Jumat, 28 November 2014

SIFAT DAN KEDUDUKAN ILMUWAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
     Di dalam agama islam, ilmu merupakan suatu hal yang penting dan wajib dimilki bagi bagi seluruh umat. Dengan ilmu, maka kita akan dapat keluar dari masa kejahilian (kebodohan) dan hidup kita kan selalu terarah dan terhindar dari kesesatan. Begitu pentingnya dalam mencari ilmu sehingga Allah telah berjanji dan memberikan keistemewaan kepada para ilmuwan untuk dinaikkan derajatnya menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Keutamaan ilmu daripada harta, karena orang yang mempunyai ilmu mengetahui kemanfaatan harta dan orang yang tidak berilmu tidak mengetahui kemanfaatan ilmu. Ilmu itu adalah yang bersumber dari al-Kitab, yakni kitab suci yang diturunkan Allah kepada nabinya.
Ilmu ada yang menjadi hiasan lidah, maka ia akan menjadi bencana bagi pemiliknya, dan ada pula yang diamalkan, maka itulah yang menjadi cahaya penerang bagi perjalanan panjang menuju kebahagiaan.

B.    Rumusan Masalah

1.    Menjelaskan tentang ma’ani al-mufrodat?
2.    Menterjemahkan secara utuh dengan mengetahui kontek asbabun nuzul,mui nasabah ayat atau surat ?
3.    Menjelaskan berbagai musafir?
4.    Menyampaikan pendapat penulis sesuai dengan tema sesuai hadis atau pendapat ulama?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    SURAH AL-FATHIR AYAT 27-28

أَلَمْ تَرَ أَنَّ الَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا ۚوَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ

Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit lalu dengan air itu kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. (Qs.al-fathir ayat 27) 

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗإِنَّمَا يَخْشَى الَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗإِنَّ الَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.(Qs.al-fathir ayat 28)

Tafsir Ayat 27
Artinya: “Tidaklah engkau melihat Allah menurunkan dari langit air lalu kami mengeluarkan dengannya buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan diantara gunung-gunung ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang pekat hitam.”
    Ayat ini melanjutkan uraian tentang bukti-bukti kuasa Allah swt. Ia mengajak setiap orang dengan menggunakan gaya pertanyaan – untuk berpikir dan memperhatikan. Allah berfirman: Wahai siapapun yang mampu melihat dan berpikir! Tidaklah engkau melihat bahwa Allah menurunkan dari langit air hujan lalu kami dengan kuasa kami dan melalui hukum-hukum Allah yang kami tetapkan mengeluarkan yakni menghasilkan dan memunculkan dengannya yakni dengan hujan itu berbagai jenis buah-buahan yang beraneka macam warna, bentuk, rasa dan aroma-nya. Seandainya yang melakukan itu adalah nature/ alam tentu hal-hal tersebut tidak akan beragam dan bermacam-macam. Dan perbedaan serta keragaman serupa terjadi juga pada yang lebih kukuh dari buah-buahan. Engkau dapat melihat di antara gunung-gunung ada yang memiliki jalur dan garis-garis yang terlihat berwarna putih dan ada juga yang merah yang kejelasan warna dan keburamannnya beraneka macam warnanya dan ada pula di samping yang merah dan putih itu yang pekat hitam.
    Ayat di atas beralih dari redaksi yang berbentuk persona ketiga dengan kalimat “Allah menurunkan dari langit air” kepada persona pertama dengan menyatakan: “lalu kami mengeluarkan dengannya”. Pengalihan bentuk itu bertujuan menggaris bawahi betapa ciptaan dan pengaturan Allah menyangkut keanekaragaman tumbuhan sedemikian mempesona dan menjadi bukti betapa luas kekuasaan-Nya.

Tafsir mufrodat    
Kata (جدد) judad adalah bentuk jamak dari kata (ةجدّ) juddah yakni jalan. Kata (بيضٌ) bidh adalah bentuk jamak dari kata (أبيض) abyadh, kata سود)) sud adalah bentuk jamak dari kata)  (أسودaswad/hitam, dan kata (حمر) humur adalah bentuk jamak dari kata (أحمر) ahmar. Adapun kata (غرابيب) gharabib adalah bentuk jamak dari kata (غربيب) ghirbib yaitu yang pekat (sangat) hitam. Sebenarnya istilah yang lumrah dipakai adalah (سود غرابيب) sud gharabib/hitam pekat, tetapi redaksi ayat ini membaliknya untuk menggambarkan kerasnya kepekaan itu.
Menurut tim penyusun tafsir al-muntakhab, kemukjizatan ayat ini dari segi ilmu pengetahuan bukan saja tampak ketika ia menyebutkan bahwa warna gunung yang bermacam-macam itu disebabkan adanya perbedaan materi-materi yang dikandung oleh bebatuan gunung-gunung itu. Jika materinya besi, maka warna dominannya adalah merah: jika materinya batu bara, maka warna dominannya hitam: jika materinya perunggu, maka gunung tersebut berwarna kehijau-hijauan: dan seterusnya. Tidak hanya sampai disitu, kemukjizatan ayat ini sebenarnya sangat menonjol ketika ia mengaitkan adanya berbagai jenis buah-buahan meskipun pepohonannya disiram dengan air yang sama, dengan penciptaan gunung-gunung yang beraneka warna merah, putih, atau hitam meskipun juga berasal dari satu materi yang sama didalam perut bumi. Materi ini, oleh para geolog, dinamakan magma yang muncul di berbagai kawasan bumi. Akan tetapi, karena kemunculan magma itu dari kedalam yang berbeda, maka kandungannya menjadi berbeda pula. Magma yang berproses dari kedalaman yang berbeda, pada akhirnya, mengkristal membentuk gundukan-gundukan atau gunung-gunung yang beraneka ragam warna dan materinya. Demikianlah sebenarnya kesatuan hukum allah. Meskipun bentuknya beraneka ragam tetapi berasal dari materi yang satu. Semua itu adalah untuk kemudahan dan kemanfaatan umat manusia.
Pada ayat ini Allah SWT menguraikan beberapa beberapa hal yang menunjukan kesempurnaan dan kekuasan Nya yang oleh kaum musyrikin dapat dilihat setiap waktu yang kalau mereka menyadari dan menginsafi semuanya itu tentunya mereka akan menyadari pula ke esaan dan kekuasaan allah yang maha sempurna itu, Allah menjadikan sesuatu yang beraneka ragam macamnya yang bersumber dari yang satu. Allah menurunkan hujan dari langit, karenanya tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang mengeluarkan buah-buahan yang beraneka ragam warna, rasa, dan baunya, sebagaimana yang kita saksikan. Buah-buahan itu ada yang warnanya kuning, ada yang merah, ada yang hijau dan sebagainya. Hal yang sama dijelaskan pula didalam (Qs.Ar-Ra’ad: 4).
Artinya:
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran allah) bagi kaum yang berfikir.  94)
Kecuali itu Allah juga menciptakan gunung-gunung yang kelihatan seperti garis-garis yang ada yang kelihatan putih, ada yang merah dan ada yang hitam pekat, sebagaimana yang dapat kita saksikan. Di antara gunung-gunung itu terbentang pula jalan-jalan yang beraneka ragam pula warnanya.
AYAT 28
“Dan diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, bermacam-macam warnanya seperti itu (pula). Sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba-hambanya, hanyalah ulama. Sesungguhnya allah maha perkasa lagi maha pengampun.”
    Setelah memaparkan bahwa berbagai jenis buah-buahan dan perbedaan warna pegunungan itu berasal dari suatu unsur yang sama yakni buah-buahan berasal dari air dan gunung-gunugan berasal dari magma, ayat  ini pun menyitir bentuk dan warna makhluk hidup. Ayat diatas menyatakan: dan diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak yakni unta, sapi dan domba bermacam-macam bentuk, ukuran, jenis, dan warnanya seperti itu pula yakni seperti keragaman tumbuhan dan gunung. Sebagaian dari penyebab perbedaan itu dapat di tangkap maknanya oleh ilmuan dan karena itu sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba-hambanya, hanyalah ulama sesungguhnya allah maha perkasa lagi maha pengampun.
    Firmannya: (كذالك) khadzalika dipahami oleh banyak ulama dalam arti seperti keragaman itu juga terjadi pada makhluk-makhluk hidup itu. Ada juga ulama yang memahaminya dalam arti “seperti itulah perbedaan-perbedaan itulah yang Nampak dalam kenyataan yang dialami makhluk”. Ini kemudian mengantar pada pernyataan berikutnya yang maknanya adalah “ yang takut kepada allah dari manusia yang berbeda-beda warnanya itu hanyalah para ulama/cendekiawan”.
Ayat ini menggarisbawahi juga kesatuan sumber materi namun mengahasilkan aneka perbedaan. Sperma yang menjadi bahan penciptaan dan cikal bakal kejadian manusia dan binatang, pada hakikatnya Nampak tidak berbeda dalam kenyataannya satu dengan yang lain. Bahkan sekirannya kita menggunakan alat pembesar sekalipun, sperma-sperma tersebut tampak tidak berbeda. Disinilah letak salah satu rahasia dan misteri gen dan plasma. Ayat ini pun mengisyaratkan bahwa factor genetislah yang menjadikan tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia tetap memiliki ciri khasnya dan tidak berubah hanya disebabkan oleh habitat dan makanannya. Maka sungguh benar jika ayat ini menyatakan bahwa para ilmuwan yang mengetahui rahasia-rahasia penciptaan sebagai sekelompok manusia yang paling takut kepada Allah.



Tafsir mufrodat
Kata ) (علماء‘ulama’ adalah bentuk jamak dari kata (عالم) ‘alim yang terambil dari akar kata yang berarti mengetahui secara jelas, karena itu semua kata yang terbentuk oleh huruf-huruf ‘ain, lam, dan mim, selalu menunjuk kepada kejelasan, seperti (علم) ‘alam/bendera, (عالم) ‘alam/alam raya atau makhluk yang memiliki rasa dan atau kecerdasan. (علامة) ‘alamah/alamat. Banyak pakar agama seperti Ibn ‘Asyur dan Thabathaba’I memahami kata ini dalam arti yang mendalami ilmu agama. Thabathaba’i menulisa bahwa mereka itu adalah yang mengenal Allah swt. Dengan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya, pengenalan yang bersifat sempurna sehingga hati mereka menjadi tenang dan keraguan serta kegelisahan menjadi sirna, dan nampak pula dampaknya dalam kegiatan mereka sehingga amal mereka membenarkan ucapan mereka.
Thahir Ibn ‘Asyur menulis bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syari’at. Sebesar kadar pengetahuan tentang hal itu sebesar itu juga kadar kekuatan khasyat/takut. Adapun ilmuwan dalam bidang yang tidak berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah: serta pengetahuan tentang ganjaran dan balasan-Nya yakni pengetahuan yang sebenarnya, maka pengetahuan mereka itu tidaklah mendekatkan mereka kepada rasa takut dan kagum kepada Allah. Seorang yang alim yakni dalam pengetahuannya tentang syari’at tidak akan samar baginya hakikat-hakikat keagamaan. Dia mengetahuinya dengan mantap dan memperhatikannya serta mengetahui dampak baik dan buruknya, dan dengan demikian dia akan mengerjakan atau meninggalkan satu pekerjaan berdasar apa yang dikehendaki Allah serta tujuan syari’at. Kendati dia pada satu saat melanggar akibat dorongan syahwat, atau nafsu atau kepentingan duniawi, namun ketika itu dia tetap yakin bahwa ia melakukan sesuatu yang berakibat buruk, dan ini pada gilirannya menjadikannya meninggalkan pekerjaan itu atau menghalanginya berlanjut dalam kesalahan tersebut sedikit atau secara keseluruhan. Adapun seorang yang bukan alim, tetapi mengikuti jejak ulama maka upayanya serupa dengan upaya ulama dan rasa takutnya lahir dari rasa takut ulama.  Demikian lebih kurang Ibn ‘Asyur.
Pendapat ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘ulama’ pada ayat ini adalah “yang berpengetahuan agama” bila ditinjau dari segi penggunaan bahasa Arab tidaklah mutlak demikian. Siapapun yang memiliki pengetahuan, dan dalam disiplin apapun pengetahuan itu, maka ia dapat dinamai ‘alim. Dari konteks ayat ini pun, kita dapat memperoleh kesan bahwa ilmu yang disandang oleh ulama itu adalah ilmu yang berkaitan dengan fenomena alam. Sayyid Quthub menamai fenomena alam antara lain yang diuraikan ayat-ayat diatas dengan nama Kitab alam yang sangat indah lembaran-lembarannya dan sangat menakjubkan bentuk dan warnannya. Ulama ini kemudian menulis bahwa: Ulama adalah mereka yang memperhatikan kitab yang menajubkan itu, karean itu mereka mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya. Mereka mengenalnya melalui hasil ciptaannya, mereka menjangkaunya melalui dampak kuasanya, serta merasakan hakikat kebesarannya dengan melihat hakikat ciptaannya, dari sini maka mereka takut kepadanya serta bertaqwa sebenar-benarnya. Demikian Sayyid Quthub.
Dalam buku Secercah Cahaya Ilahi penulis mengemukakan bahwa ada dua catatan kecil namun amat penting yang perlu digaris bawahi dari ayat ini.
Pertama adalah penekanannya pada keanekaragaman serta perbedaan-perbedaan yang terhampar dibumi. Penekanan ini, diingatkan Allah swt. Sehubungan dengan keanekaragaman tanggapan manusia terhadap para Nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan Allah. Sebagaimana yang dikemukakan pada ayat-ayat sebelumnya.
Ini mengandung arti bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam  bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran, serta bentuk-bentuk pengamalannya.
Kedua, mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan sosial, dinamai oleh al-Qur’an ulama. Hanya saja seperti perrnyataannya diatas, pengetahuan tersebut menghasilkan khasyat. Khasyat menurut pakar bahasa al-Qur’an, ar-Raghib al-AShfahani adalah rasa takut yang disertai penghormatan, yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Pernyataan al-Qur’an bahwa yang memiliki sifat tersebut hanya ulama,mengandung arti bahwa yang tidak memikinya bukanlah ulama.
Di atas terbaca bahwa ayat ini berbicara tentang fenomena alam dan sosial. Ini berarti para ilmuwan sosial dan alam, dituntut agar mewarnai ilmu mereka dengan nilai spiritual dan agar dalam penerapannya selalu mengindahkan nilai-nilai tersebut. Bahkan tidak meleset jika dikatakan bahwa ayat ini berbicara tentang kesatuan apa yang dinamai ‘ilmu agama’ dan ‘ilmu umum’. Karena puncak ilmu agama adalah pengetahuan tentang Allah, sedang seperti terbaca diatas, ilmuwan sosial dan alam memiliki rasa takut dan kagum kepada Allah yang lahir dari pengetahuan mereka tentang fenomena alam dan sosial dan pengetahuan mereka tentang Allah. Kesatuan itu dapat lebih diperjelas lagi dengan lanjutan ayat yang dinilai oleh sementara pakar tafsir seperti al-Biqa’I dan ar-Razi sebagai penjelasan tentang siapa ulama itu.
Ayat di atas ditutup dengan firman-Nya: sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, dapat dipahami sebagai kelanjutan dari bukti ketidakbutuhan Allah terhadap iman kaum musyrikin, kendati Allah selalu menghendaki kebaikan buat mereka. Demikian pendapat Ibn ‘Asyur. Sedang Thabathaba’I menjadikannya sebagai penjelasan tentang sebab sikap ulama itu. Yakni karena ‘izzat/keperkasaan Allah Yang Kuasa menundukkan siapapun dan dia tidak menundukkan oleh siapapun, maka Dia ditakuti oleh yang mengenal-Nya, selanjutnya karena Dia Maha Pengampun, senantiasa memberi pengampunan dosa dan pengahapusan kesalahan, maka para ulama itu percaya dan mendekatkan diri kepada-Nya serta merindukan pertemuan dengan-Nya.

Tafsir surat al-fatir
Ayat 28
Pada ayat ini Allah menambahkan menjelaskan lagi tentang hal-hal yang menunjukan kesempurnaan dan kekuasaannya. Allah menciptakan binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak yang bermacam-macam warnanya sekalipun berasal dari jeni yang satu bahkan ada binatang yang satu sering terdapat warna yang bermacam-macam. Maha suci Allah pencipta alam semesta dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan ini firman Allah dalam (Qs. Ar-rum: 22)
Artinya :
Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah menciptakan langit dan\ bumi dan berlain-lainnan bahasamu dan warna kulitmu. 95)
    Demikianlah Allah membentang tanda-tanda kekuasannya seperti tersebut diatas untuk dapat diketahui secara mendalam. Dan hanya ulama lah yang benar-benar menyadari dan mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga mereka benar-benar tunduk akan kekuasaannya dan takut akan siksanya.
Berkata ibnu abbas “yang dinamakan ulama ialah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah itu maha kuasa atas segala sesuatu”. Didalam suatu riwayat dari ibnu abbas ia berkata :” ulama itu ialah orang yang tidak mempersekutukan tuhan dengan sesuatu apapun yang menghalalkan yang telah dihalalkan Allah dan mengharamkan yang telah diharamkannya, menjaga perintah-perintahnya dan yakin bahwa dia akan bertemu denganya yang akan menghisap dan membalasi semua amalan manusia”. Ayat ini ditutup dengan suatu penegasan bahwa Allah maha perkasa menindak orang-orang yang kafir kepadanya. Dia bukan mengadzab orang-orang yang beriman dan taat kepadanya. Maha pengampun kepada orang-orang yang beriman dan taat kepadanya. Dia kuasa mengadzab orang-orang yang selalu berbuat maksiat dan bergelimang dosa, sebagaimana dia kuasa memberi pahala kepada orang-orang yang taat kepadanya dan mengampuni dosa-dosa mereka, maka sepatutnya manusia itu takut kepadanya.

Kesimpulan:
1.    Tanda-tanda kekuasaan Allah ialah diturunkannya hujan, tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah-buahan yang beraneka ragam macamnya dan diciptakannnya gunung-gunung yang dilengkapi dengan jalan-jalan yang beraneka ragam.
2.    Demikian juga manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak diciptakan Allah bermacam-macam warna dan jenisnya sebagai tanda kekuasaannya.
3.    Yang benar-benar mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah dan mentaatinya hanyalah ulama yaitu orang-orang yang mengetahui secara mendalam kebesaran Allah. dia maha perkasa menindak orang-orang kafir. Maha pengampun kepada hambanya yang beriman dan taat. 
Pendapat Penulis
Menurut pendapat kami, kami sependapat dengan tafsir al-misbah yang dikarang oleh M. Quraish Shihab. Di dalam tafsirnya beliau menjelaskan bahwa surat al-fatir ayat 27 dan 28 menerangkan betapa ciptaan dan pengaturan Allah menyangkut keanekaragaman tumbuhan sedemikian mempesona dan menjadi bukti betapa luas kekuasaan-Nya dan para ilmuwan yang mengetahui rahasia-rahasia penciptaan sebagai sekelompok manusia yang paling takut kepada Allah.





B.    SURAH AL MUJADILLAH AYAT 11
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ {11}
    Larangan berbisik yang diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu merupakan salah satu tuntunan akhlak, guna membina hubungan harmonis antara sesama. Berbisik ditengah orang lain mengeruhkan hubungan melalui pembicaraan itu. Ayat diatas masih merupakan tuntunan akhlak. Kalau ayat yang lalu menyangkut pembicaraan rahasia, kini menyangkut perbuatan dalam satu majlis. Ayat diatas memberikan tuntunan bagaimana menjalin hubungan harmonis dalam satu majlis. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu oleh siapa pun: “Berlapang-lapanglah yakni berupayalah dengan sungguh-sungguh walau dengan  memaksakan diri untuk memberi tempat orang lain dalam majlis-majlis yakni satu tempat, baik tempat duduk maupun bukan untuk duduk, apabila diminta kepada kamu agar melakukan itu maka lapangkanlah tempat itu untuk orang lain itu dengan suka rela. Jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu ketempat yang lain, atau untuk diduduk tempatmu buat orang yang lebih wajar, atau bangkitlah untuk melakukan sesuatu seperti untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkitlah, Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu wahai yang memperkenankan tuntunan ini dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa drajat kemuliaan di dunia dan di akhirat dan Allah terhadap apa yang kamu kerjakan sekarang dan masa datang maha mengetahui.
    Ada riwayat yang menyatakan bahwa ayat diatas turun pada hari jumat. Ketika  itu rasul saw. Berada disatu tempat yang sempit, dan telah menjadi kebiasaan beliau memberi tempat khusu buat para sahabat yang terlibat dalam perang badar, karena besarnya jasa mereka. Nah ketika majlis tengah berlangsung, beberapa orang diantara sahabat-sahabat termasuk hadir, lalu mengucapkan salam kepada nabi saw. Nabi pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat it uterus saja berdiri, maka nabi saw. Memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya yang lain yang tidak terlibat dalam perang badar untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk didekat nabi saw. Perintah nabi itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikkin untuk memecah belah dengan berkata: “katanya Muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak”. Nabi yang mendengar kritik itu bersabda: “ Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya”. Kaum beriman menyambut tuntunan nabi dan ayat diatas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda nabi itu.
    Apa yang dilakukan rasul saw. Terhadap sahabat-sahabat beliau yang memiliki jasa besar itu, dikenal juga dalam pergaulan internasional dewasa ini. Kita mengenal ada yang dinamai peraturan protokoler, dimana penyandang kedudukan terhormat memiliki tempat-tempat terhormat disamping kepala Negara, karena memang seperti penegasan al-quran bahwa: ……. Qs.an-nisa 4:95 (baca juga firmannya dalam Qs. Al-hadid 57:10.
    Kata ( تفسّحوا) tafassahu dan (افسحوا) ifsahu terambil dari kata (فسح) fasaha yakni lapang. Sedang kata (انشزوا) insyuzu terambil dari kata (نشوز) nasyuz yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ketempat yang tinggi. Yang dimaksud disini pindah ketempat lain untuk memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada ditempat yang wajar pindah itu atau bangkit melakukan satu aktivitas positif. Ada juga yang memahaminya berdirilah dari rumah nabi, jangan berlama-lama disana, karena boleh jadi ada kepentingan nabi saw. Yang lain dan yang perlu segera beliau hadapi.
    Kata ( مجالس) majalis adalah bentuk jamak dari kata (مجلس) majlis. Pada mulanya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat nabi Muhammad saw. Memberi tuntunan agama ketika itu. Tetapi yang dimaksud disini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri atau bahkan tempat berbaring. Karena tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang yang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non muslim sekalipun, jika anda wahai yang muda duduk dibus, atau kereta sedang dia tidak mendapat tempat duduk, maka adalah wajar dan beradab jika anda berdiri untuk memberinya tempat duduk.
    Al-qurthubi menulis bahwa bisa saja seseorang mengirim pembantunya ke masjid untuk mengambilkan untuknya tempat duduk, asalkan sang pembantu berdiri meninggalkan tempat itu ketika yang mengutusnya datang dan duduk. Disisi lain tidak diperkenankan meletakkan sajadah atau semacamnya untuk menghalangi orang lain duduk ditempat itu.
    Ayat diatas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor diluar ilmu itu.
    Tentu saja yang dimaksud dengan alladzina utu al-‘ilm yang diberi pengetahuan  adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berarti ayat diatas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan atau tulisan maupun dengan keteladanan.
     Ilmu yang dimaksud oleh ayat diatas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dalam Qs. Fathir 35: 27-28 allah menguraikan sekian banyak makhluk ilahi, dan fenomena alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada Allah dari hamba-hambanya hanyalah ulama. Ini menunjukan bahwa ilmu dalam pandang alqur’an  bukan hanya ilmu agama. Disisi lain itu juga menunjukan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah yakni rasa takut dan kagum kepada allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk. Rasul saw. Sering kali berdoa: “Allahumma inni a’udzubika min ‘ilm(in) la yanfa’ (aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat).

Munasabah :
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa apabila ada orang yang baru datang ke majlis rasulullah, para sahabat tidak mau memberikan tempat duduk disisi rasulullah, maka turunlah ayat 11 ini sebagai perintah untuk memberikan tempat kepada orang yang baru datang (HR.Ibnu jarir dari Qatadah).
Dalam riwayat yang lain ditemukan bahwa ayat 11 turun pada hari jumat, disaat para pahlawan-pahlawan badar datang ketempat pertemuan yang penuh sesak. Orang-orang tidak memberi tempat kepada yang baru datang itu, sehingga mereka terpaksa berdiri. Rasulullah menyuruh berdiri pada pribumi, dan tamu-tamu itu, (pahlawan badar) disuruh duduk ditempat mereka, orang-orang yangdisuruh pindah tempat itu merasa tersinggung perasaannya.
    Ayat 11 ini turun  sebagai perintah kepada kaum mukminin untuk menaati perintah rasulullah dan memberikan kesempatan duduk kepada sesama mukmin (HR. Ibnu abi hatim dari Muqatil).
Menurut pendapat kami, tentang surat al-mujadilah ayat 11 masih tetap sama sependapat dengan M.Qurais Shihab dalam tafsir al-misbahnya. Dalam surat ini beliau menuliskan bahwa Ilmu yang dimaksud oleh ayat diatas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dan orang yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk. Rasul saw. Sering kali berdoa: “Allahumma inni a’udzubika min ‘ilm(in) la yanfa’ (aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat).

C.    SURAH AZZUMAR (39) : 9


أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ ءَانَآءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَقَآئِمًا يَحْذَرُ اْلأَخِرَةَ وَيَرْجُوا رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا اْلأَلْبَابِ {9}
“ Apakah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dalam keadaan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhanya? Katakanlah: “ Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang dapat menarik pelajaran adalah Ulul Albab.”
Ayat di atas menegaskan perbedaan sikap dan ganjaran yang akan mereka terima dengan sikap dan ganjaran bagi orang-orang beriman.
Awal ayat di atas ada yang membacanya (  أمن  (  aman dalam bentuk pertanyaan dan ada juga yang membacanya (أمٌن)  amman . Yang pertama merupakan bacaan Nafi’, Ibn Katsir dan hamzah. Ia terdiri dari huruf ( أ )   alif  dan (من)  man yang berarti siapa. Kata man berfungsi sebagai subjek ( mubtada’), sedang predikat (khabar)-nya tidak tercantum karena telah di isyaratkan oleh kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa orang-orang kafir mengada-adakan bagi Allah sekutu-sekutu dan seterusnya. Inilah penulis kemukakan dalam penjelasan sebelum ini.
Bacaan kedua (أمٌن) amman adalah bacaan mayoritas ulama. Ini pada mulanya terdiri dari dua kata yaitu (أم) am dan (من) man, lalu digabung dalam bacaan dan tulisannya. Ia mengandung dua kemungkinan makna. Yang pertama kata am berfungsi sebagai kata yang digunakan bertanya. Dengan demikian ayat ini bagaikan menanyakan: “ Apakah si kafir yang mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, sama dengan yang percaya dan tekun beribadah?” Yang kedua, kata am berfungsi memindahkan uraian ke uraian yang lain, serupa dengan kata bahkan. Makna ini menjadikan ayat di atas bagaikan menyatakan. “Tidak usah mengancam mereka, tetapi tanyakanlah apakah sama yang mengada-adakan sekutu bagi allah dengan yang tekun beribadah.
Kata (يعلمون) ya’lamun pada ayat di atas, ada juga ulama yang memahaminya sebagai kata yang tidak memerlukan objek. Maksudnya siapa yang memiliki pengetahuan- apapun pengetahuan itu- pasti tidak sama dengan yang tidak memilikinya. Hanya saja jika makna ini yang anda pilih, maka harus digaris bawahi bahwa ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang bermanfaat,yang menjadikan seseorang mengetahui hakikat sesuatu lalu menyesuaikan diri dan amalnya dengan pengetahuannya itu.
Kata (يتذ كٌّر)  yatadzakkaru terambil dari kata (ذكر) dzikr  yakni pelajaran/peringatan. Penambahan huruf  (تا) ta’ pada kata yang digunakan ayat ini mengisyaratkan banyaknya pelajaran yang dapat diperoleh oleh Ulul Albab. Ini berarti bahwa selain mereka pun dapat memperoleh pelajaran, tetapi tidak sebanyak Ulul Albab. Selanjutnya rujuklah ke QS.Shad(38):43 untuk memaknai Ulul Albab.

Tafsir az-zumar
Ayat 9
Kemudian Allah swt memerintahkan kepada rasulnya agar menanyakan kepada orang-orang kafir quraisy, apakah mereka lebih beruntung ataukah orang yang beribadat diwaktu malam, dalam keadaan sujud dan berdiri dengan sangat khusuknya. Dalam melaksanakan ibadahnya itu timbulah dalam hatinya rasa takut kepada adzab Allah dikampung akhirat, dan memancarlah harapannya akan rahmat Allah.
    Perintah yang sama diberikan Allah kepada rasulullah agar menanyakan kepada mereka apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Yang dimaksud dengan orang-orang yang mengetahui ialah orang-orang yang mengetahui pahala yang akan diterimanya, karena amal perbuatannya yang baik, dan siksa yang akan diterimanya apabila ia melakukan maksiat. Sedangkan orang-orang yang tidak mengetahui adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengetahui hal itu, karena mereka tidak mempunyai harapan sedikitpun akan mendapat pahala dari perbuatan baiknya dan tidak menduga sama sekali akan mendapat hukuman dari amal baiknya.
Diakhir ayat Allah menyatakan bahwa orang-orang yang berakalah yang dapat mengambil pelajaran, baik pelajaran dari pengalaman hidupnya tau dari tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat dilangit dan dibumi serta isinya, juga terdapat pada dirinya atau suritauladan dari kisah umat yang lalu.   
A.TAFSIR MUFRODAT

هُوَ قَانِتٌ    :    مطيع, خاضع, عابد الله تعالى ( taat, tunduk dan beribadah kepada Allah).
آنَاءَ اللَّيْلِ    :    ساعته (waktunya bersujud dan berdiri dan mengharap rahmat Tuhannya).

B. MUNASABAH DAN ASBABUN NUZUL
Firman Allah أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ … ibnu abbas berkata : dalam riwayat ‘atho ayat tersebut diturunkan pada sahabat abu bakar as-Shidiq. Menurut ibnu ‘umar diturunkan pada sahabat Usman bin Affan, menurut Muqotil diturunkan pada Amr bin Yasir.

C. PENJELASAN
Ayat ini menerangkan perbedaan antara orang kafir dengan orang yang selalu taat menjalankan ibadah kepada Allah dan takut dengan siksa Akhirat yang selalu mengharapkan Rahmat (surga).
Tidak sama antara orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan mengEsakan Allah, mentaati semua perintah menjauhi larangan-Nya, yaitu Abu Bakar dan sahabatnya, dengan orang-orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan yaitu Abu Jahal dan sahabatnya.
Ayat di atas menunjukkan keutamaan ilmu daripada harta, karena orang yang mempunyai ilmu mengetahui kemanfaatan harta dan orang yang tidak berilmu tidak mengetahui kemanfaatan ilmu.



Pendapat kelompok kami
Kami setuju dengan pendapat M.Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al Misbah bahwa ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang bermanfaat,yang menjadikan seseorang mengetahui hakikat sesuatu lalu menyesuaikan diri dan amalnya dengan pengetahuannya itu.

D. KESIMPULAN
1.      Perbandingan orang yang beruntung (selalu taat pada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya) dengan orang yang rugi (kafir).
2.      Tidak sama antara orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dengan orang bodoh



D.    SURAH AN-NAML (27) : 40   
قَالَ الَّذِي عِندَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَابِ أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَءَاهُ مُسْتَقِرًّا عِندَهُ قَالَ هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ {40}
Berkatalah seseorang yang memiliki ilmu dari al-kitab: “Aku akan datang kepadamu denganya sebelum matamu berkedip. “ Maka tatkala dia melihatnya terletak di hadapanya, dia pun berkata: “ Ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau kufur. Dan barang siapa bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa kufur maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.  

قَالَ الَّذِي عِندَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَابِ (Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al kitab ) yang diturunkan, ia bernama Ashif ibnu Barkhiya; dia sangat jujur dan mengetahui tentang asma allah yang teragung yaitu suatu asma apabila dipanjatkan doa niscaya doa itu dikabulkan     أَنَا ءَاتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ ( Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip ) jika kamu tunjukkan pandanganmu itu kepada sesuatu. Maka Ashif berkata kepadanya; “Coba lihat langit itu “. Maka Nabi Sulaiman pun menunjukkan pandanganya ke langit, setelah itu ia mengembalikan pandanganya ke arah semula sebagaimana biasanya, tiba-tiba ia menjumpai singgasana ratu balqis itu telah ada dihadapanya. Ketika Nabi Sulaiman mengarahkan pandanganya ke langit, pada saat itulah Ashif berdoa dengan mengucapkan Ismul A’zham, seraya meminta kepada allah, supaya dia mendatangkan singgasana tersebut, maka dikabulkanya permintaan Ashif itu oleh Allah. Sehingga dengan seketika singgasana itu telah berada di hadapanya; ibaratnya Allah meletakkan singgasana itu di bawah bumi, lalu dimunculkanya di bawah singgasana Nabi sulaiman.  فَلَمَّا رَءَاهُ مُسْتَقِرًّا ( Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak) telah berada.  عِندَهُ قَالَ هَذَا ( di hadapanya, ia pun berkata: ”ini) yakni didatangkanya singgasana itu untukku.  مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ( termasuk karunia Robbku untuk mencoba aku ) untuk menguji diriku  ءَأَشْكُرُ ( apakah aku bersyukur) mensyukuri nikmat, lafaz ayat ini dapat dibaca Tahqiq dan Tas-hil.  أَمْ أَكْفُرُ  ( atau mengingkari) nikmat-Nya.   وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ( Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan dirinya) artinya pahalanya itu untuk dirinya sendiri.  وَمَن كَفَرَ ( dan barang siapa yang ingkar) akan nikmatnya.               فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ ( maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya) tidak membutuhkan kesyukuranya.  كَرِيمٌ ( lagi Maha Mulia) yakni tetap memberikan kemurahan kepada  orang-orang yang mengingkari nikmat-Nya.
    Kata  ( طَرْفُكَ) tharfuka terambil dari kata (طرف) tharf  yaitu gerakan kelopak mata dalam bentuk membukanya untuk melihat sesuatu, sedang kata (إرتدّ) irtadda  terambil dari kata (ردّ) radda yang berarti mengembalikan, dalam konteks ayat ini adalah tertutupnya kembali kelopak mata itu setelah sebelumnya terbuka.
    Berbeda-beda pendapat ulama dalam menentukan tokoh yang dimaksud dengan seseorang yang memiliki ilmu al-Kitab. Ada yang berpendapat bahwa dia adalah Ashif Ibn Barkhiya’ salah seorang ulama Bani Israil yang juga merupakan menteri Nabi Sulaiman as. Ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah Nabi Sulaiman as sendiri. Ada lagi yang menyatakan Nabi Khidir, bahkan ada juga yanga menyatakan malaikat jibril as.
    Yang pasti ayat ini mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa kemampuan yang bersangkutan itu, lahir dari ilmu yang dimilikinya, dan ilmu itu adalah yang bersumber dari al-Kitab, yakni kitab suci yang diturunkan Aallah kepada nabinya.
    Disini sekali lagi terlihat penekanan surah ini tentang peranan ilmu. Perlu di catat bahwa ketika al-Qur’an atau as-Sunnah memuji seseorang yang memiliki ilmu, maka itu berarti yang bersangkutan telah mengamalkan ilmunya, karena ilmu ada yang menjadi hiasan lidah, maka ia akan menjadi bencana bagi pemiliknya, dan ada pula yang diamalkan, maka itulah yang menjadi cahaya penerang bagi perjalanan panjang menuju kebahagiaan.

       
       
B. PENJELASAN
Nabi Sulaiman dibantu anak buahnya bernama Ashif bin Barkhiya yaitu seorang yang memiliki ilmu dan hikmah. Kemampuannya memindahkan tahta kerajaan ratu Bilqis lebih cepat daripada kemampuan jin Ifrith yang menjanjikan tahta itu pindah sebelum nabi sulaiman berdiri dari tempat duduknya, Ashif bin Barkhiya mampu memindahkan tahta itu hanya dalam waktu satu kedipan mata. Maka takluklah ratu Bilqis penguasa negeri Saba’ akhirnya dia menikah dengan Nabi Sulaiman dan hidup berbahagia hingga akhir hidupnya.
Nabi Sulaiman bersyukur kepada Allah ketika melihat singgasana itu terletak di hadapannya.

C. KESIMPULAN :
1.      Ashif bin Barkhiya seorang yang memiliki ilmu dan hikmah.
2.      Nabi sulaiman menunjukkan karomah umatnya, supaya kaumnya tidak mengingkari terhadap umat para Nabi yang diberi karomah.

Pendapat Penulis
    Kami setuju dengan  pendapat M.Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al-Misbah bahwa ayat ini menerangkan tentang peranan ilmu Perlu di catat bahwa ketika al-Qur’an atau as-Sunnah memuji seseorang yang memiliki ilmu, maka itu berarti yang bersangkutan telah mengamalkan ilmunya, karena ilmu ada yang menjadi hiasan lidah, maka ia akan menjadi bencana bagi pemiliknya, dan ada pula yang diamalkan, maka itulah yang menjadi cahaya penerang bagi perjalanan panjang menuju kebahagiaan.

                                                                                                                                                                                                   









BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
•    Surat al-fatir ayat 27 & 28 :
1.    Tanda-tanda kekuasaan Allah ialah diturunkannya hujan, tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah-buahan yang beraneka ragam macamnya dan diciptakannnya gunung-gunung yang dilengkapi dengan jalan-jalan yang beraneka ragam.
2.    Demikian juga manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak diciptakan Allah bermacam-macam warna dan jenisnya sebagai tanda kekuasaannya.
3.    Yang benar-benar mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah dan mentaatinya hanyalah ulama yaitu orang-orang yang mengetahui secara mendalam kebesaran Allah. dia maha perkasa menindak orang-orang kafir. Maha pengampun kepada hambanya yang beriman dan taat.
•    Surat mujadilah ayat 11
Ilmu yang dimaksud oleh ayat diatas bukan saja ilmu agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat. Dalam Qs. Fathir 35: 27-28 allah menguraikan sekian banyak makhluk ilahi, dan fenomena alam, lalu ayat tersebut ditutup dengan menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada Allah dari hamba-hambanya hanyalah ulama. Ini menunjukan bahwa ilmu dalam pandang alqur’an  bukan hanya ilmu agama. Disisi lain itu juga menunjukan bahwa ilmu haruslah menghasilkan khasyyah yakni rasa takut dan kagum kepada allah, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk. Rasul saw. Sering kali berdoa: “Allahumma inni a’udzubika min ‘ilm(in) la yanfa’ (aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat).


•    Surah AZ-ZUMAR Ayat 9
   
Ayat ini menerangkan perbedaan antara orang kafir dengan orang yang selalu taat menjalankan ibadah kepada Allah dan takut dengan siksa Akhirat yang selalu mengharapkan Rahmat (surga).
Tidak sama antara orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan mengEsakan Allah, mentaati semua perintah menjauhi larangan-Nya, yaitu Abu Bakar dan sahabatnya, dengan orang-orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan yaitu Abu Jahal dan sahabatnya.
Ayat di atas menunjukkan keutamaan ilmu daripada harta, karena orang yang mempunyai ilmu mengetahui kemanfaatan harta dan orang yang tidak berilmu tidak mengetahui kemanfaatan ilmu.

•    Surah An-Naml ayat 20

Disini sekali lagi terlihat penekanan surah ini tentang peranan ilmu. Perlu di catat bahwa ketika al-Qur’an atau as-Sunnah memuji seseorang yang memiliki ilmu, maka itu berarti yang bersangkutan telah mengamalkan ilmunya, karena ilmu ada yang menjadi hiasan lidah, maka ia akan menjadi bencana bagi pemiliknya, dan ada pula yang diamalkan, maka itulah yang menjadi cahaya penerang bagi perjalanan panjang menuju kebahagiaan








DAFTAR PUSTAKA

Imam al Jalaluddin al Mahally.1990.Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul.Bandung:Sinar Baru.

M.Quraish Shihab.2007. Tafsir AL-MISBAH.Jakarta:Lentera Hati.

Mahali mujab. 2002. Asbabun nuzul (study pendalaman al-qur’an). Jakarta: PT. Raja    Grafindo




Tidak ada komentar:

Posting Komentar