Jumat, 28 November 2014

STUDY HADIS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
    Al-quran merupakan kitab Allah yang wajib kita imani dan menjadi pedoman bagi seluruh umat islam. Maka tidak heran, dalam menyikapi permasalahan yang ada maka sumber rujukan yang paling tepat yaitu menggunakan Al-quran sebagai sumber tasyri’. Tetapi bukan berarti Al-quran merupakan satu-satunya sumber syariat yang tidak membutuhkan hadits sebagai mubayyin dan tuntunan operasionalnya. Hadits diposisikan sebagai sumber tasyri’ islam kedua dalam stratifikasi sumber hukum islam. Kedua sumber hukum ini (Al-quran dan Hadits) saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam konteks perannya memberikan tuntunan hidup manusia. Jika Al-quran merupakan sumber  utama yang berisi prinsip-prinsip pokok kehidupan yang diterangkan secara mujmal, maka hadist merupakan mubayyin dan tuntunan operasionalnya. Karena itu, tampaknya tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa tanpa kehadiran hadits, Al-quran akan menjumpai banyak kesulitan untuk dipraktikkan. Mengingat posisi hadits yang demikian strategis sebagai salah satu sumber pokok ajaran islam, maka kajian-kajian terhadapnya menjadi sangat urgen dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hadits?
2. Bagaimana kedudukan hadits dalam ajaran islam ?
3. Apakah hadits dapat dijadikan sebagai sumber hukum (ahl as-sunnah)?
        a. Sebutkan dalil yang menetapkannya !
        b. Apa fungsi hadits terhadap Al-quran ?
4. Apakah hadits tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum (ingkar as-sunnah)?
        a. Sebutkan macam-macamnya !
        b. Jelaskan argumentasinya


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN HADITS
Menurut bahasa, al-hadits artinya al-jadid (baru), al-khabar (berita), pesan kaegamaan, pembicaraan. Di dalam al-quran, kata al-hadits disebut berulang kali dengan makna-makna tersebut. Misalnya,
•    “Allah telah menurunkan sebaik-baik al-hadits, yaitu al-quran (QS. Al-Zumar:23). Disini al-hadits artinya pesan keagamaan
•    “Apakah sudah sampai kepadamu hadits tentang Musa?” (QS at-Thaha: 9). Disini hadits artinya cerita.
•    “Maka hendaknya mereka mendatangkan hadits yang seperti itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. At-Thur: 34). Hadits disini artinya khabar/berita.
Dalam ilmu hadits, al-hadits adalah pembicaraan yang diriwayatkan atau diasosiasikan kepada nabi Muhammad saw. Ringkasnya, segala yang berupa berita yang dikatakan berasal dari nabi disebut al-hadits. Boleh jadi berita itu berwujud ucapan, tindakan, pembicaraan (taqrir), keadaan, kebiasaan, dll.
Contoh tindakan nabi: cara beliau melaksanakan sholat, manasik haji, dan lain-lain. Dan contoh pembicaran yaitu ketika orang Habsyah mengadakan latihan perang di Masjid, nabi melihatnya dan membiarkan, tidak melarang dan tidak pula menyuruh.
Ada yang mencoba berspekulasi mengatakan, ia disebut al-hadits dengan arti “baru” (al-jadid), karena dihadapkan dengan al-quran yang berkonotasi qadim. Tentu, alas pikir yang dipakai adalah aliran yang meyakini bahwa al-quran adalah sifat Allah karena ia kalam Allah. Karena Allah itu qadim, maka al-quran ikut qadim.
Kemudian, karena al-hadits itu berasal dari nabi dan setiap orang islam harus mengikuti jejaknya maka al-hadits merupakan sumber ajaran islam di samping Al-Quran. Maka ada rumusan, al-quran disebut wahyu yang matluw karena dibacakan oleh malaikat jibril, dan al-hadits disebut wahyu yang ghairu matluw sebab tidak dibacakan oleh malaikat jibril, tetapi ia semacam ilham yang masuk dalam hati nurani nabi. Nah, kalau keduanya wahyu, maka dikotomi, yang satu qadim dan yang lainnya “baru” terasa tidak perlu.
B.    KEDUDUKAN HADITS DALAM AJARAN ISLAM
Diskursus hadits dalam posisinya sebagai sumber hukum islam, berarti mengharuskan kita meletakkan hadits dalam konteks diskursus ushul al-fiqh, hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan keapada nabi baik berupa ucapan (qawl), perbuatan (fi’il), maupun ketetapan (taqrir), yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’. Dengan demikian, para ulama ushul memposisikan rasullullah SAW sebagai musyarri’. Dengan demikian definisi yang dimajukan para ulama ushul ini tampaknya lebih sempit dibandingkan dengan definisi yang dikemukakan oleh para muhadditsun, yang disamping ucapan, perbuatan dan ketetapan, juga memasukkan sifat-sifat muhammad, bahkan semua perilaku beliau sebelum maupun sesudah diangkat menjadi rasul. Hal ini dapat dipahami karena pembatasan definisi tersebut sangat berkaitan dengan disipilin keilmuan dan kepentingan mereka, bahwa yang dapat dijadikan sumber hukum adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi muhammad SAW.
    Sunnah merupakan sumber kedua di dalam syariat islam setelah al-quran al-karim. Adapun dalam masalah kekutan hujjah atau argumentasinya, maka kita harus yakin sepenuhnya bahwa al-quran dan sunnah nabi kedua-duanya adalah wahyu dari Allah SWT.
    Hassan bin Athiyah berkata, “Malaikat Jibril menurunkan sunnah kepada Nabi SAW sebagaimana dia menurunkan Al-Quran.”
Dalam al-quran sendiri dikatakan, bahwa apa yang disampaikan Nabi adalah wahyu dari Allah. Allah berfirman, QS. an-Najm: 3-4
وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى {4}
dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (QS. 53:3-4)
Turunnya sunnah dengan perantara wahyu ini buknlah suatu hal yang aneh. Karena sebagai utusan Allah, nabi memiliki hubungan yang sangat khusus dan intens dengan Allah. Banyak hadits yang menyebutkan turunnya malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu dari Allah yang tidak termakttib dalam al-quran tetapi terdapat sunnah. Misalnya: turunnya Jibril dengan penampilan seorang manusia yang bertanya kepada nabi tentang iman, islam, dan ihsan.  Ketika itu nabi bersabda, “ini adalah Jibril, dia datang untuk mengejari manusia tentang agamanya.”
Melalui sunnah-lah kita mengetahui secara detail tentang waktu shalat, jumlah rakaatnya, cara pelaksanaannya, kadar zakat yang harus ditunaikan, jenis harta yang harus dibayar zakatnya, etika puasa, apa saja yang membatalkan puasa, tata cara haji dll.
Jadi, tidak bisa dibenarkan sama sekali jika ada seorang yang mengaku muslim sekalipun mengatakan dirinya beriman kepada al-quran namun menolak sunnah nabi. Sebab, menolak atau mengingkari sunnah nabi sama saja halnya dengan mendustakan rialah yang dibaea nabi untuk membenarkan al-quran. Dan menolak apa yang dibawa nabi berarti menolak ajaran allah.  Dalam al-quran dikatakan sebagai berikut QS al-Hasyr:7
مَّآأَفَآءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لاَيَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. 59:7)

Allah Azza Wajallah juga berfirman di QS An-Nisa’:8
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُوْلُوا الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ فَارْزُقُوهُم مِّنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. 4:8)
Apa yang dibawa rasul adalah sunnah rasul yang meliputi perintah-perintahnya, larangan-larangannnya, ketetapan-ketetapannya, perbuatannya, dan segala yang berasal dari beliau. Sedangkan taat kepada rasul adalah taat kepada apa yang dibawa oleh beliau.

Dalam ayat lain juga disebutkan QS An-Nisa’: 59   
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

C.    HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM (GOLONGAN AHL AS-SUNNAH)
a.    Dalil-dalil Kehujjahan Hadits
Membicarakan hadits sebagai sumber ajaran agama (hukum) berarti kita harus meletakkan haits dalam kerangka diskursus usul fiqh. Menurut ulama ushul fiqh hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad baik ucapan, perbutatan, maupun ketatapan yang dijadikan dalil hukum syara’. Dari sisni dapat dilihat bahwa ulama ushul menempatkan nai muhammad sebagai musyarri’. Oleh karena itu , produk hadits ditempatkan sebagai sumber hukum islam tersebut, didasarkan pada dalil Al-quran, diantaranya terdapat dalam

1.    QS. Al-Nisa’: 59 
   
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

2.    QS. Ali-Imran: 31
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
Katakanlah:"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:31)

3.    QS. An-Nur: 54
قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَاحُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّاحُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَاعَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
Katakanlah:"Ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu.Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". (QS. 24:54)

4.    QS. Ali-Imran: 132
وَأَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan ta'atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. 3:132)

Dalil yang semakna dengan QS An-Nisa’: 59 juga dapat ditemukan dalam QS. Al-Nisa’: 80 sebagai berikut:
مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَن تَوَلَّى فَمَآأَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Barangsiapa yang menta'ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta'ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka. (QS. 4:80)

Kedua ayat tersebut, setidaknya mengisyaratkan adanya perintah kepada orang-orang yang beriman, untuk taat kepada Allah dan Rasul berati taat kepada al-quran dan hadits.  Seseorang dikatakan taat kepada Allah jika ia juga taat kepada Rasul-nya, dan demikian pula sebaliknya.
Persoalan yang kemudian muncul, apakah semua perkataan , perbuatan, perbuatan dan ketetapan Nabi merupakan sumber hukum atau syari’ah atau bukan. Untuk menjawab permasalahan ini, Abd al-Mun’im al-Namr  membagi hadits menjadi dua, yaitu hadits syari’ah (hadits yang secara hukum wajib diikuti oleh kaum muslimin) dan hdits non syariah (hadits yang secara hukum tidak mengikat untuk diikuti oleh kaum muslimin). Adapun yang merupakan kategori hadits syari’ah meliputi:
1.    Hadits-hadits yang timbul dari nabi dalam posisi dan kedudukannya sebagai at-tabligh yang harus mengkomunikasikan atau menyampaikan risalah islam kepada umat.
2.    Hadits-hadits yang timbul dari nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin sebagai kaum muslimin, seperti mengutus tentara, pengelola harta negara, mengangkat hakim dan sebagainya.
3.    Hadits yang timbul dari nabi dalam kedudukannya sebagai hakim, yaitu ketika nabi menghukum dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi di kalangan umatnya.

Adapun hadits-hadits yang bukan termasuk dalam kategori syari’ah meliputi:
1.    Hadits yang berkenaan dengan kebutuhan setiap manusia pada umumnya seperti makan, minum, tidur dan sebagainya.
2.    Hadits yang berkenaan dengan pergaulan dan kebiasaan individu dan masyarakat, seperti bercocok tanam, pengobatan, model pakaian dll.
3.    Hadits yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat dalam aspek-aspek tertentu, seperti menyebarkan pos-pos tertentu dalam peperangan, mengatur barisan dll.

Selain pengkategorisasian hadits pada hadits syari’ah dan non syari’ah tersebut, Abu Zahra  menambahkan satu bentuk perbuatan yang khusus untuk nabi dan tidak termasuk syari’ah, karena ada dalil bahwa perbuatan tersebut di khususkan untuk Rasulullah. Dalam konteks ini misalnya bisa disebut praktik poligami nabi, yakni beristri lebih dari empat orang. Hal ini bereda dengan ketentuan Al-quran bagi para suami yang hanya boleh memiliki maksimal empat orang istri.

 Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nisa’: 3, sebagai berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. 4:3)

b.    Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran
Berkaitan dengan fungsi hadis ini, al-Qur’an menekankan bahwa Rasulullah berfungsi menjelaskan maksud dari firman Allah yang sebagian besar masih bersifat global, sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an surat al-Nahl:44.
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Disamping ayat tersebut, dalam surat Ali Imran:164 juga dijelaskan adanya rasul yang akan memberikan penjelasan dan pelajaran pada umatnya.
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Dari kedua ayat atersebut, dapat kita pahami bahwa fungsi utama sunnah adalah sebagai penjelas (bayan) terhadap al-Qur’an. Artinya untuk menggali hukum dalam al-Qur’an dan memahami ayat-ayatnya sangat memerlukan hadis atau sunnah.
Fungsi bayan lebih banyak dikarenakan Allah menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dengan uslub yang mujmal , sehingga kita tidak mungkin dapat memahami al-Qur’an hanya berpatokan atau mengandalkan al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, Allah memberi wewenang kepada Nabi Muhammad untuk menjelaskan maksud-maksud al-Qur’an, baik dengan perkataan, perbuatan maupun ketetapannya .
Adapun fungsi hadis terhadap al-Qur’an selengkapnya sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw , sebagai berikut:
1.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-Tafshil, yaitu hadis memiliki fungsi untk menjelaskan atau merinci ke-mujmal-an al-Qur’an, sehingga dapat dipahami umat Islam. Dalam al-qur’an ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji, berjuang di jalan Allah dan sebagainya. Namun teknik operasional dari kewajiban-kewajiban tersebut tidak dijumpai dalam al-Qur’an. QS. Al-Baqarah: 110
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
Dari ketentuan teks al-Qur’an tersebut, kemudian Rasulullah mempraktikkan shalat dan kemudian beliau bersabda:
صلواكمارأيتمونىاصلى
Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat (HR. Al-Bukhari)
2.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-ta’kid, yaitu berfungsi memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, sunnah hanya seperti mengulangi apa yang dikatakan al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan mempunyai dua sumber hukum sekaligus, seperti firman Allah daam QS. An-Nisa’;29 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
dari ayat atersebut, Rasulullah kemudian menegaskan dalam hadis berikut:

لايحل مال امرئ مسلم الابطيب من نفسه
Tidaklah halal harta seorang muslim, kecuali (hasil dari pekerjaan)yang baik dari dirinya sendiri (HR. Ahmad)
3.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-muthlaq atau bayan al-taqyid . Hadis memberikan batasan-batasan atas ayat-ayat yang disebutkan secara mutlak, sebagaimana misalnya terdapat pada QS. An-Nisa’:7 :
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Ayat tersebut bersifat mutlaq (umum), yang kemudian Nabi memberikan qayyid (batasan), bahwa hak warisan itu tidak dapat diberikan kepada mereka yang menjadi penyebab kematian orang tuanya, seperti sabda Rasulullah :
ليس للقاتل من المقتول سئ
Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta orang yang dibunuh sedikitpun (HR. Al-Nasa’i)
4.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-takhsis. Hadis memiliki fungsi mengkhususkan (takhshis) lafadz-lafadz di dalam al-Qur’an yang masih bersifat umum (amm). Seperti contoh firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 24 :
 وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menghalalkan selain yang tersebut. Akan tetapi kehalalan itu kemudian di-takhshis oleh Nabi, dimana beliau mengharamkan memadu istri dengan bibi, baik dari garis ibu maupun ayah,  dengan sabdanya :
لايجمع بين المرأةوعمتهاولابين المرأةوخالتها
Tidak boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudara bapak)nya, dan seorang wanita khalah (saudara ibu)nya (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

5.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-tasyri’. hadis memiliki fungsi menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara jelas. Dalam ha ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama, apa yang ditetapkan oleh Nabi itu pula hakikatnnya adalah penjelasan apa yang disinggung Allah dalam al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas. Sebagai contoh yaitu dalam QS. Al-maidah:3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam konteks fungsi sunnah sebagai bayan al-tasri’ ini, tidak semua ulama setuju dengan fungsi sunnah menetapkan hukum baru selain yang terdapat dalam al-Qur’an. Ulama yang setuju mendasarkan pendapatnya pada ‘ismah Nabi, khususnnya dalam bidang syariat. Kelompok yang menolak, berpendapat bahwa sumber hukum hannya Allah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah ketika hendak menetapkan hukum. Menanggapi perdebatan tersebut, Quraish Shihab  berpendapat apabila fungsi sunnah terhadap al-Qur’an didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjeasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia sebagai penjelas, penguat, pemerinci, pembatas maupun tambahan, semuanya  bersumber dari Allah.

6.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-naskh. Hadis berfungsi menghapuskan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. fungsi hadi yang demikian ini adalah bagi mereka yang berpendapat bahwa hadis dapat me-nasakh al-Qur’an, walaupun sebenarnya pendapat semacam ini agak berlebihan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 180 :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Secara umum para ulama menerimaprinsip nasakh sebagai alat untuk mempertemukan ayat-ayat al-Qur’an yang secara mencolok bertolak belakang satu dengan yang lain terlepas dari adanya perbedaan apakah suatu ayat tertentu telah atau belum dihapus ooleh ayat-ayat lain.
Menurut al-Syafi’i, Ahmad dan ahli Dhahir, sebagaimana diikuti Quraish Shihab, berpendapat tentang kemungkinan hadis dapat menasakh al-Qur’an. sebaliknya Imam Malik, Hanafiah dan mayoritas teolog, berpendapat adanya kemungkinan nasakh hadis terhadap al-Qur’an. namun secara umum semua sepakat bahwa yang dapat menasakh adalah al-Qur’an.
Jadi, tidak bisa dibenarkan sama sekali jika ada seorang yang mengaku muslim sekalipun mengatakan dirinya beriman kepada al-quran namun menolak sunnah nabi. Sebab, menolak atau mengingkari sunnah nabi sama saja halnya dengan mendustakan rialah yang dibaea nabi untuk membenarkan al-quran. Dan menolak apa yang dibawa nabi berarti menolak ajaran allah.

D.    HADITS TIDAK DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI SUMBER HUKUM (GOLONGAN INKAR SUNNAH)

a.    Macam-macam Kelompok Inkar Sunnah Beserta Argumentasinya
Ingkarussunnah berasal dari dua kata, ingkar dan sunnah. Yang dimaksud dengan ingkar adalah penolakan, penafian atau tidak mengakui. Yang dimaksud dengan sunnah adalah hadits-hadits Rasulullah SAW. Jadi ingkarussunnah adalah paham yang mengingkari keberadaan hadits-hadits Rasulullah SAW. Imam syafi’I berpendapat bahwa yang dimaksud inkar sunnah adalah kelompok yang bersikap menolak seluruh hadits sebagai salah satu sumber ajaran islam.
Secara paradigma pemikiran dan pemahaman, sejarah inkar Sunnah memang sangat erat dengan golongan Khawarij, Muktazilah, dan Syiah (Rafidhah). Dan dari segi benih kemunculan, mereka sudah tampak sejak masa sahabat. Bahkan, kabar tentang akan adanya orang yang mengingkari Sunnah sudah pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Tetapi, dari segi golongan atau kelompok yang terpisah dan berdiri sendiri, inkar Sunnah ini sesungguhnya tidak pernah eksis kecuali pada masa penjajahan kolonial Inggris di India sekitar abad delapan belas. Jadi kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam. Jadi kelompok ingkarussunnah pertama kali muncul di negara India.
Imam Syafi'I dalam kitabnya al-Umm, menyatakan bahwa kelompok yang menolak sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur'an telah muncul di penghujung abad kedua atau abad ketiga hijriah, kelompok ini juga telah melengkapi sejumlah argumentasi untuk menopang pendirian mereka sesuai dengan sikap mereka terhadap sunnah, Imam Syafi'I menyebut mereka dengan istilah "al-taifah allati raddat al khabar kullahu" (kelompok yang menolak hadits secara keseluruhan, yang dalam hal ini dapat diidentikkan dengan kolompok Ingkar Sunnah:
 Pertama, kelompok yang menolak hadits Nabi sebagai hujjah secara keseluruhan           (Muthlaqah).
Argumentasi-argumentasi atas sikap mereka terhadap Sunnah nabi adalah:
a.    Bahwa al-Qur'an diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa arab, dengan penguasaan bahasa arab yang baik.
b.    Al-Qur'an dapat dipahami tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari Sunnah-Sunnah Nabi saw, sebagaimana disebutkan Allah SWT sebagai penjelas (QS. An-Nahl: 89).
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَى هَآؤُلاَءِ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ {89}
Artinya: (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Ayat di atas mengandung arti bahwa penjelasan Al-Qur'an telah mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh umat manusia. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi penjelasan lain selain al-Qur'an
c.    Al-qur’an adalah satu-satunya kitab pegangan umat Islam
Menurut mereka Rosululloh SAW tidak mungkin menambah-nambahi apa yang telah diturunkan Alloh kepadanya. Nabi sendiri hanya bersandar dan berpegang kepada Al-qur’an. Argumen tersebut sesuai dengan firman Alloh yang terdapat pada surat Al-kahfi ayat 27, yang berbunyi:
وَاتْلُ مَآأُوْحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لاَمُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَن تَجِدَ مِن دُونِهِ مُلْتَحَدًا {27}
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa nabi diperintah oleh Alloh untuk hanya membacakan Al-qur’an bukan membacakan yang lain, sebagai kelompok ingkar Hadis mereka menganggap baha cukup Al-qur’an saja sebagai kitab pegangannya.

      Kedua, kelompok yang menolak hadits Nabi saw, yang kandungannya baik secara implisit maupun eksplisit tidak disebutkan dalam al-Qur'an/ Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
Argumentasi-argumentasi atas sikap mereka terhadap Sunnah kelompok ini bahwa :
Al-Qur'an telah menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran Islam. Karena itu lanjut mereka, hadits Nabi SAW tidak memiliki otoritas yang menentukan hukum di luar ketentuan yang termaktub dalam al-Qur'an.
Sebagaimana yang terkandung pada surat an-najm ayat 3-4 yang berisi tentang bahwa nabi Muhammad ketika bertutur benurut hawa nafsunya.
وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى {4}
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. (3) ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (4)

Ketiga, kelompok yang menolak Hadits Nabi saw yang berstatus ahad, dan hanya menerima Hadits dengan status mutawatir.
 Mereka berargumentasi bahwa :
Hadits ahad sekalipun memenuhi persyaratan sebagai Hadits Nabi SAW adalah bernilai zhanni al wurud (proses penukilannya tidak meyakinkan). Dengan demikian, kebenarannya sebagai yang datang dari Nabi SAW tidak dapat diyakini sebagaimana hadits mutawatir, dan bahwa urusan agama hanya didasarkan pada dalil qat'i yang diterima dan diyakini kebenarannya oleh seluruh Umat Islam.
Kelompok yang ketiga menggunakan dalil yang terkandung pada surat Yunus ayat 36, yang berbunyi:
وَمَايَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لاَيُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Artinya: Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
























BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
A.    Pengertian Hadits
Menurut bahasa, al-hadits artinya al-jadid (baru), al-khabar (berita), pesan kaegamaan, pembicaraan. Di dalam al-quran, kata al-hadits disebut berulang kali dengan makna-makna tersebut. Misalnya,
•    “Allah telah meurunkan sebaik-baik al-hadits, yaitu al-quran (QS. Al-Zumar:23). Disini al-hadits artinya pesan keagamaan
•    “Apakah sudah sampai kepadamu hadits tentang musa?” (QS at-Thaha: 9). Disini hadits artinya cerita.
•    “Maka hendaknya mereka mendatangkan hadits yang seperti itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. At-Thur: 34). Hadits disini artinya khabar/berita.
Dalam ilmu hadits, al-hadits adalah pembicaraan yang diriwayatkan atau diasosiasikan kepada nabi Muhammad saw. Ringkasnya, segala yang berupa berita yang dikatakan berasal dari nabi disebut al-hadits. Boleh jadi berita itu berwujud ucapan, tindakan, pembicaraan (taqrir), keadaan, kebiasaan, dll.
Contoh tindakan nabi: cara beliau melaksanakan sholat, manasik haji, dan lain-lain. Dan contoh pembiaran yaitu ketika orang Habsyah mengadakan latihan perang di Masjid, nabi melihatnya dan membiarkan, tidak melarang dan tidak pula menyuruh.

B.    Kedudukan Hadits Dalam Ajaran Islam
Sunnah merupakan sumber kedua di dalam syariat islam setelah al-quran al-karim. Adapun dalam masalah kekutan hujjah atau argumentasinya, maka kita harus yakin sepenuhnya bahwa al-quran dan sunnah nabi kedua-duanya adalah wahyu dari Allah SWT.
    Hassan bin Athiyah berkata, “Malaikat Jibril menurunkan sunnah kepada Nabi SAW sebagaimana dia menurunkan Al-Quran.”
Dalam al-quran sendiri dikatakan, bahwa apa yang disampaikan Nabi adalah wahyu dari Allah. Allah berfirman, QS. an-Najm: 3-4
2.    وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى {4}
dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (QS. 53:3-4)
Turunnya sunnah dengan perantara wahyu ini bukanlah suatu hal yang aneh. Karena sebagai utusan Allah, nabi memiliki hubungan yang sangat khusus dan intens dengan Allah. Banyak hadits yang menyebutkan turunnya malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu dari Allah yang tidak termakttib dalam al-quran tetapi terdapat sunnah. Misalnya: turunnya Jibril dengan penampilan seorang manusia yang bertanya kepada nabi tentang iman, islam, dan ihsan. Ketika itu nabi bersabda, “ini adalah Jibril, dia datang untuk mengejari manusia tentang agamanya.”

Jadi, tidak bisa dibenarkan sama sekali jika ada seorang yang mengaku muslim sekalipun mengatakan dirinya beriman kepada al-quran namun menolak sunnah nabi. Sebab, menolak atau mengingkari sunnah nabi sama saja halnya dengan mendustakan rialah yang dibaea nabi untuk membenarkan al-quran. Dan menolak apa yang dibawa nabi berarti menolak ajaran allah.

C.    Hadits Sebagai Sumber Hukum
a.    Dalil-dalil yang Memperkuat ke Hujjahan Hadits
1.    QS. Al-Nisa’: 59 
   
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)


2.    QS. Ali-Imran: 31
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
Katakanlah:"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 3:31)

3.    QS. An-Nur: 54
قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَاحُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّاحُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَاعَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ
Katakanlah:"Ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu.Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". (QS. 24:54)

4.    QS. Ali-Imran: 132
وَأَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan ta'atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (QS. 3:132)

a.    Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran

1.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-Tafshil, yaitu hadis memiliki fungsi untuk menjelaskan atau merinci ke-mujmal-an al-Qur’an, sehingga dapat dipahami umat Islam. Dalam al-qur’an ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji, berjuang di jalan Allah dan sebagainya.
2.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-ta’kid, yaitu berfungsi memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, sunnah hanya seperti mengulangi apa yang dikatakan al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan mempunyai dua sumber hukum sekaligus.
3.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-muthlaq atau bayan al-taqyid. Hadis memberikan batasan-batasan atas ayat-ayat yang disebutkan secara mutlak.
4.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-takhsis. Hadis memiliki fungsi mengkhususkan (takhshis) lafadz-lafadz di dalam al-Qur’an yang masih bersifat umum (amm).
5.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-tasyri’. hadis memiliki fungsi menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara jelas. Dalam hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama, apa yang ditetapkan oleh Nabi itu pula hakikatnnya adalah penjelasan apa yang disinggung Allah dalam al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas.
6.    Hadis berfungsi sebagai bayan al-naskh. Hadis berfungsi menghapuskan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. fungsi hadis yang demikian ini adalah bagi mereka yang berpendapat bahwa hadis dapat me-nasakh al-Qur’an, walaupun sebenarnya pendapat semacam ini agak berlebihan.

D.    Hadits Tidak Bisa Digunakan Sebagai Sumber Hukum
•    Macam-macam Kelompok Inkar Sunnah Beserta Argumentasinya
Pertama, kelompok yang menolak hadits Nabi sebagai hujjah secara keseluruhan           (Muthlaqah).
Argumentasi-argumentasi atas sikap mereka terhadap Sunnah nabi adalah:
-    Bahwa al-Qur'an diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa arab, dengan penguasaan bahasa arab yang baik.
-    Al-Qur'an dapat dipahami tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari Sunnah-Sunnah Nabi saw
-    Al-qur’an adalah satu-satunya kitab pegangan umat Islam, menurut mereka Rosululloh SAW tidak mungkin menambah-nambahi apa yang telah diturunkan Alloh kepadanya. Nabi sendiri hanya bersandar dan berpegang kepada Al-qur’an.

Kedua, kelompok yang menolak hadits Nabi saw, yang kandungannya baik secara implisit maupun eksplisit tidak disebutkan dalam al-Qur'an/ Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
Argumentasi-argumentasi atas sikap mereka terhadap Sunnah kelompok ini bahwa :
Al-Qur'an telah menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran Islam. Karena itu lanjut mereka, hadits Nabi SAW tidak memiliki otoritas yang menentukan hukum di luar ketentuan yang termaktub dalam al-Qur'an.

3.    Ketiga, kelompok yang menolak Hadits Nabi saw yang berstatus ahad, dan hanya menerima Hadits dengan status mutawatir.
 Mereka berargumentasi bahwa :
Hadits ahad sekalipun memenuhi persyaratan sebagai Hadits Nabi SAW adalah bernilai zhanni al wurud (proses penukilannya tidak meyakinkan). Dengan demikian, kebenarannya sebagai yang datang dari Nabi SAW tidak dapat diyakini sebagaimana hadits mutawatir, dan bahwa urusan agama hanya didasarkan pada dalil qat'i yang diterima dan diyakini kebenarannya oleh seluruh Umat Islam.





DAFTAR PUSTAKA
Zulfidar Akaha, Abduh. 2006. Debat Terbuka Ahlu Sunnah Versus Inkar Sunnah, Jakarta:  
        Pustaka Al-Kautsar.
Qardhawi, Yusuf. 1995. Studi Kritis As-Sunah. Bandung: Trigenda Karya.
Sumbulah, Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press.   
Zuhri, Muh. 1997. Hadis Nabi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar