Jumat, 28 November 2014

TAFSIR


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Semua yang berilmu, betapapun dalam dan luas ilmunya, berakhir kepada Allah swt. Yang Maha Mengetahui. “Diatas tiap-tiap semua yang berpengetahuan ada Yang Maha Mengetahui”. Maka dari itu sebagai ciptaan-Nya apapun yang kita punya adalah semua apa yang Dia rencanakan. Sebagai makhluk-Nya jika ingin pengetahuan kita bertambah dan bermanfaat alangkah baiknya kita memohon kepada-Nya agar di tambah ilmu “رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا” serta di beri kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
 “رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار”

B.    Rumusan Masalah
1.    Menjelaskan ma’ani al-mufradat
2.    Menerjemahkan secara utuh
3.    Menjelaskan asbab al-nuzul (jika ada)
4.    Menyampaikan/menjelaskan ayat dari berbagai pendapat berbagai mufassir.
5.    Menyampaikan pendapat penulis disesuaikan dengan tema (tujuan pendidikan) dengan menggunakan ayat lainnya, hadis atau pendapat para ilmuwan













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peningkatan Sumber Daya Manusia : Surat Yusuf (12) : 76

فَبَدَأَ بِأَوْعِيَتِهِمْ قَبْلَ وِعَاءِ أَخِيهِ ثُمَّ اسْتَخْرَجَهَا مِنْ وِعَاءِ أَخِيهِ ۚ كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ ۖ مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ ۗ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ

Arti mufrodat:
فَبَدَأَ    Maka mulailah
وِعَاءِ    karung
كِدْنَا    mencapai maksud
دِينِ الْمَلِكِ    undang-undang Raja

Artinya:
“Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikian kami atur untuk (mencapai maksud) yusuf. Tiadalah patut yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki: dan diatas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu adalah Yang Maha Mengetahui.”

Munasabah
Surat Yusuf ayat 77;
قَالُوا إِنْ يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ ۚ فَأَسَرَّهَا يُوسُفُ فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْ ۚ قَالَ أَنْتُمْ شَرٌّ مَكَانًا ۖ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَصِفُونَ

Penjelasan surat Yusuf (12): 76, menurut para mufassir:

Para pengejar sepakat dengan ketentuan balasan yang disampaikan oleh saudara-saudara nabi Yusuf as. itu. Maka langsung saja penyeru atau pemimpin para pengejar itu melakukan pemeriksaan. Dia memulai dengan karung-karung mereka, yakni saudara-saudara tiri Yusuf sebelum memeriksa karung saudara kandungnya, kemudian setelah memeriksa secara sungguh-sungguh yang memakan waktu relative lama- sebagaimana dipahami dari kata “kemudian”- dia mengeluarkannya, yakni menemukan dan mengeluarkan piala raja itu dari karung saudara kandungnya Yusuf. Demikianlah cara yang sungguh jauh dari dugaan siapapun, Kami, yakni Allah swt. mengatur segala sesuatu untuk mencapai maksud Yusuf bergabung dengan saudara kandungnya, antara lain dengan mengilhamkan kepadanya penyimpanan piala di karung Benyamin sampai dengan usul mereka menyerahkan siapa yang ditemukan padanya piala itu. Tiadalah dapat dia menghukum saudara kandungnya menurut hukum Raja penguasa diwilayah mesir itu, kecuali atas kehendak Allah yang dalam hal ini telah mengatur cara yang justru atas usul saudara-saudara Yusuf as. sendiri. Ini demikian, karena hukum yang berlaku di Mesir adalah menyiksa pencuri dan mewajibkannya mengganti dengan berganda nilai apa yang dicurinya. Demikianlah Kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki antara lain Yusuf as. yang Kami tinggikan dengan ilmu pengetahuan. Dan harus didasari oleh semua orang bahwa di atas setiap makhluk yang berpengalaman ada Yang Maha Mengetahui yaitu Allah swt. yang tidak dari-Nya sesuatu serta sumber yang menganugerahkan  pengetahuan kepada siapapun.
Firman-Nya: (وفوق كل ذي علم عليم) di atas setiap yang berpengetahuan ada Yang Maha Mengetahui menunjukkan bahwa ilmu adalah samudera yang tidak bertepi. Setiap yang berpengetahuan, pasti ada yang melebihinya. Anda jangan berkata bahwa jika demikian ada yang melebihi ilmu Allah swt. karena yang dimaksud disini adalah ilmu makhluk, yakni ilmu yang tidak berdiri sendiri. Bukan ilmu Allah yang berdiri pada Dzat-Nya. Bukankah kata (ذي) pemilik berbeda dan tidak menyatu dengan ilmu dan dengan ilmu yang dimilikinya tidak menyatu dengan dirinya, tetapi sesuatu yang baru berbeda dengan ilmu Allah yang bersifat Qadim.
Ada juga yang memahami kata (عليم) bukan menunjukkan Allah swt. tetapi makhluk, dalam arti bahwa setiap yang memiliki pengetahuan pasti ada yang lebih mengetahui darinya. Demikian seterusnya. Semua yang berilmu, betapapun dalam dan luas ilmunya, berakhir kepada Allah swt. Yang Maha Mengetahui.

B.    Peningkatan Ilmu Pengetahuan : Surat Thahah (20) : 114

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ ۖ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Arti mufrodat:
فَتَعَالىَ اللهُ    Maha Suci Allah
الْمَلِكُ    Raja
الحَقُّ    Yang tetap dalam Zat dan sifat-Nya
وَلَا تَعْجَلْ    dan janganlah kamu tergesa-gesa
يُقْضٰى اِلَيْكَ وَحْيُه    Jibril selesai menyampaikannya kepadamu

Artinya:
“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. 

Asbabun nuzul
Apabila jibril datang menurunkan wahyu, Rasulullah SAW bersusah payah berusaha menghafalnya. Bahkan beliau sering menyusahkan dirinya manakala jibril telah kembali sementara wahyu yang diturunkan belum dihafalnya. Rasulullah SAW sangat takut sekali. Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT menurunkan ayat ke-114 sebagai teguran agar beliau tidak terburu-buru sebelum wahyu selai diturunkan.
(HR. Ibnu Abi Hatim dari Suddi)

Munasabah
Surat An-Nisa’ : 82
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ
Artinya:
“Maka tidaklah mereka memperhatikan al-qur’an?....”

Penjelasan surat Thahah (20) : 114, menurut para mufassir:
Setelah menguraikan kebesaran Allah yang menurunkan al-Qur’an, sebagaimana dilukiskan oleh ayat-ayat yang lalu, ayat ini menampik segala kekurangan dan prasangka buruk terhadap Allah swt. dengan menyatakan, bahwa jika demikian itu sebagian yang dilakukan Allah swt. maka Maha Tinggi Allah, ketinggian yang tidak terjangkau oleh nalar dan tidak dapat dilukiskan oleh kata-kata. Dialah Maharaja Yang Haq dan sebenar-benarnya “yang tidak dapat disentuh kerajaan-Nya”.
Selanjutnya kehebatan tuntunan al-Qur’an dan perintah Allah untuk selalu mengikutinya boleh jadi menjadikan beliau tergesa-gesa dan ingin memperolehnya sebanyak mungkin, maka Allah melanjutkan dengan menyatakan: Dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca Alqur’an sebelum disempurnakan untukmu pewahyuannya oleh malaikat Jibril yang membawanya turun. Namun demikian engkau sangat wajar jika selalu mengharap lagi berusaha untuk memperoleh pengetahuan, karena itu Allah memerintahkan beliau berusaha dan berdoa dengan firman-Nya: Dan katakanlah: Tuhan Pemelihara dan Pembimbing–ku, tambahkanlah kepada ku ilmu baik melalui wahyu-wahyu-Mu yang disampaikan oleh malaikat maupun melalui apa yang terbentang dari ciptaan-Mu di alam raya.”
Penempatan firman-Nya: (فَتَعَالىَ اللهُ الملِكُ الْحَقُّ)  maka Maha Tinggi Allah, Maharaja Yang Haq Antara uraian tentang alqur’an yang diturunkan dengan bahasa bahasa Arab (ayat 113) dengan larangan tergesa-gesa membacanya (penggalan terakhir ayat 114), mengisyaratkan bahwa kandungannya adalah sesuatu yang sangat luhur dan tinggi serta haq lagi sempurna, serta harus diagungkan dengan mengikuti tuntunannya karena al-Qur’an bersumber dari Yang Maha Tinggi, dan dari Maharaja yang tunduk kepada-Nya semua makhluk.
Firman-Nya: (مِنْ قَبْلِ اَنْ يُقْضٰى اِلَيْكَ وَحْيُه) sebelum disempurnakan untukmu pewahyuannya, dapat dipahami dalam arti sebelum malaikat selesai membacakannya kepadamu. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah tergesa-gesa membaca ayat-ayat al-Qur’an sebelum Jibril as. menyelasaikan bacaannya. Sahabat Nabi saw. Ibn ‘Abbas, menguraikan bahwa Nabi saw. menguraikan bahwa Nabi saw. sering kali mendahului Jibrilas., sehingga beliau membacaal-Qur’an sebelum Jibril as. membacanya, guna mengukuhkan hafalan beliau karena beliau khawatir lupa (HR. Bukhari). Misalnya satu ayat yang akhirnya kata rahiman, baru saja Jibril as. membaca rahi langsung Nabi saw. menyempurnakannya dengan menambahkan kata ma, sehinggan mendahului Jibril as. dalam penyebutan kata rahiman. Di tempat lain secara tegas dinyatakan:
    لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (١٦) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (١٧) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (١٨) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (١٩)
 “Jangan engkau menggerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (mengusai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya”(QS. Al-Qiyamah (75): 16-19).
Dapat juga ayat 114 ini merupakan tuntunan kepada nabi Muhammad saw. untuk tidak membacakan, yakni menjelaskan makna pesan-pesan al-Qur’an kepada sahabat-sahabat beliau setelah merenungkannya sungguh-sungguh maupun sebelum datangnya malaikat Jibril as. mengajarkan beliau tentang maknanya. Pendapat ini sangat sejalan dengan lanjutan ayat tersebut yang memerintahkan beliau berdoa agar ditambah ilmunya. Jika makna ini diterima, maka hal tersebut menjadi peringatan buat semua orang yang melibatkan diri dalam penafsiran al-Qur’an agar behati-berhati dalam menafsirkannya. Sahabat-sahabat Nabi saw. dan generasi sesudah mereka sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an. Sayyidina Abu Bakar ra. Ketika ditanya tentang makna kata abban pada QS. ‘Abasa (80): 31 menjawab: “ langit apa yang menaungi aku, bumi apa yang menjadi pijakanku, jika aku mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an apa yang tidak aku ketahui.” Sikap sahaba sahabat Nabi saw. yang lain dan banyak tabi’in serupa dengan itu, sehingga jawaban yang paling banyak terdengar dari mereka adalah: “Allah A’lam” (Allah Maha Mengetahui).
C.    Tercapainya Kebahagiaan di Dunia dan Akhirat: Surat Al-Baqarah (2) : 201-202

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار (201)
أُولَٰئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا ۚ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَاب(202)

Arti mufrodat:
مِمَّا كَسَبُوا    bagian dari apa yang mereka usakan
سَرِيعُ الْحِسَاب    sangat cepat perhitungan-Nya

Artinya:
“Dan diantara mereka ada orang yang mendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia maupun dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. (201) Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (202)

Asbabun nuzul:
Orang-orang di zaman itu apabila melakukan ibadah haji kemudian berdiri di sisi tempat melempar jumrah dengan menyebut-nyebut jasa kebaikan nenek moyang mereka pada zaman jahiliah. Peristiwa ini melatar belakangi turunnya ayat ke-200 yang pada pokoknya memberi petunjuk kepada mereka tentang apa yang harus dilakukan di tempat melempar jumrah tersebut, yaitu berdzikir lebih banyak lagi kepada Allag SWT.
(HR. Ibnu Jarir dari Mujahid)
Pada saat itu salah satu dari suku bangsa Arab apabila sampai ke tempat wukuf mereka berdoa: “Ya Allah, semoga Engkau menjadikan tahun ini tahun yang banyak turun hujan, tahun kemakmuran yang membawa kebaikan dan kemajuan”. Mereka sama sekali tidak pernah menyebut-nyebut kehidupan akhirat. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-200 sebagai petunjuk bagi mereka tentang bagaimana dan ucapan apakah yang harus diucapkan dalam memanjatkan doa kepada Allah SWT. Sesudah turunnya ayat ini kaum muslimin memanjatkan doa dengan apa yang telah diajarkan oleh al-quran sebagaimana yang tersebut pada ayat ke-201, yang kemudian ditegaskan lagi oleh Allah SWT dengan turunnya ayat ke-202. Mulai saat itulah orang-orang muslim memanjatkan doa dengan memohon kebaikan di dunia dan di akhirat, tidak hanya kebaikan di dunia dengan melupakan akhirat.
(HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas).

Munasabah
Surat al-baqarah ayat 204-205
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللَّهَ عَلَىٰ مَا فِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ (204)
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ(205)
Artinya:
“Dan diantara manusia ada orang yang mengucapkan tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang apling keras. (204) Dan apabila berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan allah tidak menyukai kebinasaan. (205) “

Penjelasan surat al-Baqarah (2) : 201-202, menurut para mufassir:
Ayat 201
Dan diantara mereka yakni manusia yang telah melaksanakan haji atau semua manusia yang sudah, belum, atau tidak melaksanakan haji ada juga yang menjadikan ibadah haji atau seluruh aktifitasnya mengarah kepada Allah dan selalu mengingat-Nya, sehingga ia berdoa, “Tuhan kami! Demi kasih sayang dan bimbingan-Mu, anugerahilah kami hasanah di dunia dan hasanah di akhirat.”
Anda baca, yang mereka mohonkan bukan segala kesenangan dunia tetapi yang sifatnya hasanah, yaitu baik, bahkan bukan hanya di dunia tetapi juga memohon hasanah di akhirat. Dan karena perolehan hasanah belum termasuk keterhindaran dari keburukan, atau karena bisa jadi hasanah itu diperoleh setelah mengalami siksa, maka mereka menambahkan permohonan mereka dengan berkata, “dan pelihara pulalah kami dari siksa neraka.
Bermacam-macam penafsiran ulama tentang makna hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Adalah bijaksana memahaminya secara umum, bukan hanya dalam arti iman yang kukuh, kesehatan afiat dan rezeki yang memuaskan, pasangan ideal, dan anak-anak yang saleh; tetapi segala yang menyenangkan di hari yang menyenangkan di dunia dan berakibat menyenangkan di hari kemudian. Serta bukan pula hanya keterbebasan dari rasa takut di akhirat, hisab (perhitungan) yang mudah, masuk ke surga dan mendapat ridha-Nya, tetapi lebih dari itu, karena anugrah Allah tidak terbatas.
Ayat 202
Mereka itulah, yakni yang berdoa sambil berusaha meraih apa yang didoakannya, orang-orang yang mendapat nashib dari apa yang mereka telah usahakan, baik niat, ucapan, perbuatan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya, namun tidak keliru tidak mengurangi kebaikan dan tidak pula melebihkan kesalahan, serta selalu adil dan bijaksana.
Kata (نَصِيبٌ) nashib terambil dari kata (نصب) nashaba yang pada mulanya berate menegakkan sesuatu sehingga nyata dan tampak. Nashib atau nasib adalah bagian tertentu yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata dan lebih jelas dan tidak dapat dielakkan.
Apa yang mereka peroleh itu adalah berkat apa yang telah melaksanakan ibadah haji, maka apa yang telah mereka usahakan adalah amal-amal baik yang mereka kerjakan selama musim haji, yang telah dirinci pada ayat-ayat yang lalu, dimulai dengan menyempurnakan haji, tidak melakukan rafats, fusuq dan jidal, wukuf di Arafah dan banyak berdzikir, walau ibadah haji telah rampung. Tentu saja itu semua dilakukan dengan penghayatan makna yang meresap ke dalam kalbu serta tercermin dalm sikap dan tingkah laku. Itulah haji yang mabrur, haji yang doa pelakunya diterima Allah. Makna ayat ini bertemu dengan hadist popular yang menyatakan: Haji yang mabrur tidak ada ganjarannya kecuali surga.
Jika anda memilih pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “mereka” adalah siapapun, maka yang dimaksud “apa yang telah mereka usahakan,” adalah usaha-usaha baik yang mereka lakukan dalam rangkah meraih apa yang mereka mohonkan itu, yakni memperoleh itu bukan sekedar ketulusan berdoa dengan lidah tetapi juga disertai dengan kesungguhan bekerja serta kesucian akidah.
Doa memang harus disertai dengan usaha. Pertolongan Allah baru datang setelah usaha maksimal diupayakan. Ikatlah terlebih dahulu untamu, baru berserah diri kepada Allah.
Doa yang diajarkan ini adalah doa yang paling banyak dibaca oleh Rasullulah saw. baik ketika berhaji maupun tidak. Segala macam kebijakan ditampung oleh redaksi doa itu, Allah akan membalas setiap orang sesuai dengan amalannya. Jangan ragukan itu, jangan juga merasabahwa balasan atau ganjaran itu masih lama. Tidak! Allah Maha cepat perhitungan-Nya.
Bagi makhluk, kecepatan adalah penggunaan waktu lebih singkat dari waktu yang semestinya, atau diduga sebelumnya. Betapa tidak cepat perhitungan Allah,sedang Dia tidak memerlukan waktu untuk menyelesaikan sesuatu, “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah ia.” (QS. Yasin (36):82). Allah tidak perlu menanti selesainya satu pekerjaan untuk mengerjakan pekerjaan yang lain, karena Dia tidak terhalangi oleh apapun.

D.    Pendapat Pemakalah Tentang Tujuan Pendidikan

Bakker (1965:29) menegaskan kenyataan ini dengan menegaskan: “Manusia di dunia ini, dikelilingi fenomena alam yang tidak terbilang, yang masing-masing muncul dengan membawa maksud dan pesan”. Jika kenyataan menunjukkan bahwa segala sesuatu yang mengelilingi manusia mempunyai tujuan, maka artinya eksistensi manusia tidak dapat lepas dari tujuan-tujuan. Al-Quran menjelaskan, segala perbuatan manusia harus diabdikan kepada Allah. Ayat 162 surat al-An’am menyatakan:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Q.S. al-An’am : 162 )
Ibadah yang hanya terhadap Allah, tidak dapat dibatasi hanya pada waktu-waktu tertentu atau pada perilaku-perilaku tertentu. Seluruh hidup manusia haruslah diabdikan kepada Allah, Yang Maha Pencipta, sebelum maupun sesudah masa sekolah. Memang sangat mungkin bagi seseorang karena satu atau beberapa sebab, pada suatu masa tertentu, tidak menyadari tujuan keberadaan dirinya, namun hal semacam ini tidak mampu menggoyahkan prinsip utama kita. Seoarang pelajar usia enam tahun dapat saja tidak tahu mengapa dirinya diajari membaca, namun gurunya pasti tahu mengapa. Dengan demikian tidak menyadari suatu tujuan, tidak dapat disamakan dengan tidak mempunyai tujuan. Ketidaksadaran manusia terhadpa tujun eksistensinya adalah suatu hal yang sangat mungkin, dan secara empiris terjadi. Namun ketiadaan tujuan eksistensi atau ketiadaan tujuan hidup manusia adalah sesuatu yang mustahil.
Kurikulum sekolah selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang telah dirumuskan dengan baik, aktivitas dan isinya didesain sedemikian rupa sehingga siswa menjadi mungkin untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan. Hal seperti itu dianut setiap ahli pendidikan, dari penganut ideologi apa pun. Taba menjelaskan, kurikulum sekolah memiliki tujuan-tujuan umum dan tujuan-tujuan khusus (Zamakhsyari, 1974, II:84, Qurtubi 1935-1950, VII: 152). Smith, Stanley, dan Shores menuturkan, tujuan kurikulum sekolah adalah mendisiplinkan anak-anak (Fundamentals of Curuculum Development, tt :3). Sementara itu, Hirst dan Peters berpendapat bahwa ketiadaan tujuan atau sasaran yang jelas pada kurikulum sekolah menjadikan pembicaraan tentang kurikulum sebagai sebuah “omong kosong belaka” (Hirst, 1973:60). Para ahli pendidikan ternyata (setelah diteliti) memakai istilah-istilah yang berbeda -seperti aim, goal, objective- untuk menggambarkan dan merumuskan hasil-hasil pendidikan. Para tokoh ahli pendidikan Muslim menggunakan istilah bahasa Arab dalam menberi nama berbagai tujuan itu. Penelitian terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam konteks ini membantu kita mendapat kejelasan apa yang dimaksud dengan “hasil-hasil pendidikan” yang mendasari kurikulum, dan bakal memperlihatkan apakah para ahli pendidikan mempergunakan istilah-istilah yang berbeda untuk satu hal yang sama, atau dengan perbedaan istilah tersebut mereka membicarakan konsep-konsep yang berbeda.
    Istilah-istilah bahasa Inggris yang dipergunakan para ahli pendidikan untuk mendeskripsikan hasil-hasil pendidikan adalah aim, goal,objective dan purpose. Menurut kamus The Oxford English Dictionary, aim adalah aksi yang menjadikan orang melakukan cara kepada sebuah titik (Jilid I, hal. 196). Menurut Hirst (1973 : 26) dan Peters, aim aslinya adalah “menembak suatu target tertentu yang terletak dalam suatu jarak tertentu. Ini artinya, untuk mencapai target tertentu harus dilakukan upaya tertentu. Memiliki sesuatu yang kepadanya dilakukan sebuah usaha adalah karakteristik utama goal. (Wolman, 1973 : 161). Dari sini kita dapat mengatakan bahwa aim dan goal adalah sinonim.
    Para ahli leksikograpi berpendapat bahwa objective mempunyai makna yang sama dengan aim dan goal. Namun sebagian ahli pendidikan membedakan aim dari objective. Bagi mereka, aim penggunaannya mengacu kepada hasil-hasil pendidikan secara umum, dan objective lebih khusus dari itu. Hasil-hasil pendidika, menurut pendapat ini, tidak bisa disebut objective, kecuali jika dinyatakan dengan jelas dan dalam bentuk yang dapat dilihat. Dengan demikian menurt sebagian ahli pendidikan, aim dan objective adalah dua tingkat ( level) hasil-hasil pendidikan, yang pertama umum dan yang kedua khusus.
     Tentang istilah purpose, kamus The Oxford English Dictionary mendefinisikan: “sesuatu dalam diri seseorang yang harus dilakukan atau dicapai” (Jilid 8, hal. 1627). Di sini seseorang tidak dapat melupakan konsep ‘hasil yang diinginkan’ yang terletak dalam jarak tertentu dari dirinya, yang membuat purpose sama dengan aim dan goal. Goal, aim dan purpose mengimplikasikan masa depan, sebab ketiganya berada dalam jarak tertentu dari kita dan mereka tidak dapat dicapai tanpa diupayakan. Bahwa pengaruh masa depan dan atas masa kini merupakan apa yang memberi karakteristik purpose adalah tidak dapat dipertahankan. Tetapi apa yang muncul dari definisi tentang purpose, adalah peran seseorang dalam menyusun maksud tujuannya yang menunjukkan bahwa tujuan tidak dapat dipaksakan atas individu. Jika kesimpulan seperti ini diterima maka perbedaan antara aim dan purpose muncul hanya ketika aim ditentukan bagi individu tanpa memberikan pertimbangan kepada motif yang ada dalam dirinya. Namun jika para pemikir pendidikan yang terlihat dalam perencanaan kurikulum memberikan perhatian kepada motif ini, maka perbedaan antara keduanya tidak ada. Dalam keadaan seperti ini, purpose adalah sinonim dengan aim dan goal.
    Tujuan umum pendidikan adalah tujuan yang berada jauh dari masa sekarang, sebuah hasil yang pencapaian atasnya tidak dapat terlaksana melalui sekali kerja. Ia merupakan tujuan akhir. Para ahli pendidikan cenderung membagi tujuan ini ke dalam beberapa tujuan yang lebih spesifik, yang secara individual dapat dicapai dalam urutan waktu tertentu yang pasti. Adapun tujuan-tujuan spesifik ini, yang dapat dicapai dalam tahapan-tahapan tertentu, haruslah dipandang dan dinilai dari kelayakan tujuan umum yang merupakan tujuan akhir pendidikan. Sebagian ini diantaranya adalah, pendidikan adalah untuk hidup, pendidikan adalah untuk mengisi waktu luang, pendidikan adalah untuk mencapai efisiensi sosial, pendidikan adalah untuk mencapai kehidupan demokrasi, dan sebagainya. Dalam pandangan islam, pendidikan berarti upaya membangun individu yang memiliki kualitas dan peran sebagai khalifah, atau setidaknya menjadikan individu berada pada jalan yang bakal mengantarkan kepada tujuan tersebut.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Semua yang berilmu, betapapun dalam dan luas ilmunya, berakhir kepada Allah swt. Yang Maha Mengetahui.
Penempatan firman-Nya: (فَتَعَالىَ اللهُ الملِكُ الْحَقُّ)  maka Maha Tinggi Allah, Maharaja Yang Haq Antara uraian tentang alqur’an yang diturunkan dengan bahasa bahasa Arab (ayat 113) dengan larangan tergesa-gesa membacanya (penggalan terakhir ayat 114), mengisyaratkan bahwa kandungannya adalah sesuatu yang sangat luhur dan tinggi serta haq lagi sempurna, serta harus diagungkan dengan mengikuti tuntunannya karena al-Qur’an bersumber dari Yang Maha Tinggi, dan dari Maharaja yang tunduk kepada-Nya semua makhluk.
Bermacam-macam penafsiran ulama tentang makna hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Adalah bijaksana memahaminya secara umum, bukan hanya dalam arti iman yang kukuh, kesehatan afiat dan rezeki yang memuaskan, pasangan ideal, dan anak-anak yang saleh; tetapi segala yang menyenangkan di hari yang menyenangkan di dunia dan berakibat menyenangkan di hari kemudian.
Doa memang harus disertai dengan usaha. Pertolongan Allah baru datang setelah usaha maksimal diupayakan. Ikatlah terlebih dahulu untamu, baru berserah diri kepada Allah.
pendidikan adalah untuk hidup, pendidikan adalah untuk mengisi waktu luang, pendidikan adalah untuk mencapai efisiensi sosial, pendidikan adalah untuk mencapai kehidupan demokrasi, dan sebagainya. Dalam pandangan islam, pendidikan berarti upaya membangun individu yang memiliki kualitas dan peran sebagai khalifah, atau setidaknya menjadikan individu berada pada jalan yang bakal mengantarkan kepada tujuan tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar