabi Ibrohim a.s khalil (kekasih) Allah. Do’a yang ia ucapkan di bawah naungan Ka’bah bersama-sama dengan Ismail a.s.,
“Dan (ingatlah ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo’a), Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami) sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengarkan lagi Maha mengetahui.Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah tobat kami.Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat laagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).”(al-Baqarah :127-129)
Do’a ini telah lama berada di balik tirai ghoib dan telah dipanjatkan sejak berabad-abad yang lalu.Ia pun terealisasi pada waktunya yang tepat dalam takdir Allah dan pengaturan-Nya. Dan ia pun memerankan perannya dalam alam semesta sesuai dengan pengarahan dan pengolahan Ilahi yang tidak akan pernah mendahulukan sesuatu pun dan tidak pula mengundurkannya sesuai dengan ketentuannya yang digariskan dan ditetapkan.
Surah asy-Syam (91); 8-10
8. Kemudian Allah memberikan isnpirasi (ilham) kepada setiap jiwa manusia tentang kefasikan dan ketakwaan serta memperkenalkan keduanya sehingga ia mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana petunjuk dan mana yang kesesatan. Semua itu bias dipahami oleh orang-orang yang mempunyai mata hati. Setelah mengilhami jiwa manusia dengan pengetahuan tentang kebaikan dari keburukan.
9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mau menyucikan jiwanya dan meningkatkannya menuju kesempurnaan akal dan perbuatan, sehingga membuahkan hasil yang baik bagi dirinya dan orang lain yang ada di sekelilingnya.
10. Sungguh merugi orang yang telah mengotori jiwanya dan mencampakkan dirinya ke dalam kehancuran melalui pengurangan hak-haknya dengan melakukan berbagai kemaksiatan, menjauhi amal kebaikan, serta menjauhkan diri kepada Allah. Sesungguhnya orang yang mengambil jalan kefasikan dan menuruti kebisikan hawa nafsu syahwatnya, tingkah lakunya tidak berbeda dengan hewan. Dengan demikian ia telah melenyapkan kekuatan akal sehatnya yang dengannya manusia menjadi makhluk paling utama dan kini ia masuk ke dalam golongan binatang. Tidak ragu lagi bahwa tidak ada penyesalan yang lebih besar dan tidak ada kerugian yang lebih fatal melebihi perbuatan terkutuk yang bias menyeret seseorang kepada derajat yang paling rendah yaitu melakukan berbagai perbuatan sesat.
Asbabun Nuzul : bagian ini dijelaskan tentang dua sifat manusia, yaitu sifat fujur dan taqwa. Siapa yang menjaga dan melestarikan sifat taqwa dengan cara mensucikan jiwa dari berbagai macam bentuk kemaksiatan maka ia termasuk orang yang beruntung. Dan sebaliknya siapa yang membiarkan jiwanya bergelimang dalam kemaksiatan maka ia termasuk orang yang merugi.Sebagai benteng penguat agar jiwa tetap terjaga kesuciaannya maka Nabi saw mengajarkan sebuah doa yang seyogyanya dibaca setiap muslim. Doa tersebut adalah: “Allahumma aati nafsii taqwaahaa, wa zakkihaa, anta khairu man zakkaahaa (Ya Allah karuniakan kepadaku ketaqwaan, sucikanlah ia karena Engkau sebaik-baik penyuci jiwa)”
Munasabah : dalam dua ayat terakhir Surah al-Balad yang lalu, Allah menjelaskan adanya “golongan kiri” yang tidak mau berbuat baik, tempatnya adalah neraka. Sebelumnya Allah menginformasikan adanya “golongan kanan” yang berbuat baik, tempatnya adalah surge. Dalam ayat-ayat berikut, Allah bersumpah dengan makhluk-makhluk-Nya yang bertolak belakang, untuk menekanakn bahwa dalam diri manusia juga diciptakan dua potensi yang bertolak belakang.
C. Pendapat Berbagai Mufassir Terhadap Ayat
Pada Surah Jum’at (62);2
1. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan an-Nasa’i dari Ibnu Umar dari Nabi Saw, beliau mengatakan “Kami adalah Ummy. Kami tidak menulis dan tidak menghitung”. Rosul ini termasuk mereka yaitu seperti mereka. Namun demikian, ia membacakan kepada mereka ayat-ayat al-Kitab untuk menjadikan mereka suci dari kotoran-kotoran akidah dan amal perbuatan, dan untuk mengajari mereka syari’at dan urusan-urusan intelektual yang menyempurnakan jiwa dan mendidiknya. Dan inilah yang di isyaratkan oleh Al-Bushairi dalam ucapannya: “cukuplah bagimu mukjizat dengan adanya ilmu bagi seorang ummiy dan pendidikan anak yatim di masa jahiliyah”
2. Hikmah Allah Ta’ala, bahwa Dia mengutus rasul yang seperti mereka, ialah agar mereka memahami apa yang dibawa Rasul itu, dan mengetahui sifat-sifat dan akhlaknya, supaya mudah bagi mereka menerima dakwanya. Ringkasnya, Allah menyebutkan tujuan dari di utusnya Rasul ini yang secara global ada tiga hal menurut Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam bukunya Tafsir al-Maraghi jilid 28 yaitu:
a) Untuk membacakan kepada mereka ayat-ayat al-Qur’an yang di dalamnya terdapat petunjuk dan bimbingan mereka menuju kebaikan dua kampong, sedang dia pun seorang ummiy yang tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis, agar kenabianya tidak diragukan dengan kata-kata mereka bahwa dia telah mengambilnya dari kitab-kitab orang-orang terdahulu, sebagaimana yang telah di isyaratkan oleh firman-Nya:
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) suatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu.Andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkari (mu)”. (Al-Ankabut, 29:48)
b) Untuk mensucikan mereka dari kotoran-kotoran kemusyrikan dan akhlak-akhlak jahiliyah, menjadikan mereka kembali dan takut kepada Allah dalam perbuatan dan ucapkan serta tidak tunduk kepada kekuasaan makhluk selain Allah, baik itu Malaikat manusia ataupun batu.
c) Untuk mengajari mereka Syari’at hukum dan hikmah serta rahasianya. Sehingga mereka tidak menerima sesuatu pun dari padanya kecuali mereka mengetahui tujuan dan maksud yang karenanya hal itu dilakukan.
3. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya menulis tentang ayat di atas lebih kurang sebagai berikut: “Kesempurnaan manusia diperoleh dengan mengetahui kebenaran serta kebajikan dan mengamalkan kebenaran dan kebajikan itu. Dengan kata lain manusia memiliki potensi untuk mengetahui secara teoritis dan mengamalkan secara praktis. Allah SWT menurunkan kitab suci dan mengutus Nabi Muhammad Saw untuk mengantarkan manusia meraih kedua hal tersebut. Dari sini kalimat membacakan ayat-ayat Allahberarti Nabi Muhammad “menyampaikan apa yang beliau terima dari Allah untuk umat manusia”, sedang menyucikan merekamengandung makna ”penyempurnaan potensi teoritis dengan memperoleh pengetahuan Ilahiah”, dan mengajarkan al-Kitab merupakan isyarat tentang pengajaran “pengetahuan lahiriyah dari isyarat”. Adapun al-Hikmah adalah “pengetahuan tentang keindahan, rahasia, motif serta manfaat-manfaat syariat”. Demikian ar-Rozi yang dikenal dengan gelar al-Imam.
4. Pendapat di atas tidak sepenuhnya diterima oleh ulama-ulama lain. Syekh Muhammad Abduh memahami arti ayat-ayat Allah dengan ayat-ayat kauniyah yang menunjukkan kekuasaan, kebijaksanaan dan keesaan-Nya. Membacakan ayat-ayat tersebut dalam arti menjelaskanya dan mengarahkan jiwa manusia untuk meraih manfaat, pelajaran darinya, sama dengan firman-Nya dalam QS. Al-Imran ayat 190: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang terdapat ayat-ayat atau tanda-tanda bagi Ulul Albab (orang-orang yang berfikir)”. Sedang makna menyucikan mereka adalah “membersihkan jiwa mereka dari keyakinan-keyakinan yang sesat, kekotoran akhlak dan lain-lain yang merajalela pada masa Jahiliyah,” sedang mengajar al-Kitabdipahami oleh Muhammad Abduh sebagai “mengajar tulis-menulis dengan pena”, karena kata Abduh seperti dikutip oleh Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar “Sesungguhnya agama (Islam) yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ini telah mengharuskan mereka belajar tulisan dengan pena dan membebaskan mereka dari buta huruf, karena agama tersebut mendorong (bangkitnya) peradaban serta pengaturan urusan umat”. Adapun al-Hikmah, maka maknanya menurut Abduh adalah “rahasia persoalan-persoalan (agama), pengetahuan hukum, penjelasan tentang kemaslahatan serta cara pengamalan dst”.
5. Imam Syafi’i memahami arti al-Hikmahdengan “as-Sunnah”, karena tidak ada selain al-Qur’an yang diajarkan Nabi Muhammad Saw kecuali as-Sunnah.
6. Kata minhum/dari merekamengisyaratkan bahwa Rasul saw memiliki hubungan darah dengan seluruh suku-suku Arab. Menurut sejarawan, Ibn Ishaq, hanya suku Taghlib yang tidak memiliki hubungan darah dengan Rasul. Itu untuk menyucikan Rasul Saw dari ajaran agama Kristen yang menjadi anutan suku tersebut.
Surah asy-Syam (91); 8-10
1. Ibn Asyur memahami kata al-hamaha dalam arti anugerah Allah yang menjadikan seseorang memahami pengetahuan yang mendasar serta menjangkau hal-hal yang bersifat aksioma, bermula dengan keterdorongan naluriah kepada hal-hal yang bermanfaat, seperti keinginan bayi menyusu, dorongan untuk menghindari bahaya dan lain-lain hingga mencapai tahap awal dari kemampuan meraih pengetahuan yang bersifat akliah.
2. Thabathaba’i menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “menilhami jiwa” adalah penyampaian Allah kepada manusia tentang sifat perbuatan apakah dia termasuk ketakwaan atau kedurhakaan setelah memperjelas perbuatan dimaksud dari sisi substansinya sebagai perbuatan yang dapat menampung ketakwaan atau kedurhakaan. Memakan harta misalnya adalah suatu perbuatan yang dapat berbentuk memakan harta anak yatim atau memakan ahrta diri sendiri. Yang pertama dijelaskannya bahwa itu adalah kedurhakaan dan yang kedua yakni memakan harta diri sendiri yang halal maka itu adalah ketakwaan. Demikian Allah mengilhami manusia apa yang dilakukannya dari aneka perbuatan dan Dia pula yang mengilhaminya sehingga mampu membedakan mana yang termasuk kedurhakaan mana pula yang merupakan ketakwaan.
3. Sayid quthub jauh menulis tentang ayat di atas, bahwa manusia adalah makhluk dwi dimensi dalam tabi’atnya, potensinya, dan dalam kecenderungan arahnya. Ini karena cirri penciptaanya sebagai makhluk yang tercipta dari tanah dan hembusan rih Illahi, menjadikannya memiliki potensi yang sama dalam kebajikan dan keburukan, petunjuk dan kesesatan. Manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dia ammpu mengarahkan dirinya menuju kebaikan atau keburukan dalam kadar yang sama. Dengan demikian potensi-potensi tersebut terdapat dalam diri manusia. Kehadiran Rasul dan petunjuk-petunjuk serta faktor-faktor eksteren lainnya, hanya berfungsi membangkitkan potensi itu, mendoorng dan mengarahkannya di sini atau di sana, tetapi itu semua tidak menciptakannya karena ia telah tercipta sebelumnya, ia telah melekat sebagai tabiat dan masuk ke dalam melalui pengilhaman Ilahi. Demikian kurang lebihnya dari Sayid Quthub.
4. Ulama’ memahami surat as-Syams ayat 9-10 adalam arti “telah beruntunglah manusia yang disucikan jiwanya oleh Allah dan merugilah dia yang dibiarkan Allah berlarut dalam pengotoran jiwanya.” Namun makna yang penulis kemukakan sebelum ini lebih baik karena ia lebih mendorong seorang untuk berupaya melakukan penyucian jiwa dan peningkatan diri.
5. Al-Baqi menulis sambil mengaitkan penyucian dan pengotoran serta keberuntungan dan kerugian yang dibicarakan di atas dengan hal-hal yang digunakan Allah bersumpah bahwa” penyucian adalah upaya sungguh-sungguh manusia agar matahari kalbunya tidak mengalami gerhana, dan bulannya pun tidak mengalami hal serupa.” Ia harus berusaha siangnya tidak keruh dan tidak pula kegelapannya bersinambung.
D. Penyesuaian Pendapat Penulis Dengan Tema yang Menggunakan Referensi Hadits atau Para Ilmuan
Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture serta transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai Ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Quran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil).
Secara semantik, pendidikan menunjukkan pada suatu kegiatan atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Pengertian tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem, dan metoda yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran.
Dalam term pendidikan Islam, sering dijumpai kata dalam bahasa arab tarbiyah untuk menggantikan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia. Selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta’lim (pengajaran) dan ta’dib yang ada ada hubungannya dengan kata adab yang berarti sopan santun.
Ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun secara kontekstual. Oleh karena itu dibawah ini akan diuraikan secara singkat masing-masing term pendidikan tersebut.
1. at-Tarbiyah, Istilah at-Tarbiyah berasal dari kata Arab, yang berarti:
a. bertambah dan berkembang (ربا - يربو – تربية)
b. tumbuh dan berkembang (ربي - يربي - تربية )
c. memperbaiki, menguasai, memelihara, merawat, memperindah, mengatur, dan menjaga kelestariannya (ربّ - يُربّ - تربية)
Dari pengertian tersebut, dalam konteks yang luas pengertian pendidikan Islam terkandung dalam term al-Tarbiyah yang meliputi empat unsur, yaitu: pertama, unsur memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa. Kedua, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.Ketiga, mengarahken seluruh fitrah menuju kesempurnaan.Dan keempat, melaksanakan pendidikan secara lengkap.
Dalam al-Qur’an secara implisit memang tidak ditemukan penunjukan kata at-tarbiyah, namun kata tersebut dapat ditelusuri pada istilah lain yang seakar dengan kata at-tarbiyah, yaitu pada firman Allah:
11. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (٢٤(
Artinya:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Menurut fahr al-Razy, kata “Rabbayani” merupakan pendidikan dalam bentuk luas, term tersebut tidak hanya menunjukkan pada makna pendidikan yang bersifat ucapan (domain kognitif0, tapi juga meliputi pendidikan pada aspek tingkah laku (domain afektif).
Jadi istilah at-Tarbiyah memberikan pengertian mencakup semua aspek pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.Tidak hanya mencakup aspek jasmaniah tetapi juga mencakup aspek rohaniah secara harmonis.
2. al-Ta’lim
Kata yang kedua ini bersumber dari kata ‘allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian, atau penyampaian, pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
12. وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٣١)
Artinya:
“dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Bila dilihat dari batasan pengertian yang ditawarkan dari kata ta’lim (allama) pada ayat di atas, terlihat pengertian pendidikan yang terlalu sempit. Pengertiannya hanya sebatas proses pentranferan seperangkat ilmu pengetahuan atau nilai antara manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai ilmu atau nilai yang ditranfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada domain afektif.
3. al-Ta’dib
Secara bahasa, kata al-ta’dib merupakan masdar dari kata “addaba” yang berarti:
a.Ta’dib, berasal dari kata dasar “aduba – ya’dubu yang bererti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun.
b.Berasal dari kata “adaba – ya’dibu” yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan yang berbuat dan berperilaku sopan.
c. Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja “ta’dib” mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin da member tindakan.
Dalam hadist Nabi disebutkan:
13. أَدَّبَنِي رَبِّي فَأَحْسَنَ تَأدِيْبِي. (رواه العكسري عن علي(
Artinya:
“Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku” ( HR. al-Aksary dari Ali Ra)
Dari pengertian dan hadist tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata “ta’dib” mengandung pengertian usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sehingga anak didik terdorong dan tergerak jiwa dan jiwanya untuk berperilaku dan bersifat sopan santun yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Orientasi kata al-ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia. Dalam hadits disebutkan:
عن عا ئشة سُأِلَتْ عَنْ أَخْلاَقِ رَسُولِ الله صلعم قَالَتْ كَانَ خلُوقُه القُرْأن
Artinya:
“Aisyah Ra ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, maka dia menjawab akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an”
Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolute dan utuh, didalamnya mencakup perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan ummat manusia dan merupakan sumber pendidikan yang terlengkap.Ia merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam.
Oleh sebab itu Rasulullah SAW memberikan contoh dan suri tauladan berdasarkan al-Qur’an diantaranya melalui: pertama, ucapan (hadits quliyah) ,kedua, perbuatan (hadits fi’liyat), dan ketiga ketetapan (hadits taqririyah).
Dalam dataran pendidikan Islam, sunnah Nabi mempunyai dua fungsi yaitu:
1. Menjelaskan system pendidikan Islam yang tepat di dalamnya.
2. Menyimpulkan metode pendidikan dan kehidupan Rasulullah SAW bersama sahabat, perlakuanya kepada anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukan.
Kesemuanya tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara Nabi melakukan proses belajar mengaja, metode yang digunakan sehingga dengan cepat para sahabat mampu menyerap apa yang diajarkan, dan lain sebaginya yang kesemuanya terpancar dari satu figur uswah hasanah yang dibimbing langsung oleh Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendapat Berbagai Mufassir Terhadap Ayat :
Pada Surah Jum’at (62);2
1. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan an-Nasa’i dari Ibnu Umar dari Nabi Saw, beliau mengatakan “Kami adalah Ummy. Kami tidak menulis dan tidak menghitung”. Rosul ini termasuk mereka yaitu seperti mereka. Namun demikian, ia membacakan kepada mereka ayat-ayat al-Kitab untuk menjadikan mereka suci dari kotoran-kotoran akidah dan amal perbuatan, dan untuk mengajari mereka syari’at dan urusan-urusan intelektual yang menyempurnakan jiwa dan mendidiknya. Dan inilah yang di isyaratkan oleh Al-Bushairi dalam ucapannya: “cukuplah bagimu mukjizat dengan adanya ilmu bagi seorang ummiy dan pendidikan anak yatim di masa jahiliyah”
2. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya menulis tentang ayat di atas lebih kurang sebagai berikut: “Kesempurnaan manusia diperoleh dengan mengetahui kebenaran serta kebajikan dan mengamalkan kebenaran dan kebajikan itu. Dengan kata lain manusia memiliki potensi untuk mengetahui secara teoritis dan mengamalkan secara praktis.
Surah asy-Syam (91); 8-10
1. Ibn Asyur memahami kata al-hamaha dalam arti anugerah Allah yang menjadikan seseorang memahami pengetahuan yang mendasar serta menjangkau hal-hal yang bersifat aksioma, bermula dengan keterdorongan naluriah kepada hal-hal yang bermanfaat, seperti keinginan bayi menyusu, dorongan untuk menghindari bahaya dan lain-lain hingga mencapai tahap awal dari kemampuan meraih pengetahuan yang bersifat akliah.
2. Ulama’ memahami surat as-Syams ayat 9-10 adalam arti “telah beruntunglah manusia yang disucikan jiwanya oleh Allah dan merugilah dia yang dibiarkan Allah berlarut dalam pengotoran jiwanya.” Namun makna yang penulis kemukakan sebelum ini lebih baik karena ia lebih mendorong seorang untuk berupaya melakukan penyucian jiwa dan peningkatan diri.
3. Al-Baqi menulis sambil mengaitkan penyucian dan pengotoran serta keberuntungan dan kerugian yang dibicarakan di atas dengan hal-hal yang digunakan Allah bersumpah bahwa” penyucian adalah upaya sungguh-sungguh manusia agar matahari kalbunya tidak mengalami gerhana, dan bulannya pun tidak mengalami hal serupa.” Ia harus berusaha siangnya tidak keruh dan tidak pula kegelapannya bersinambung.
Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai Ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Quran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil). Pendidikan sering diterjemahkan dalam tiga istilah yaitu kata tarbiyah untuk menggantikan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia. Selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta’lim (pengajaran) dan ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yang berarti sopan santun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar